Perang Di Bulan Haram (2)

Perang Di Bulan Haram (2)


Keadaan pertama, perang dalam rangka membela diri, maksudnya ada pihak yang memulai peperangan/menyerang secara zhalim pada bulan haram. Maka untuk keadaan yang seperti ini, berdasarkan kepakatan ulama, diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk memerangi pihak musuh yang aniaya tersebut.
Ibnu Muflih rahimahullah berkata,
وَيَجُوزُ القتال في الشهر الحرام دفعا ، إجماعا
“Berdasarkan ijma’ Ulama, boleh melakukan peperangan pada bulan-bulan haram dengan tujuan membela diri (dari serangan)” (Al-Furu’: 47/10 dan Zaadul Ma’aad: 3/ 301).
Keadaan kedua, memulai peperangan/menyerang, maksudnya kaum muslimin yang memulai peperangan pada bulan-bulan haram. Tentang keadaan kedua ini, ulama raimahumullah berselisih pendapat, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang adanya perselisihan pendapat dalam masalah tersebut,
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي تَحْرِيمِ ابْتِدَاءِ الْقِتَالِ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ: هَلْ هُوَ مَنْسُوخٌ أَوْ مُحْكَمٌ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ
“Ulama berselisih pendapat dalam masalah diharamkan memulai berperang pada bulan haram : Apakah hukumnya telah dihapus atau tetap berlaku? (Tentang hal itu Ulama) terbagi menjadi dua pendapat” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).
Berikut ini secara ringkas penjelasan kedua pendapat tersebut.

Pendapat pertama

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum haramnya memulai peperangan pada bulan-bulan haram itu telah dihapus. Di antara dalil mereka adalah:
Firman Allah Ta’ala,
‏فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ  وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Janganlah kalian menganiaya diri kalian di dalamnya dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kalian semuanya (QS. At-Taubah: 36).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memerangi kaum musyrikin, sedangkan ayat di atas mengisyaratkan bahwa perintah ini adalah umum pada seluruh bulan, bukan khusus diperintahkan pada bulan-bulan haram saja.
Mereka juga berdalil dengan kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung penduduk Thaif pada bulan haram, yaitu bulan Dzul Qo’dah, sebagaimana disebutkan dalam Shahihain.

Pendapat Kedua

Sejumlah ulama yang lainnya berpendapat bahwa hukum haramnya memulai peperangan pada bulan-bulan haram tetap ada dan tidaklah dihapus, berdasarkan firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram” (QS. Al-Maaidah:2).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وَهِيَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ نُزُولًا، وَلَيْسَ فِيهَا مَنْسُوخٌ
“Ayat tersebut termasuk salah satu dari ayat-ayat Al-Qurán yang terakhir turunnya, sedangkan tidak ada satupun dalil yang menunjukkan penghapusan hukum yang terkandung di dalam ayat tersebut” (Zaadul Ma’aad: 3/301).  
Juga firman Allah Ta’ala,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar” (QS. Al-Baqarah:217).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
فَهَاتَانِ آيَتَانِ مَدَنِيَّتَانِ بَيْنَهُمَا فِي النُّزُولِ نَحْوُ ثَمَانِيَةِ أَعْوَامٍ، وَلَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا سُنَّةِ رَسُولِهِ نَاسِخٌ لِحُكْمِهِمَا، وَلَا أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى نَسْخِهِ
“Kedua ayat di atas adalah ayat Madaniyyah. Jarak waktu turunnya antara kedua ayat tersebut, terpaut 8 tahun. Sedangkan didalam Kitabullah dan di dalam Sunnah Rasul-Nya, tidaklah disebutkan penghapus hukum yang terkandung dalam kedua ayat tersebut.  Dan ulama tidak pula berijma’ (tidak bersepakat) atas penghapusan hukum tersebut” (Zaadul Ma’aad, jilid 3).  
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (14583) dari Jabir, beliau berkata,
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ إِلَّا أَنْ يُغْزَى – أَوْ يُغْزَوْا -وصححه محققو المسند
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berperang pada bulan haram kecuali beliau diserbu atau mereka (kaum Muslimin) diserbu”

Jawaban bagi pendalilan Jumhur Ulama

Adapun firman Allah Ta’ala,
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kalian semuanya” (At-Taubah: 36).
Petikan ayat ini ada dua kemungkinan makna, yaitu:
  1. Kemungkinan pertama, petikan ayat di atas, dibawakan kepada makna dorongan dan motivasi. Bahwa hukum yang terkandung dalam petikan ayat ini adalah hukum yang baru dan terpisah dari apa yang disebutkan dalam petikan ayat yang sebelumnya. Sehingga faedahnya adalah untuk dorongan dan motivasi.
    Dengan demikian maknanya adalah “Sebagaimana mereka berkumpul ketika memerangi kalian, maka berkumpullah (bersatulah) pula kalian ketika memerangi mereka. Perangilah mereka dengan balasan yang semisal dengan serangan yang mereka lakukan”.
  2. Kemungkinan kedua, petikan ayat di atas, dibawakan kepada peperangan yang didahului oleh orang-orang musyrikin. Diizinkan kaum muslimin memerangi orang-orang musyrikin pada bulan haram, jika mereka yang memulai memerangi kaum muslimin terlebih dahulu. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).
Adapun kisah yang disebutkan dalam Sahih Bukhari dan Muslim, kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung penduduk Thaif pada bulan haram, yaitu Dzul Qo’dah, maka hal itu dibawakan kepada kelanjutan dari perang sebelumnya dan termasuk jenis keadaan perang yang pertama, yaitu pihak merekalah yang memulai peperangan/menyerang secara zhalim kaum muslimin. Mereka menyerang kaum muslimin pada bulan Syawwal (berarti bukan bulan haram), lalu peperangan berkelanjutan sampai bulan haram (Dzul Qo’dah).
Maka untuk keadaan yang seperti ini, berdasarkan kepakatan ulama, diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk memerangi pihak musuh yang memulai menyulut api peperangan tersebut. Bahkan jika musuh mendahului menyerang kaum muslimin pada bulan haram sekalipun, mereka (kaum muslimin) boleh membalas serangannya, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kalian” (QS. Al-Baqarah:194).
Dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُم
“Dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka” (QS. Al-Baqarah: 191).
Ulama menjelaskan,
يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الِابْتِدَاءِ، وَهَذَا هُوَ أَمْرٌ مُقَرَّرٌ، وَلَهُ نَظَائِرُ كَثِيرَةٌ
“Dimaafkan dalam kasus yang berkelanjutan, yang mana hal itu tidak dimaafkan jika terdapat dalam kasus permulaan. Dan ini adalah perkara yang telah ditetapkan dan terdapat banyak contoh yang semisal ini” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26).

Kesimpulan

Dengan penjelasan di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua, bahwa hukum memulai peperangan pada bulan-bulan haram adalah tetap diharamkan. Wallahu a’lam.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar