Bismillah walhamdulillah wah shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, dalam syari’at Islam yang mulia, telah dijelaskan adanya beberapa tempat dan bulan yang memiliki kemuliaan, di antaranya adalah bulan Ramadhan yang sedang kita hadapi ini.
Suatu sikap yang baik bagi seorang muslim adalah memuliakan sesuatu yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, termasuk memuliakan bulan Ramadhan ini. Sikap memuliakannya adalah berusaha melakukan berbagai bentuk ketaatan kepada Allah dan menjauhi semua kemaksiatan di bulan ini. Nah, lalu apakah yang akan didapatkan seseorang ketika melakukan ketaatan atau kemaksiatan di bulan ini?
Berikut ini fatwa tentang apakah keburukan dan kebaikan dilipatgandakan pada bulan Ramadhan? Jika jawabannya ya, lalu apakah hal itu berlaku juga untuk bulan-bulan yang memiliki keutamaan selain bulan Ramadhan? Bagaimana jika melakukan ketaatan dan kemaksiatan di tempat-tempat yang memiliki keutamaan?
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah
Fatwa no. 38213: Apakah keburukan dan kebaikan dilipatgandakan pada bulan Ramadhan?
Apakah benar bahwa keburukan dilipatgandakan di bulan Ramadhan, sebagaimana kebaikan dilipatgandakan juga? Apakah ada dalil yang menunjukkan hal itu?
Jawab:
“Segala puji bagi Allah, benar, kebaikan dan keburukan dilipatgandakan pada waktu dan tempat yang utama, akan tetapi di sana ada perbedaan antara pelipatgandaan kebaikan dengan pelipatgandaan keburukan. Adapun pelipatgandaan kebaikan adalah pelipatgandaan kuantitas dan kualitas. Maksud dari kuantitas adalah bilangan, sehingga satu kebaikan (dilipatgandakan) menjadi sepuluh kali lipat atau lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan (pelipatgandaan) kualitas adalah pahalanya lebih besar dan lebih banyak. Adapun keburukan, maka pelipatgandaannya dalam kualitas saja, bahwa dosanya lebih besar dan siksanya lebih berat, namun dari sisi bilangan, maka satu keburukan dihitung satu (kesalahan) saja, tidak mungkin dihitung lebih dari satu kesalahan.”
Disebutkan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (2/385) :
(وتضاعف الحسنة والسيئة بمكان فاضل كمكة والمدينة وبيت المقدس وفي المساجد، وبزمان فاضل كيوم الجمعة، والأشهر الحرم ورمضان. أما مضاعفة الحسنة: فهذا مما لا خلاف فيه، وأما مضاعفة السيئة، فقال بها جماعة تبعا لابن عباس وابن مسعود . . . وقال بعض المحققين: قول ابن عباس وابن مسعود في تضعيف السيئات: إنما أرادوا مضاعفتها في الكيفية دون الكمية ) اهـ .
“Kebaikan dan keburukan menjadi berlipatganda pada tempat mulia seperti Mekah, Madinah, Baitul Maqdis dan di masjid. Dan (berlipatganda pula) di waktu yang mulia seperti pada hari jum’at, bulan-bulan haram dan Ramadhan. Adapun pelipatgandaan kebaikan, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan (di antara ulama) tentangnya. Adapun pelipatgandaan keburukan, maka sekelompok ulama menyatakan hal itu, mereka mengikuti (pendapat) Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud…. dan berkata sebagian ulama peneliti perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dalam pelipatgandaan keburukan mereka hanyalah memaksudkannya sebagai (pelipatgandaan) kualitas dan bukan kuantitas”.
Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah puasa menyebabkan seorang muslim mendapatkan peleburan dosanya, baik kecil maupun besar? Apakah dosa bisa berlipatganda saat bulan Ramadhan?”.
Beliau menjawab, “perkara yang disyari’atkan bagi seorang muslim pada bulan Ramadhan dan di bulan selainnya adalah berjihad menundukkan jiwa yang banyak menyuruh kepada keburukan sehingga menjadi jiwa yang tenang, yang suka memerintahkan kebaikan dan mencintainya. Wajib baginya berjihad memerangi musuh Allah, yaitu iblis, hingga selamat dari kejahatannya dan tipu dayanya. Maka seorang muslim di dunia ini berada di dalam aktifitas jihad yang besar secara terus menerus, baik melawan jiwa (yang buruk), hawa nafsu, maupun setan. Hendaklah ia memperbanyak taubat dan istighfar pada setiap waktu dan kesempatan, akan tetapi waktu itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia dalam setahun, ia merupakan bulan ampunan, rahmat dan pembebasan dari api Neraka. Jika suatu bulan itu memiliki keutamaan dan suatu tempat itu memiliki keutamaan maka dilipatgandakan kebaikan-kebaikan (di dalamnya), dan menjadi besar dosa keburukan-keburukan (yang dilakukan di dalamnya). Jadi satu keburukan yang dilakukan pada bulan Ramadhan lebih besar dosanya daripada satu keburukan yang dilakukan di luar Ramadhan, sebagaimana satu ketaatan yang dilakukan di bulan Ramadhan lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada satu ketaatan yang dilakukan di luar Ramadhan.
Ketika (sudah diketahui bahwa) Ramadhan memiliki kedudukan yang agung, maka tentunya ketaatan yang dilakukan di dalam bulan tersebut memiliki keutamaan yang agung dan berlipat ganda pula dengan kelipatan yang banyak, sedangkan dosa maksiat yang dilakukan di dalamnya lebih parah dan lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa yang dikerjakan di bulan selainnya. Maka, seorang muslim hendaknya mengambil kesempatan di bulan yang diberkahi ini dengan melakukan ketaatan dan amal shalih serta berhenti dari melakukan keburukan. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahkan kepadanya penerimaan amal dan memberi taufik agar istiqamah di atas (jalan) kebenaran. Akan tetapi, (kalau) keburukan/dosa, tetaplah semisal kemaksiatannya, tidak dilipatgandakan dalam jumlah, tidak di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan selainnya. Adapun kebaikan, maka dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipatnya sampai berlipat-lipat ganda dengan kelipatan yang banyak, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Al-An’aam:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (Al-An’aam :160).
Dan Ayat-Ayat yang semakna dengannya banyak jumlahnya. Demikian pula terkait dengan tempat yang mulia, seperti dua tanah haram yang mulia (Mekah dan Madinah), (kebaikan) dilipatgandakan di kedua tempat tersebut dengan kelipatan yang banyak, baik itu secara kuantitas maupun secara kualitas. Adapun keburukan, maka tidak dilipatgandakan secara kuantitas, namun dilipatgandakan secara kualitas (jika dilakukan) di waktu dan tempat yang mulia, sebagaimana telah berlalu isyarat akan hal itu, wallahu waliyyut taufiq”. (Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalat mutanawwi’ah 15/446).
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam “As-Syarhul Mumti’ (7/262) mengatakan kebaikan dan keburukan dilipatgandakan pada tempat dan waktu yang mulia. Kebaikan dilipatgandakan dengan (pelipatgandaan) kuantitas dan kualitas, adapun keburukan,maka dengan pelipatgandaan kualitas, bukan dengan kuantitas .
Karena Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’aam -surat ini adalah surat Makkiyyah- :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)” (An-An’aam : 160)
Dan Allah berfirman:
{مَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}
“Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya (Masjidil Haram) melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” (Al-Hajj:25) [1],
(Di dalam Ayat ini) Allah tidaklah berfirman “(niscaya) Kami lipatgandakannya untuknya,” namun berfirman
{نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}
“Niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.”
“Maka, (kesimpulannya) pelipatgandaan keburukan di Mekah atau di Madinah adalah pelipatgandaan kualitas. [Maksudnya: Siksanya lebih pedih dan menyakitkan, (hal ini) berdasarkan firman Allah Ta’ala”
{مَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ }
“Barang siapa yang bermaksud di dalamnya (Masjidil Haram) melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. (Al-Hajj:25)[3].
Wallahu a’lam”.
***
[1] Kalimat ini tidak penulis temukan di kitab aslinya: Asy- Syarhul Mumti‘ 7/227, wallahu a’lam
[2] Kalimat ini tidak penulis temukan di kitab aslinya: Asy- Syarhul Mumti‘ 7/227, wallahu a’lam
___
Sumber: Islamqa.info/ar/38213
Penerjemah: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment