I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (7)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (7)


Perbedaan Ḥaqqun dan Biaqqin
Syaikh Muammad bin Shali Al-‘Utsaimin raimahullāmenjelaskan bahwa ḥaqqun lebih sesuai dengan Al Quran. Hal ini sebagaimana firman Allah,
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
Żālika bi`annallāha huwalḥaqq
(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).
Adapun biḥaqqin, maka jār dan majrūr adalah khabar yang berhubungan dengan kata yang tidak disebutkan, yaitu kā`in ‘ada’. Dari penjelasan Syaikh Al-‘Uaimin di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penafsiran lā ilāha illallāh dengan lā ma‘būda ḥaqqun illallāh lebih utama, karena lebih sesuai dengan Alquran dan tidak membutuhkan kata yang tidak disebutkan. Wallahu a’lam.

3. Huruf Illā

Huruf illā berfungsi sebagai alat eksepsi (pengecualian). Huruf illā yang disebutkan setelah huruf lā berfungsi untuk membatasi sesuatu. Bentuk pembatasan yang seperti ini termasuk bentuk pembatasan yang terkuat dalam gaya bahasa Arab. Dalam lā ilāha illallāh, huruf  illāmemiliki dua fungsi, yaitu alat eksepsi dan alat pembatas. Hal ini menunjukkan bahwa lāilāha illallāh bermakna sesembahan yang benar hanyalah Allah semata, bukan selain-Nya atau tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

4. Lafadz Allāh

Kata Allāh berkasus nominatif (marfū). Kedudukannya sebagai badal (pengganti) dari khabar lā (1)yaitu ḥaqqun, bukan sebagai badal (pengganti) dari ism lā, yaitu ilāh karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ
Żālika bi`annallāha huwalḥaqq
(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).
Kata Allāh pada lā ilāha illallāh tidak berfungsi sebagai khabar lākarena lā nafiyyah liljinsihanya member pengaruh pada ism nakirah (nomina indefinit) (2).
Makna Lafadz Allāh
Ibnu ‘Abbas raiyallāhu ‘anhu menjelelaskan bahwa makna lafa Allāh adalah yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) dari seluruh makhluk-Nya (3).
[Bersambung]
Rujukan
  1. Syarh Ath-Thohawiyyah, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, http://shamela.ws/browse.php/book-934/page-28
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, hal.21.
  3. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar