Penjelasan Hadits Istikharah (Bag. 6)

Penjelasan Hadits Istikharah (Bag. 6)



Petikan Hadits
وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ

“Dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk memutuskan urusanku dan mengatasinya) dengan Kemahakuasaan-Mu”

Penjelasan

Kalimat ini mengandung dua makna:
  1. Bahwa seorang hamba memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepadanya kekuatan dan kemampuan (qudrah) untuk memutuskan dan mengatasi urusannya.
  2. Bahwa seorang hamba memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepadanya taqdir yang baik terkait dengan masalah yang sedang dihadapi, dengan sebab Kemahakuasaan-Mu.
Kedua makna ini tercakup dalam kandungan petikan hadits di atas, dan saling berkonsekuensi, karena setiap orang yang Allah jadikan mampu untuk memutuskan dan mengatasi urusannya, maka itu hakekatnya taqdir Allah untuk diri orang tersebut, sedangkan jika Allah mentaqdirkan seseorang berhasil memutuskan dan mengatasi urusannya, maka berarti Allah telah menganugerahkan kemampuan tersebut kepadanya.

Doa ini juga mengandung tarbiyyah imaniyyah terhadap diri seorang hambayaitu: mengagungkan Allah Ta’ala, dan ketika seorang hamba menghadirkan penghayatan makna ini didalam hatinya, maka -dengan izin Allah- ia akan terpenuhi kebutuhannya dan teratasi urusannya.

Petikan Hadits

وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ

“Aku memohon kepada-Mu kebaikan dari karunia-Mu yang agung”

Penjelasan

Maknanya ada dua, yaitu :

Pertama:

Aku memohon kepada-Mu kebaikan dari anugerah-Mu yang agung”,
maksudnya adalah aku memohon kebaikan yang semata-mata berasal dari anugerah-Mu yang agung, dan hakekatnya bukan karena aku berhak  mendapatkannya, dan hakekatnya anugerah tersebut bukanlah balasan yang setara dengan amalku yang kecil dan sederhana ini. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa seluruh nikmat ataupun kebaikan itu hakekatnya adalah karunia dan kemurahan dari Allah, dan bukan hak seorang hamba yang ia wajibkannya kepada Allah untuk memenuhinya. Meskipun disana terdapat perkara yang memang Allah wajibkan atas diri-Nya sendiri untuk memenuhinya, namun semua itu tetaplah sebagai bentuk karunia-Nya, dan bukanlah hamba yang mewajibkannya atas Allah.

Kedua :

Aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang agung/luas”, ini juga menunjukkan bahwa karunia Allah begitu agung dan luasnya, tak ada batas akhirnya.

Dan penyandaran karunia kepada Allah ini menunjukkan bahwa semua karunia kebaikan itu milik Allah yang Dia anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Petikan Hadits

فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib.”

Penjelasan

Sesungguhnya inti kandungan kalimat di atas sama dengan kalimat :

لا حول ولا قوة إلا بالله

Tidak ada perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lainnya, dan tidak ada kekuatan (kuasa) untuk melakukan hal itu kecuali dengan pertolongan Allah”,
maksudnya: kalimat ini dan kalimat dalam petikan hadits di atas mengandung pengakuan akan lemahnya seorang hamba dalam mengurus semua urusannya, baik menghindari bahaya, keburukan, dan maksiat, maupun memperoleh manfaat, kebaikan, dan ketaatan, semua itu tidak akan mampu ia lakukan kecuali jika Allah menolongnya dan menghendakinya. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki pasti tidak akan terjadi.

Dengan demikian, kalimat ini adalah kalimat pengakuan lemahnya hamba, serta kalimat ketundukan dan kepasrahannya kepada Allah ‘Azza wa Jaalla.

Oleh karena itu, kalimat ini amat dibutuhkan oleh seorang yang sedang beristikharah kepada Allah, karena ia amat membutuhkan pertolongan Allah untuk bisa tepat dalam memutuskan keputusan yang terbaik dan terhindar dari segala keburukan.
Pada petikan hadits di atas, terdapat isyarat bahwa ilmu dan kekuasaan yang ada pada diri kita itu milik Allah semata, dan Allah-lah semata yang menganugerahkan keduanya kepada diri kita.

Sedangkan pada kalimat “Hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib” menunjukkan bahwa seorang hamba mengakui ketidaktahuan tentang perkara ghoib secara totalitas, dan meyakini bahwa hanya Allah-lah yang mengetahui perkara yang ghoib, termasuk apa yang akan dialami oleh orang yang beristikharah di masa akan datang. Sehingga kalimat ini amat dibutuhkan oleh seorang yang sedang beristikharah kepada Allah, karena ia tidak mengetahui dampak dari setiap keputusannya di masa yang akan datang.

(Bersambung, in sya Allah)

***

Penulis : Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Sumber  : Muslim.or.id

Tidak ada komentar