I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (3)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (3)


Ilāha (إِلَٰهَ)
Ilāha adalah ism lā nafiyyah liljinsi berharakat fatah (mabniyyun ‘alal fati) karena isim mufrad (kata tunggal). Ilāha itu berpola fi‘āl. Pola tersebut  ditafsirkan dalam bentuk lain, yaitu bentuk maf‘ūl atau fā‘il. Penafsiran yang benar dari kata ilāha adalah ma‘būd  berpola maf‘ūl bermakna sesembahan. Hal ini karena kata ilāha diambil dari kata ālahu, ya`lahu, ilāhatan, `alwahatan, `alwahiyyatan. Semua kata tersebut bermakna ‘abada, ya‘budu, ‘ibādatan, ‘ubūdiyyatan. Hal ini berdasarkan bacaan pakar tafsir di kalangan sahabat, Ibnu Abbas raiyallāhu‘anhu ketika membaca firman Allah Ta‘ālā,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ
wa qālal mala`u min qaumi Fir‘auna atażaru mūsa wa qaumahu liyufsidū fil `arḍi wa yażaraka wa `ālihataka (QS. ād: 235).
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir‘aun (kepada Fir‘aun), ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?’”
Ibnu ‘Abbas membaca hamzah pada `ālihataka dengan kasrah, sehingga dibaca `ilāhataka. Oleh karena itu, wa yażaraka wa `ālihataka dibaca wa yażaraka wa `ilāhataka bermakna ‘dan meninggalkan kamu serta penyembahan (kepada) mu’. Dengan demikian Ibnu ‘Abbas memahami `ilāhata sebagai ‘ibādata ‘penyembahan’.
Terkait dengan kata Allāh yang menurut sebagian ulama, secara bahasa, proses pembentukan katanya sebelum menjadi kata Allāh terlebih dahulu berbentuk kata al-`ilāhaIbnu ‘Abbas raiyallāhu‘anhu menjelaskan, bahwa kata Allāmengacu pada seuatu yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) atas seluruh makhluk-Nya.
Secara konteks kalimat tauhid Lā ilāha illallāh memang menunjukkan bahwa makna kata iha adalah sesembahan. Makna inilah yang dipahami oleh kaum Arab saat itu. Mereka memahami bahwa kalimat tauhid ini meniadakan seluruh sesembahan batil selain Allah yang selama ini mereka sembah dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah. Oleh karena itulah kaum musyrikin menolak bersyahadat dengan dengan Lāilāha illallāh.
[Bersambung]
Catatan:
  1. Mabnī  ‘alal fati ketika `ism lā adalah mufrad (tunggal) atau jam‘ taksīrmabnī  ‘alal yā`jika `ism lā muanna dan jam‘ mużakkar salim, dan mabni ‘alal kasri jika ism lā jam‘ mu`anna sālim.
  2. Dalam bahasa Arab dinamakan tabādulu iyag (pergantian bentuk kata dalam memaknai)maksudnya suatu kata dengan igah tertentu lalu dimaknai dengan igah lainnya, misalnya: QS. Ash-Shaaffaat: 107.
  3. Contoh : كتاب (kitāb),  بساط  (bisā), فراش (firāsy), dan مهاد (mihād).
  4. At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh, hal. 74.
  5. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
  6. Ulama Nahwu rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah kata “Allah” itu musytaq atau jamid, pendapat yang terkuat -wallahu a’lam- yang menyatakan musytaq, lihat: http://madrasato-mohammed.com/mawsoaat_tawheed_03/pg_033_0009.htm.
  7. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar