Pilar Dakwah Para Nabi ‘Alaihimussalam Dalam Menyelesaikan Problematika Umat (2)

Pilar Dakwah Para Nabi ‘Alaihimussalam Dalam Menyelesaikan Problematika Umat (2)


Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Ingatlah wahai Sobat, ketika sebuah dakwah yang ditegakkan dalam rangka menyelesaikan problematika umat itu sesuai dengan manhaj para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam –paling utamanya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berdiri di atas pilar-pilar dakwah mereka, maka dakwah tersebut akan diterima oleh Allah dan diberkahi, sehingga menghasilkan buah yang sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Inilah kelanjutan penjelasan pilar-pilar dakwah para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam yang sebagiannya telah ditulis pada artikel sebelumnya.

2. Beramal dengan Apa yang Didakwahkan

Seorang da’i bisa menjadi tauladan yang baik di tengah masyarakatnya, perbuatannya pun sesuai dengan ucapannya dan tidak ada celah bagi orang-orang yang batil untuk mencelanya. Allah berfirman tentang Nabi-Nya Syu’aib ‘alaihis salam bahwasanya dia berkata kepada kaumnya,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan aku tidak ingin menyelisihi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang (sendiri). Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (Huud: 88).
Perhatikanlah saudaraku! Bagaimana Nabi Syu’aib ‘alaihis salam dalam berdakwah, beliau menyampaikan kepada kaumnya bahwa tidaklah beliau melarang kaumnya dari melakukan sesuatu melainkan beliau menjadi orang yang pertama kali meninggalkan larangan tersebut sehingga beliau menjadi teladan di tengah-tengah kaumnya dalam mengamalkan syari’at Allah Ta’ala.
Renungan:
Ketika seorang da’i atau lembaga dakwah melupakan pilar amal ini dan terjebak dengan sikap basa-basinya politik praktis orang-orang kafir ataupun tergoda dengan iming-iming jabatan politis yang menggiurkan dan keindahan duniawi yang menyertainya, maka sangat dikhawatirkan terjerumus dalam fitnah kemunafikan politis, fitnah harta, tahta dan wanita. Camkanlah!

3. Ikhlash, yaitu Dakwah yang Dia Jalankan Semata-mata untuk Mencari Wajah Allah

Dakwah bukanlah sarana untuk riya` (pamer amal shalih berupa gerakan), sum’ah (pamer amal shalih berupa suara, seperti baca Al-Qur’an), ingin ketinggian status sosial, mengincar kedudukan/jabatan ataupun rakus terhadap dunia. Kalau dakwahnya tercampuri dengan sesuatu dari tujuan-tujuan tersebut, maka dakwahnya bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya atau untuk ketamakan yang dia inginkan. Dalil tentang hal ini adalah bahwa Allah memberitahukan tentang keikhlasan para Nabi-Nya dalam berdakwah, mereka berkata kepada ummatnya:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepada kalian” (Al-An’aam: 90).
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ
“Wahai kaumku, aku tidak meminta harta  kepada kalian (sebagai upahku). Ganjaran (yang aku harapkan) hanyalah dari Allah” (Huud:29).
Renungan:
  1. Jika seorang da’i itu ikhlas dan bertauhid serta mengajak manusia untuk ikhlas dan bertauhid, menunaikan hak-hak Allah serta melaksanakan kewajibannya sebagai hamba-Nya, dengan mengenal nama dan sifat-Nya dan beribadah kepada-Nya semata, maka akan tumbuh sebuah masyarakat yang Allah janjikan untuknya kemuliaan dan kejayaan, karena mereka beriman, bertauhid, jauh dari kesyirikan dan beramal shalih, sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nuur: 55, Allah Ta’ala berfirman:
    وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
    “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.
  2. Da’i yang ikhlas senantiasa memperhatikan apa yang Allah ridhai dan cintai, maka ia tidak mau mengikuti hawa nafsunya atau mengikuti keinginan kelompok, lembaga atau partainya jika bertentangan dengan keridhaan Allah dalam menyelesaikan problematika umat ini. Maka hasilnya, da’i yang ikhlas dalam berdakwah akan mendahulukan apa yang didahulukan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menggapai ridha-Nya semata.
  3. Adapun da’i yang tidak ikhlas, maka dia menjadikan kemauan masyarakat atau nafsu kelompok, lembaga atau partainya sebagai kiblatnya, walaupun harus terluput darinya ridha Rabbnya. Apalagi yang diperjuangkan dalam dakwahnya adalah sesuatu yang hawa nafsu manusia berselera dengannya, berupa harta, tahta maupun kenikmatan duniawi yang lainnya.
(Ikuti kelanjutannya di artikel: Pilar-Pilar Dakwah  Para Nabi ‘alaihimus salam dalam Menyelesaikan Problematika Umat (3)). Wallahu a’alam.
***
Diolah dari muqoddimah Syaikh DR. Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan terhadap kitab Manhajul Anbiyaa` fid Da’wah ilallah, dengan beberapa tambahan.
Penulis: Ust. Said Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar