Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (4): Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang

Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (4): Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang


Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Materi Inti atau Tidaknya terbagi menjadi dua, yaitu Ilmu Inti dan Ilmu Penunjang

Asy-Syathibi rahimahullah, di dalam kitabnya Al-Muwafaqat berkata,
من العلم ما هو من صلب العلم ، ومنه ما هو ملح العلم لا من صلبه، ومنه ما ليس من صلبه ولا ملحه
“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang int, dan ada juga yang penunjang, yang tidak termasuk inti ilmu. Di samping itu, juga ada yang tidak termasuk ilmu inti dan tidak pula ilmu penunjang.”1
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,
من المعلوم أنّ العلم قسمان كما يقول طائفة من أهل العلم منهم الشاطبي في أول الموافقات: ((العلم قسمان عُقَدٌ وملَح))، والعقد تعقد القلب مع العلم والملح لابد منها للمسير في طلب العلم
Merupakan perkara yang sudah diketahui, bahwa disiplin ilmu Syar’i terbagi menjadi dua, sebagaimana disebutkan oleh sekelompok Ulama diantaranya adalah Asy-Syathibi di awal kitab Al-Muwafaqat, bahwa ilmu Syar’i ada dua macam, ‘Uqod (inti) dan Mulah (penunjang). ‘Uqod (ilmu inti) sifatnya adalah ilmu yang mengikat hati dengan kuat, sedangkan Mulah (ilmu penunjang) sifatnya adalah ilmu yang harus ada untuk keistiqomahan perjalanan menuntut ilmu Syar’i.2
Dari pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu Syari’at ditinjau dari sisi, materi inti atau tidaknya, terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ilmu Inti (Shulbul ‘Ilmi)
Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan ‘Uqodul ‘Ilmi (Simpul Ilmu) karena sifatnya sebagai simpul pengikat hati, sehingga ilmu itu benar-benar terikat kuat dan erat dalam hati.
Ada pula yang menyebut ilmu ini dengan sebutan Shulbul ‘Ilmi (Inti Ilmu) karena sifatnya sebagai inti utama ilmu Syari’at, dijadikan pegangan oleh seorang hamba dalam memahami dan mengamalkan agama Islam.
Ilmu Ini Terbagi Menjadi Dua, yaitu:
  1. Ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu Pokok/Tujuan) atau Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan), yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir), As-Sunnah (ilmu Hadits), Tauhid dan Fiqh.
  2. Ilmu Ash-Shinaiyyah (Ilmu Alat) atau Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana), seperti : Ushul Fikih,Ushul Tafsir,Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya (Penjelasan lebih lanjut baca Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (3))
Sifat Ilmu Inti
Ulama menjelaskan bahwa sifat ilmu Inti ini adalah sebagai ilmu yang pokok, menjadi pegangan, pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu dan puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya, sebagaimana perkataan Asy-Syathibi rahimahullah setelah menyampaikan ketiga macam ilmu di atas:
فهذه ثلاثة أقسام : القسم الأول : هو الأصل والمعتمد ، والذي عليه مدار الطلب ، وإليه تنتهي مقاصد الراسخين
“Maka ilmu ini ada tiga macam, yang pertama (Ilmu Inti) adalah ilmu pokok dan
menjadi pegangan, serta ilmu yang menjadi pusat perhatian dalam aktifitas menuntut ilmu, kepadanyalah puncak arah tujuan Ulama yang kokoh ilmunya.” 3
Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah berkata,
العلم منه عُقَد يصار إليها ومنه ملح مساندة
“Di antara disiplin Ilmu Syar’i ada yang jenis ilmu inti, sebagai puncak arah tujuan (dalam menuntut ilmu Syar’i) dan ada juga yang merupakan ilmu penunjang, sebagai penunjang/penguat ilmu Inti.” 4
2. Ilmu Penunjang (Mulahul ‘Ilmi)
Ulama menyebut ilmu ini dengan sebutan Mulahul ‘Ilmi, yaitu suatu ilmu yang berkedudukan sebagai penunjang dan penguat ilmu Inti, sebagai pelengkap bagi ilmu Inti serta sebagai sarana untuk bisa istiqamah dalam menuntut ilmu Inti. Di antara ilmu penunjang ini adalah lmu tentang sya’ir, perumpaman-perumpamaan yang baik, kisah-kisah Ulama, biografi Ulama, kisah tentang perdebatan Ulama dan ilmu Sejarah Islam.
Sifat Ilmu Penunjang ini adalah:
  • Ilmu Penunjang ini menyempurnakan pemahaman seseorang terhadap ilmu Inti.
  • Ilmu Penunjang ini memang bermanfa’at, akan tetapi barangsiapa yang tidak mempelajarinya tidaklah mengapa, karena ketidaktahuannya tidak membahayakan ilmunya.
  • Jika seseorang ingin mempelajari ilmu Penunjang ini dengan sekedarnya, tidak harus mempelajarinya dari seorang Ulama yang ahli dalam ilmu tersebut, cukup ia membacanya sendiri dengan seksama, karena bukanlah ilmu tujuan, kecuali jika ingin menjadi pakar dalam ilmu-ilmu Penunjang ini, misalnya ingin menjadi penya’ir atau sejarawan.
  • Memperluas wawasan dengan mengetahui ilmu Penunjang ini, berfungsi juga sebagai penyemangat dan penggembira dalam mempelajari ilmu Inti yang berat, karena jika seorang penuntut ilmu Syar’i hanya mempelajari ilmu Inti saja, maka dikhawatirkan ia merasa berat, monoton dan bosan, lalu menjadi lemah semangat dan akhirnya berhenti dari menuntut ilmu Syar’i ini.
    Membaca kitab-kitab tentang ilmu Penunjang ini, perlu dilakukan sebagai selingan, misalnya membaca kitab tentang biografi Ulama, bagaimana ketekunan dan kiat-kiat mereka dalam menuntut ilmu Syar’i, atau bagaimana kemiskinan mereka, namun berhasil menjadi Ulama. Hal ini memompa semangatnya untuk bisa istiqomah dalam menuntut ilmu Syar’i.
  • Seorang penuntut ilmu Syar’i bebas memilih membaca kitab-kitab dalam ilmu Penunjang ini, baik itu kitab-kitab jenis mukhtashoroh (ringkas), mutawassithoh (menengah) maupun muthowwalat (panjang), asal mampu memahaminya, karena sifatnya sebatas penunjang dan untuk memperluas wawasan. Hal ini beda dengan belajar Ilmu Inti yang sifatnya Ta`shili (pendasaran yang kokoh) .
(Keterangan lebih lanjut baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3))

Imbangi Ilmu Inti dengan Ilmu Penunjang

Maksud mengimbangi di sini, bukan berarti harus memberikan perhatian yang sama persis antara belajar ilmu Inti dengan ilmu Penunjang! Tidaklah demikian, namun maksudnya, berikanlah kepada tiap-tiap ilmu sesuai dengan haknya masing-masing! Berikanlah kepada ilmu Inti sesuai dengan porsinya, demikian pula berikanlah kepada ilmu Penunjang sesuai dengan porsinya pula. Tentu hak ilmu Inti jauh lebih besar daripada ilmu Penunjang.
Mengimbangi ilmu Inti dengan ilmu Penunjang itu perkara yang penting, karena seorang penuntut ilmu Syar’i biasanya mengalami saat-saat semangat kuat, tengah-tengah, dan menurun.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Setiap amalan ada masa semangatnya, dan setiap masa semangat, ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya terarah kepada sunnahku berarti dia telah beruntung, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib).
Jadi, jika Anda dapatkan diri Anda sedang semangat-semangatnya belajar, maka hadirilah majelis Ilmu Inti dengan sungguh-sungguh, pahami pelajaran dengan baik, catatlah dan hafalkanlah! Perbanyak membaca kitab-kitab Ulama dan melakukan pembahasan ilmiyyah!
Namun, jika Anda dapatkan diri Anda lemah dan turun semangat atau jiwa Anda sedang membutuhkan selingan, maka janganlah Anda keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu atau amal! Silahkan Anda keluar sementara dari ilmu Inti menuju kepada ilmu Penunjang, niscaya akan bermanfaat bagi Anda!
Adapun seorang penuntut ilmu ketika merasakan turun semangat belajarnya, kemudian keluar dari ilmu kepada permainan atau jalan-jalan, obrolan, dan nongkrong seperti orang awam yang melalaikan, maka hal ini tidaklah selayaknya dilakukan.

Ulama dan Ilmu Penunjang

Janganlah Anda merasa asing ketika seorang Ulama besar terkadang memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya, sesekali saja! Bukan berarti mereka punya waktu nganggur yang kosong dari kesibukan untuk berleha-leha, bermain-main pelesiran kesana kemari yang melalaikan mereka dari ilmu Syar’i. Tidaklah demikian!
Namun, mereka memberikan perhatian kepada ilmu Penunjang ini di sela-sela waktu sibuknya dalam rangka menjaga kesimbangan dalam perjalanan ilmiyyahnya, agar tidak keluar dari ilmu kecuali kepada ilmu! Dan agar tidak terputus perjalanan ilmiyyahnya di tengah jalan!
Berikut dua contoh nyata tersebut:
  1. Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah, dahulu pernah suatu saat ketika beliau selesai menyampaikan pelajaran Hadits, berkata kepada murid-muridnya, “Sampaikan ilmu-ilmu “Mulah” kalian! Datangkan sya’ir-sya’ir kalian! Riwayatkan berita-berita kalian!”, akhirnya merekapun ada yang mengkisahkan kisah ini dan itu, meriwayatkan kabar ini dan itu, dan seterusnya, hingga mereka pun gembira dan semangat.
  2. Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah juga demikian, di samping beliau memiliki tulisan-tulisan dalam disiplin ilmu Inti, beliau juga memiliki tulisan-tulisan dalam masalah ilmu Penunjang.
Beliau banyak memiliki tulisan dalam ilmu Inti, seperti kitab At-Tamhiid, tentang syarah Hadits, kitab Al-Istidzkar, tentang syarah Hadits pula, kitab Al-Kaafii tentang fikih madzhab MalikiyyahNamun beliau juga menulis kitab-kitab “Mulah , seperti Bahjatul Majalis, tentang sya’ir dan kabar.

Peringatan: Jangan Anda Jadikan Ilmu Penunjang Sebagai Ilmu Inti!

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan,
فمن رام المُلح وترك عقد العلم، فإنّه لن يدرك بل سيكون عنده أخبار كثيرة ومعلومات أو ثقافة لكن لا يستطيع أنْ يتكلم بوضوحٍ في مسألة عقدية، أو في مسألة فقهية
Maka barangsiapa mencari (dan memberi perhatian besar kepada) ilmu Penunjang dan meninggalkan ilmu Inti, maka ia tidakakan menguasai (ilmu Syari’at dengan baik), yang ada hanyalah ia memiliki kabar dan info-info atau wawasan (keislaman) semata, akan tetapi tidak mampu (secara ilmiyyah) berbicara dengan jelas (sistematis) dalam masalah Aqidah atau Fikih (Ilmu Inti).” 5
Wallahu a’lam.
***
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 dan Al-Farqu bainal ‘Uqod wal Mulah, http://saleh.af.org.sa/node/45.
Catatan kaki

Tidak ada komentar