Ulama Mujtahid vs Pengamat Politik

low light photography of armchairs in front of desk    

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه ورسوله، وأصلي وأسلم على من بعثه ربه رحمة للعالمين، وعلى آله وأصحابه، ومن اهتدى بهديه واستن بسنته إلى يوم الدين. أما بعد


Dalam tulisan bertajuk “Anda seorang Politikus? Bercerminlah!” telah dijelaskan siapakah yang berhak memberi penilaian & solusi dalam masalah Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i (penentu strategi politik yang syar’i).

Nah, dalam tulisan ini, Anda diajak memahami apakah perbedaan ulama mujtahid / ulama ahli ijtihad dengan pengamat politik yang awam (baca: bukan ulama mujtahid) ketika berbicara masalah politik? Agar kita semakin sadar hanya ulama ahli ijtihad lah yang berhak memberi penilaian dan solusi dalam masalah Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i.

Perbedaan tersebut adalah :
  1. Seorang ulama mujtahid adalah orang yang ahli berijtihad dan ahli berfatwa. Karena telah terpenuhi syarat berijtihad yang ma’ruf disebutkan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Adapun selain mereka yang bukan ulama, jauh dari terpenuhi syarat mampu berijtihad dan berfatwa.
  2. Seorang mujtahid membangun fatwanya atas dasar ilmu syar’i yang kokoh. Adapun orang awam mendasarkan komentar politiknya atas dasar kebodohan atau ilmu politik barat, yang banyak bertentangan dengan Islam.
  3. Seorang mujtahid jika salah dalam berijtihad dan salah berfatwa, maka tidak berdosa bahkan mendapatkan pahala. Sebagaimana dalam hadits Muttafaqun ‘alaih, Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
    (إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإن اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر)
    Jika seorang Hakim berijtihad lalu benar,maka dia mendapatkan dua pahala,dan jika seorang Hakim berijtihad lalu salah,maka dia mendapatkan satu pahala” . Muttafaqun ‘Alaihi.
    Mengapa jika salah tidak berdosa bahkan tetap dapat pahala? Karena mereka memang ahli berijtihad (memiliki kemampuan untuk berfatwa) serta telah mengerahkan seluruh kemampuannya dalam berfatwa,berarti dia telah bertakwa semaksimal kemampuannya. Adapun selain Ulama Ahli Ijtihad, maka jika salah berkomentar, dia berdosa dan tidak ada udzur baginya. Karena bukan ahlinya sehingga berbicara tanpa ilmu.
Bagaimana jika seandainya pendapat orang yang bukan Ulama tersebut kebetulan benar ?
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa seandainya kebetulan benar sekalipun, maka tetap tercela. Mengapa? Karena pada asalnya dia bukan ahlinya dan berbicara tanpa ilmu Syar’i. Ibnu Taimiyyah ـ رحمه الله ـ berkata :
ومن تكلم في الدين بغير الاجتهاد المسوّغ له الكلامَ وأخطأ فإنّه كاذب آثم
Dan barangsiapa berbicara dalam masalah Agama Islam tanpa dasar Ijtihad yang Syar’i kemudian terjatuh dalam kesalahan maka dia dikatakan orang yang salah dan berdosa
Kemudian beliau membawakan dalil dari Hadits yang shahih,bahwa Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
القضاة ثلاثة قاضيان في النار وقاضٍ في الجنة، رجل قضى على جهل فهو في النار، ورجل عرف الحق وقضى بخلافه فهو في النار، ورجل علم الحق فقضى به فهو في الجنة
Para Hakim itu terbagi menjadi 3 tipe ,2 masuk Neraka dan satu Hakim yang masuk Surga. Yang pertama : Seseorang yang memutuskan Hukum Syar’i atas dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi kebenaran-pent) terancam masuk Neraka,kedua : Seseorang yang mengetahui Kebenaran dan memutuskan Hukum Syar’i  dengan menyelisihi Kebenaran maka dia terancam masuk Neraka,ketiga : Seseorang yang mengetahui Kebenaran dan memutuskan Hukum Syar’i  sesuai dengan Kebenaran,maka dia masuk Surga”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadits ini shahih)
Perhatikan tipe yang pertama dalam hadits ini: seseorang yang memutuskan hukum Syar’i atas dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi kebenaran-pent) terancam masuk neraka, karena berbicara tanpa ilmu.
Akhirul kalam, marilah kita menahan diri berkomentar tanpa bimbingan ulama. Tentang solusi kejadian-kejadian baru tentang perpolitikan nasional apalagi kejadian politik antar Negara atau politik internasional yang menyangkut nasib masyarakat luas. Apalagi terkait dengan darah kaum Muslimin, jihad dan yang lainnya. Mari kita memohon pertolongan kepada Allah kemudian kita serahkan kepada ahlinya; para Ulama Mujtahidun.
Serta marilah kita mendidik diri dan keluarga dengan shighorul’ilmi qobla kibarihi, dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu yang tinggi. Jangan sibukkan diri kita dengan ilmu-ilmu yang tinggi sebelum sampai kepada tingkatannya.
Imam Imam Malik  ـ رحمه الله ـ ketika ditanya tentang menuntut ilmu Syar’I menjawab :
كله خير ولكن انظرإلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه
Semua disiplin Ilmu Syar’i baik,akan tetapi perhatikan ilmu-ilmu yang anda butuhkan dalam keseharianmu, maka dahulukan mencari Ilmu tersebut
و الله أعلم بالصواب
[Diolah dari Madarikun Nadhor fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani, dengan penambahan]
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Dipublikasi ulang dari Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar