I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (6)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (5)


Kaum musyrikin tidak pernah mengingkari adanya sesembahan-sesembahan selain Allah. Mereka tahu bahwa terdapat banyak sesembahan-sesembahan selain Allah di dunia ini. Oleh karena itu, ketika diseru untuk mengucapkan lā ilāha illallāh, mereka menjawab sebagaimana dalam firman Allah berikut.
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَـهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
`Aja‘alal `ālihata ilāhan wāḥidan `inhāża lasyai`un ‘ujāb
Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan (kami) itu (harus ditinggalkan dan hanya menyembah) Sesembahan Yang Satu saja (Allah)? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Ṣād: 5).
Seandainya makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada sesembahan kecuali Allahmaka kaum musyrikin dahulu akan menjawab “Ucapanmu salah, sesembahan-sesembahan itu banyak jumlahnya!”

Lā ilāha illallāh adalah Inti Ajaran Islam

Lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah adalah inti ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang ditentang oleh kaum musyrikin. Mereka menentangnya karena makna kalimat tauhid tersebut mengharuskan mereka meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah dan hanya menyembah Allah saja. Maka sangat pas dengan kenyataan penentangan mereka terhadap kalimat tauhid ini, ketika kalimat tersebut ditafsirkan dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah.
Inilah inti ajaran para rasul ‘alaihimu alātu was sallasemenjak dahulu kal. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian’” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

Memaknai Khabar Lā ilāha illallāh

Menurut penafsiran mutakallimin, asya‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu yunani khabar lā ilāha illallāh adalah maujūd. Mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan tafsiran sebatas makna rubūbiyyah, sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena itu makna lā ilāha illallāadalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya dan (justru) selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah ” atau “Tidak ada Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk kecuali Allah”. Atau dengan kata lain “Tidak ada Rabb kecuali Allah”, yang berarti maknanya adalah sebatas tauḥīd rubūbiyyah.
Jika ditafsirkan kata ilāha dengan makna rubūbiyyah dan khabar lā adalah maujūd, tentulah kaum musyrikin Quraisy zaman dahulu ketika diajak mengucapkan lā ilāha illallāakan mengucapkannya dengan mudah, karena mereka tidak mengingkari rubūbiyyah Allah.
Penafsiran lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang ada kecuali Allahmengandung makna yang sangat batil, yaitu seluruh sesembahan selain Allah itu adalah Allah Ta’ālā. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ṣāliḥ Al- ‘Uaimin  raimahullāh ketika mengingkari penafsiran tersebut,
Jika Anda mengatakan lā ma‘būda maujūdun ilallāh maka patung-patung itu semuanya adalah Allah dan (ucapan) ini adalah kemungkaran yang (sangat) besar1.
Kenyataan membuktikan bahwa terdapat sesembahan-sesembahan selain Allah, namun jelas itu adalah sesembahan-sesembahan yang batil dan tidaklah memiliki hak untuk diibadahi.
[Bersambung]
___

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar