Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (4)

Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (4)


Pada artikel bagian ketiga, telah dijelaskan dua kaidah dari empat kaidah umum dalam mempelajari kitab ulama. Nah, pada artikel ini kami tuliskan dua kaidah selanjutnya, yaitu:
Kaidah Ketiga: Menguasai bahasa ilmiyyah ulama rahimahumullah yang digunakan dalam kitab-kitab mereka dan melatih diri menggunakannya dalam mengungkapkan permasalahan ilmiyyah.
Setiap disiplin ilmu memiliki bahasa, lafadz, kosakata, dan istilah ilmiyyah tersendiri. Para ulama rahimahumullah menggunakan bahasa ilmiyyah tersebut dalam menulis kitab-kitab mereka. Jadi, maksud “bahasa ilmiyyah” disini meliputi seluruh lafadz-lafadz ilmiyyah yang digunakan para ulama untuk menjelaskan suatu disiplin ilmu syar’i tertentu, yang mana disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipahami dengan baik kecuali dengannya.
Kitab-kitab Ulama dalam berbagai disiplin ilmu syar’i memiliki bahasa ilmiyyah masing-masing. Seperti disiplin ilmu tauhid, memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang tidak didapatkan di kitab-kitab dalam disiplin ilmu syar’i lainnya, demikian pula disiplin ilmu fikih, nahwu, dan yang lainnya, masing-masing memiliki istilah-istilah dan lafadz-lafadz khusus yang dipakai Ulama dalam menjelaskan ilmu-ilmu tersebut.
Sebagai Contoh:
Bahasa Ulama dalam disiplin ilmu tauhid, seperti istilah-istilah kamalut tauhid, kufur, nifaq, ‘Ubudiyyah, dan perbedaan muwalah dan tawalli serta antara nafyul ashlul iman dengankamalul iman. Bahasa ulama dalam disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, seperti istilah-istilah perbedaan antara karahah littanzih dengan littahriim, antara syuruth dengan arkaan, fasaad, shihhah, dan tahqiiqul manaath.
Bahkan tidak jarang seorang imam tertentu memiliki bahasa ilmiyyah khas tersendiri, misalnya Imam Ahmad rahimahullah memiliki lafadz-lafadz khusus seperti laa yashluhu atau Astaqbihuhu, maksudnya adalah mengharamkan. Jika beliau mengucapkan laa yanbaghi, maka maksudnya adalah terkadang mengharamkan, namun terkadang memakruhkan saja. Jika beliau mengucapkan laa yu’jibuni atau laa uhibbuhu, maka maksudnya adalah memakruhkan. Jika beliau menjawab pertanyaan seorang penanya dengan kalimat yuf’alu kadza ihthiyaathan, maka maksudnya adalah mewajibkan.
Akibat Tidak Menguasai Bahasa Ilmiyyah Tersebut
Barangsiapa yang memahami kitab-kitab Ulama tidak dengan menggunakan bahasa mereka, namun misalnya, dengan menggunakan bahasa budaya modern, bahasa media masa, dan bahasa serapan asing, maka ia akan menemui kesalahpahaman yang banyak dalam menyimpulkan isi dari kitab-kitab tersebut. Bahkan perkara yang haram, bisa dipahami sebagai suatu yang mubah, atau yang haram jadi makruh saja. Atau perkara bid’ah menjadi sunnah, bahkan syirik bisa menjadi tauhid.
Kaidah Keempat: Mencatat dan membukukan faidah-faidah yang sangat penting, baik dari kitab-kitab muthowwalahmutawassithoh, maupun mukhtashoroh.
Dalam aktifitas mempelajari kitab-kitab Ulama, jika hanya sebatas membaca saja, tanpa mencatat dan membukukan catatan tersebut dalam buku catatan tersendiri, tidaklah cukup. Hal itu tidak banyak manfa’atnya. Berapa banyak kita dapatkan para Ulama menulis kitab-kitab ringkasan kitab ini dan itu, talkhish ini, serta taqrib itu? Mengapa demikian? Apakah tujuan mereka menulis kitab ringkasan dari kitab Ulama sebelumnya hanya sebatas ingin tulisan yang ringkas saja, sehingga lebih mudah dipahami dan dihafal? Tidaklah demikian.
Di dalam aktifitas meringkas terdapat faidah lain selain faidah di atas, yaitu ringkasan mencerminkan pemahaman peringkas. Jika Ulama saja merasa perlu menuangkan pemahaman mereka terhadap kitab-kitab Ulama sebelum mereka, dengan cara menulis ringkasannya, bagaimana lagi dengan tholibul ‘ilmi (para penuntut ilmu syar’i)? Tentu ia lebih butuh untuk melatih dan menguji pemahamannya terhadap kitab-kitab Ulama dengan cara mencatat, meringkas dan membukukannya.
Maksudnya seorang tholibul ‘ilmi jika ingin sukses dalam mempelajari kitab-kitab Ulama, maka ia perlu mencatat faidah-faidah ilmiyyah yang didapatkan dari kitab-kitab tersebut, ia tulis faidah-faidah ilmiyyah itu dalam buku catatan tersendiri, baik faidah-faidah ilmiyyah itu diambil dari kitab-kitab mukhtashoroh, mutawassithoh, maupun muthowwalah.
Bentuk catatan faidah
Seorang tholibul ‘ilmi bisa mencatat faidah-faidah itu dalam bentuk :
  1. Terkadang, karena tuntutan keadaan, cukup ia tulis dalam bentuk kata-kata singkatan yang bisa dipahami terlebih dahulu, jika ada waktu senggang nantinya, maka ia tulisnya kembali dengan rinci.
  2. Terkadang, langsung ia tulis dengan rinci faidah-faidah tersebut.
  3. Terkadang pula ia meringkas penjelasan Ulama dalam suatu bab ilmiyyah tertentu, sehingga menjadi ringkasan kitab ini dan itu.
  4. Terkadang pula ia tulis faidah-faidah ilmiyyah tersebut dalam bentuk daftar isi di sebuah buku catatan tersendiri, dan ia kelompokkan daftar isi tersebut dalam sebuah nama bab tersendiri, sesuai kelompok faidah, misalnya daftar isi bab kelompok faidah tentang lugoh, bab kelompok faidah tentang perbedaan, bab kelompok faidah tentang pembagian, kelompok faidah tentang definisi, dan lainnya.
Faidah Menerapkan Kaidah Umum Ini
Faidah yang banyak akan dapat diraih dengan menerapkan kaidah umum ini, diantaranya:
  1. Tholibul ‘Ilmi memungkinkan sewaktu-waktu memuroja’ah (mengulang kembali mempelajari) ilmu-ilmu yang telah ia baca dari kitab-kitab Ulama.
  2. Jika ia menerapkan kaidah ini dengan baik, maka ilmu-ilmu sesudahnya –in sya Allah– akan lebih mudah ia pahami.
  3. Kemampuan mengungkapkan permasalahan ilmiyyah dengan bahasa ilmiyyah yang singkat padat dan tidak berbelit-belit lewat tulisan, semakin meningkat. Karena semakin hari catatan-catatan ilmiyyahnya semakin meningkat kualitasnya. Dari mulai ia mampu menuliskan faidah-faidah yang sederhana sampai akhirnya mampu menulis faidah-faidah yang sulit dan tinggi, sehingga kemampuan ilmiyyahnya meningkat!
  4. Ketika ia mengetahui bahwa sebagian pemahaman dirinya di masa silam adalah salah, maka ia pun dengan mudah bisa membenarkannya, karena ditemukan catatannya tentang hal itu.
  5. Mengenal dengan akrab bahasa ilmiyyah para ulama dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i.

Wa shallallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammad, wal hamdulillahir Rabbil’alamin.
***
Referensi:
  1. Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul :“Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28).
  2. Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad Shaleh Al-‘Utsaimin.
  3. Transkrip muhadhoroh syarah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar