Hukum Sebab (4)

Hukum Sebab (4)


4. Seorang hamba tertuntut untuk memilih sebab yang paling bermanfa’at dan itulah tuntutan keimanannya.
Seseorang semakin beriman kepada Allah, maka semakin menjauhi bahaya dan kerugian (mudharat) sejauh-jauhnya serta semakin besar keinginannya mendapatkan perkara yang paling bermanfa’at bagi keimanannya, sehingga jika ia dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama bermanfaat dan harus dipilih salah satunya, maka tuntutan keimanannya, mendorongnya untuk memilih pilihan yang paling bermanfaat baginya, di dunia dan akhirat, paling bermanfaat bagi pertambahan keimanannya, paling menyebabkan bertambahnya berat timbangan amal kebaikannya di akhirat dan paling cepat menghantarkan kepada tujuan yang baik.
Hal inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah untuk mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, jangan engkau lemah! (HR. Muslim) .
5. Jika seseorang mendapatkan sesuatu yang diharapkan, padahal sebab yang diambil tidak terbukti secara Syar’i dan tidak pula terbukti secara Qadari, pastilah hal itu didapatkan bukan karena sebab tersebut, namun karena sebab yang lainnya.
Misalnya:
1) Sebuah warga kampung yang selamat dari wabah penyakit, setelah memasang jimat tertentu di rumah-rumah mereka, padahal setelah itu, kampung-kampung sebelahnya yang tidak memasang jimat, banyak yang terkena wabah penyakit tersebut!
Sesungguhnya kejadian selamat dari wabah penyakit tersebut, bukanlah disebabkan karena pemasangan jimat-jimat itu, namun pastilah karena sebab yang lain, semisal: tidak adanya faktor-faktor pembawa penyakit ke kampung itu, anti body dan kebersihan yang bagus, imunisasi yang baik atau sebab-sebab yang lainnya. Karena, jimat tersebut tidaklah terbukti sebagai sebab, baik secara Syar’i maupun secara Qadari, bahkan justru dilarang dalam Syari’at.
Jimat itu pun tidak bisa dibuktikan secara ilmiah sebagai sebab. Bahkan sangat memungkinkan ada warga kampung lain yang melakukan hal yang sama, namun tetap pula terkena wabah penyakit tersebut.
Maka untuk kasus di atas, kita katakan bahwa selamatnya kampung tersebut dari wabah penyakit, memang benar terjadi setelah memasang jimat, namun hakekatnya jimat itu bukanlah sebagai sebab!
Atau dengan kata lain: takdir selamat untuk mereka bertepatan waktunya dengan setelah memasang jimat.
2) Seorang wanita berdo’a kepada mayit di kuburan agar diberi keturunan, lalu beberapa waktu kemudian ia hamil sampai akhirnya melahirkan bayinya. Maka dalam kasus tersebut, kita bisa pastikan bahwa sebab lahirnya anak itu bukanlah karena do’a kepada mayit, karena hal itu terlarang dalam Syari’at dan secara kenyataan orang yang sudah meninggal, tidak mampu mandi sendiri dan pergi ke lubang kubur sendirian! Bahkan ia harus dimandikan, digotong dan dikubur oleh orang lain! Maka, bagaimana dikatakan ia bisa memberi keturunan?
6. Jika seseorang dalam mengambil sebab tidak terpenuhi hukum sebab yang pertama, maka akan tejatuh kedalam salah satu dari dua kemungkinan dosa.
Kemungkinan Pertama
Jika sebab yang diambil adalah tidak terbukti secara Syar’i maupun Qadari, maka pelakunya terjatuh kedalam kesyirikan kecil yang zhahir/jelas, selama tidak ada unsur penghambaan/penyembahan kepada selain Allah dan selama tidak meyakini bahwa sebab palsu tersebut berpengaruh dengan sendirinya, tanpa idzin Allah.
Hal ini sebagaimana kaidah ilmiah yang dijelaskan oleh sebagian Ulama :
Bahwa barangsiapa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, tidak secara Syar’i maupun Qadari, maka berarti ia telah melakukan kesyirikan dengan jenis syirik kecil (asghar)”, karena:
  1. Hati pelakunya tergantung kepadanya.
  2. Ikut serta dengan Allah Ta’ala dalam menentukan hukum tentang sesuatu itu sebagai sebab, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.
  3. Sebagian Masyayikh ada yang menambahkan, karena hal itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada syirik besar (akbar), sehingga hal itu dihukumi syirik kecil.
Ini merupakan kaedah yang secara umum benar, walaupun pada sebagian contohnya yang terdapat pembahasan tersendiri1.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan bahwa memakai jimat gelang, kalung dan semisalnya, jika diyakini hanya sebagai sebab saja yang tidak berpengaruh dengan sendirinya, menyatakan bahwa hal itu berarti pelakunya telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab menjadi sebab.
Kemudian beliau mengatakan tentang diri pelakunya,
لابد أن يتعلق قلب متعلقّها بها
Tentulah hati pemakai jimat tersebut bergantung kepadanya.2
Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hal yang sama, yaitu kesyirikan kecil pemakai jimat (jika diyakini hanya sebagai sebab saja3), beliau menjelaskan sebabnya,
لأنه لما اعتقد أن ما ليس بسبب سببًا؛ فقد شارك الله تعالى في الحكم لهذا الشيء بأنه سبب، والله تعالى لم يجعله سببًا‏
Karena ketika ia meyakini bahwa sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, berarti ia telah ikut serta dengan Allah Ta’ala dalam menentukan hukum tentang sesuatu itu sebagai sebab, padahal Allah Ta’ala tidak menjadikannya sebagai sebab.4
Kemungkinan Kedua
Jika sebab yang diambil adalah terbukti secara Qadari, namun jenis yang haram, semisal korupsi, mencuri dan merampok, maka pelakunya terjatuh kedalam maksiat dan bukan kesyirikan.
(Bersambung, in sya Allah)
___
Catatan kaki
1Lihat At-Tamhiid, hal. 94.
2Al-Qoulus Sadiid, hal. 37.
3Baca artikel di web ini, berjudul “Jimat Gelang”, di sana dijelaskan kapan pemakai jimat dikatakan telah melakukan syirik kecil dan kapan dikatakan telah melakukan syirik besar.
4Al-Qaululul Mufiid, hal. 1/162-163.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar