Fikih I’tikaf (15)

Fikih I’tikaf (15)


Matan dan Terjemah Kitab Zadul Mustaqni’ Bab I’tikaf

Berikut ini serial penjelasan fikih i’tikaf, bersama kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, sebuah kitab fikih yang ditulis oleh yang ditulis oleh Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah (wafat th. 960 H atau 968 H).
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Muqni’ yang ditulis oleh Al-Allamah Ibnu Qudamah rahimahullah,
Isi dari kitab Zadul Mustaqni’ ini adalah:
  1. Kitab fikih yang sangat ringkas, tidak disebutkan di dalamnya dalil, ta’lil (alasan hukum), dan tidak diperbanyak permasalahan fikih yang detail dan rinci, karena maksud penulisannya sebatas menyebutkan masalah fikih secara global tanpa memperbanyak rincian.
  2. Penulis memilih pendapat terkuat dalam madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullahsebagai bahan acuan
  3. Penulis dalam kitab ini juga tidak menyebutkan permasalahan yang jarang terjadi, yang sebenarnya permasalahan tersebut disebutkan dalam kitab asalnya, yaitu Al-Muqni’, namun menambahkan faidah yang tidak terdapat dalam Al-Muqni’.
Kitab ini merupakan kitab dasar dalam madzhab Hanbaliyyah dan barangsiapa yang hendak mendalami madzhab Hanbaliyyah maka silahkan dihafal matan kitab ini diiringi membaca kitab-kitab penjelasannya (Syuruh) dan catatan-catatan singkat tentangnya (Hawasyi), seperti kitab Ar-Raudhul Murbi’ (Al-Bahuti) , Syarhul Mumti’ (Syaikh Al-Utsaimin), dan Asy-Syarhul MukhtasharAl-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
بَابُ الاعْتِكَافِ
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ، لِطَاعَةِ اللهِ مَسْنُونٌ، وَيَصِحُّ بِلَا صَوْمٍ، وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ، وَلَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ  يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلّا المَرْأَةَ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا، وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ، وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ، وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ، وَلَا يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلَا يَعُودُ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدُ جَنْازَةً إِلّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ، وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ، وَيُسْتَحَبُّ اشْتِغَالُهُ بِالْقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لَا يَعْنِيهِ.
Bab I’tikaf
I’tikaf adalah sebuah kegiatan menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hukumnya adalah sunnah. I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa. Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar. I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf atau melakukan shalat di sebuah masjid selain tiga masjid paling utama, yaitu masjid Al- Haram (Mekah), masjid Nabawi di Madinah, dan terakhir masjid Al-Aqsha, maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut selain tiga masjid paling utama. Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih dibanding yang masjid lain, maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan waktunya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu. Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) tidak boleh keluar dari masjid tempat i’tikafnya kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah kecuali jika ia mensyaratkannya. Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.
***
[serialposts]
Penyusun: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar