Fikih I’tikaf (4)

Fikih I’tikaf (4)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’  mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Penjelasan :
Maksud perkataan penulis rahimahullah  : لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى (untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’alayaitu :
bahwa tujuan i’tikaf adalah konsentrasi penuh untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dikrullah, tilawah Alquran dan ibadah lain yang semisalnya serta memutuskan diri dari kesibukan duniawi. Inilah maksud i’tikaf yang disyari’atkan. Jadi, bukanlah tujuan i’tikaf itu untuk memisahkan diri dari manusia atau menetap di masjid  agar bisa bertemu dengan teman sehingga bisa saling mengunjungi dan ngobrol kesana-kemari, bahkan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang sedang beri’tikaf lalu dikunjungi oleh teman-temannya dan asyik ngobrol kesana-kemari, yang tidak ada faedahnya, maka hakekatnya ia tidak memenuhi ruh i’tikaf, karena ruh i’tikaf itu adalah menetap di masjid untuk melakukan ketaatan (baca: beribadah) kepada Allah Ta’ala.
Memang benar, seseorang yang sedang beri’tikaf dibolehkan berbicara dengan sebagian keluarganya untuk suatu keperluan, namun hal itu tidaklah pantas dilakukan secara berlebihan.
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah,
و الاعتكاف لابد أن يتوفر فيه نية لطاعة الله ، بأن يكون المقصود منه طاعة الله سبحانه و تعالى. أما الاعتكاف الذي يقصد منه الرياء و السمعة أو يقصد منه الابتعاد عن الناس أو الانعزال عن الناس، وهو لم يقصد بذلك الطاعة و الأجر و الثواب، فهذا لا يسمى اعتكافا
“Ibadah i’tikaf haruslah terpenuhi niat untuk melakukan ketaatan kepada Allah, yaitu: tujuannya adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun i’tikaf yang tujuannya pelakunya ingin dipuji dengan memperlihatkan atau memperdengarkan ibadah yang dilakukan kepada manusia ataupun tujuannya untuk menjauhi manusia (menyendiri), sedangkan ia tidak bertujuan melakukan ibadah dan mendapatkan pahala dalam aktifitas i’tikafnya, maka ini hakekatnya bukanlah ibadah i’tikaf!”
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Apakah ketika seseorang yang sedang i’tikaf menyibukkan diri dengan aktifitas menuntut ilmu Syar’i (pengajian) itu berarti menghilangkan ruh i’tikaf?”
Beliau menjawab:
لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.
“Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu Syar’i merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, namun i’tikaf itu untuk ketaatan-ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Alquran dan ibadah lain yang semisalnya.
Namun, tidak mengapa seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) menghadiri pengajian dengan satu atau dua pelajaran dalam sehari atau semalam, karena hal ini tidak mengurangi kesempurnaan i’tikaf.
Akan tetapi jika majelis-majelis taklim (pengajian) tersebut terus-menerus (dihadiri), sehingga mu’takif itu sibuk membaca pelajaran-pelajarannya dan banyak pula menghadiri majelis-majelis taklim sehingga menyibukkannya dari melakukan ketaatan-ketaatan khusus (yang sudah disebutkan di atas), maka ini tidak diragukan lagi bahwa i’tikafnya menjadi berkurang kesempurnaannya, namun saya tidak mengatakan hal ini menghilangkan ruh i’tikaf (secara totalitas)”.
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar