Apakah Orang yang Berbuka Puasa Tetap Dianjurkan Menjawab Adzan?

Apakah Orang yang Berbuka Puasa Tetap Dianjurkan Menjawab Adzan?


Bagi seseorang yang berpuasa, menyegerakan berbuka adalah sunnah ketika waktu berbuka tiba. Hampir setiap kali seseorang yang sedang menikmati hidangan buka mendengar azan. Apakah mereka tertuntut untuk menjawab azan tersebut. Berikut adalah fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah tentang hal ini.
Pertanyaan
Apakah ada do’a yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat waktu berbuka? Kapan waktunya? Serta apakah seseorang yang berpuasa mengikuti (ucapan) Mu`adzdzin dalam adzan atau meneruskan aktifitas buka puasanya?
Jawaban
Kami menjawab: Waktu berbuka puasa adalah waktu dikabulkannya do’a karena waktu tersebut berada di akhir ibadah puasa. Di samping itu juga karena seseorang biasanya berada pada keadaan yang paling lemah ketika ia berbuka, maka setiapkali seseorang berada pada keadaan yang paling lemah dan paling lembut hatinya, ia lebih dekat dengan sikap kembali dan tunduk kepada Allah ‘Azza wa Jalla . Di antara do’a yang diajarkan adalah
اللهم لك صمت، وعلى رزقك أفطرت
Ya Allah untuk-Mu lah puasaku ini dan dengan rezeki-Mu lah, saya berbuka puasa.
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Telah hilang rasa haus dan menjadi basahlah urat-urat, serta telah tetap pahalanya, in sya Allah.”
Kedua hadits ini, walau memiliki sisi lemah, namun sebagian ulama menyatakan keduanya berstatus hasan[1]. Bagaimanapun juga, jika engkau berdo’a dengan do’a tersebut atau dengan do’a selainnya ketika berbuka, maka hal itu termasuk waktu dikabulkannya do’a.
Adapun menjawab Mu`adzdzin dalam keadaan Anda sedang berbuka puasa, maka itu adalah sesuatu yang disyari’atkan karena sabda beliau ‘alahish shalatu was salam,
إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثلما يقول
“Jika kalian mendengar mu`adzdzin (mengumandangkan adzan), maka katakan seperti apa yang ia katakan.”
Menjawab adzan mencakup seluruh keadaan kecuali yang tidak disyariatkan. Keadaan tersebut adalah jika seseorang sedang shalat lalu mendengar adzan mu’azin, maka ia tidak disyari’atkan menjawab mu`azin karena di dalam shalat ada kesibukan, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahmatullah ‘alaihi berkata, “Bahwa seseorang tertuntut menjawab mu`azin walaupun sedang shalat berdasarkan keumuman hadits dan berdasarkan alasan bahwa menjawab mu`azin merupakan zikir yang disyari’atkan. Jika seseorang bersin, sedangkan ia sedang shalat, tidak mengapa mengucapkan alhamdulillah, demikian juga, kalau seandainya ia mendapatkan kabar gembira lahirnya anak atau suksesnya anak, sedangkan ia dalam keadaan menunaikan shalat,  lalu mengucapkan alhamdulillah, tidak mengapa mengatakan : Alhamdulillah. Jika Anda diserang godaan setan dan terbuka pintu waswas dalam hati Anda, lalu Anda memohon perlindungan kepada Allah (at-ta`awwudz billah), sedangkan Anda tengah menunaikan shalat maka tidak mengapa.
Oleh karena itu, dari sini kita ambil kaidah, yaitu setiap dzikir yang didapatkan sebabnya dalam shalat, maka (tidak mengapa) diucapkan”, karena dengan meneliti kejadian-kejadian ini, memungkinkan bagi kita untuk mengambil sebuah kaidah.
Akan tetapi masalah menjawab mu`azin –yang Syaikhul Islam berpendapat dengan pendapat di atas– di hatiku ada suatu ganjalan, mengapa? Karena  menjawab mu`azin itu lama waktunya, (hal ini) mengharuskan seseorang untuk sibuk di dalam shalatnya dengan kesibukan yang banyak, sedangkan shalat memiliki dzikir khusus yang tidak selayaknya seseorang tersibukkan darinya (dengan sesuatu yang lainnya).
Maka kami katakan:
Jika Anda sedang berbuka puasa lalu mendengar adzan, maka silahkan menjawab sang Mu`azin. Bahkan terkadang bisa kita katakan bahwa hal ini lebih besar lagi tuntutannya bagi Anda karena sekarang ini Anda sedang menikmati buka yang merupakan salah satu nikmat Allah, sedangkan kewajiban terhadap nikmat itu adalah bersyukur. Termasuk bentuk syukur adalah menjawab mu`azin walau Anda sedang makan, dan tidak mengapa dalam masalah ini, jika telah selesai dari menjawab mu`azin, maka bershalawatlah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapkanlah
اللهم رب هذه الدعوة التامة، والصلاة القائمة، آت محمداً الوسيلة والفضيلة، وابعثه مقاماً محموداً الذي وعدته إنك لا تخلف الميعاد
“Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini (dakwah Tauhid) dan shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah (kedudukan di Surga), dan keutamaan. Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan padanya.” Sesungguhnya Engkau tidak pernah dan tidak akan menyelisihi janji” [2]
***
Majmu’ Fatawa wa Rasaa`il Asy- Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, jilid ke-19, kitab: Maa yukrahu wa yustabbu wa hukmul Qadhaa`.
Catatan kaki
[1] Pembahasan lebih lengkap mengenai hal ini silakan simak artikel 12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan
[2] Ulama Ahlul Hadits rahimahumullah berselisih pendapat tentang tambahan kalimat لا تخلف الميعاد, pendapat yang terkuat bahwa kalimat tambahan ini syaadz, sehingga tidak disyari’atkan untuk diucapkan. Wallahu a’lam.
___
Penyusun: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar