Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullahmengatakan dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
“Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala”
Penjelasan:
Apakah maksud لُزُومُ (menetap) di sini? Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti rahimahullahketika menjelaskan kata tersebut dalam kitabnya Ar-Raudhul Murbi’,
لزوم مسلم عاقل ولو مميزا لا غسل عليه مسجدا ولو ساعة
“Menetapnya seorang muslim yang berakal, walaupun seorang anak yang mumayyiz, yang tidak berkewajiban mandi, di dalam masjid walaupun sesaat saja”
Pada kalimat di atas, terdapat sebagian syarat-syarat sah I’tikaf, bahwa seseorang yang hendak beri’tikaf haruslah memiliki kriteria, di antaranya sebagai berikut,
1. Muslim
Di antara syarat sahnya I’tikaf adalah beragama Islam, hal ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang kafir
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal (jenis kebaikan) yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (Al-Furqaan: 23).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa amal apa saja dari jenis amal kebaikan yang mereka kerjakan, maka akan tidak diterima, tidak diberi pahala dan sirna begitu saja karena tidak adanya keimanan dalam hati mereka. Dengan demikian orang yang kafir atau murtad sedangkan ia belum bertaubat, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf adalah jenis amal shalih dan tidaklah diterima jika yang melakukannya adalah orang kafir.
2. Berakal
Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, idiot, pingsan dan mabuk, jika berdiam diri di dalam masjid, maka tidak sah disebut sebagai I’tikaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat”
Hadits ini menunnjukkan bahwa setiap ibadah yang kita kerjakan haruslah didasari niat beribadah, sedangkan seorang yang gila, idiot, pingsan dan mabuk, tidak tergambar bisa berniat ibadah dalam beri’tikaf.
3. Mumayyiz
Seseorang yang beri’tikaf itu tidak disyaratkan harus baligh, mumayyiz pun sudah sah beri’tikaf, karena mumayyiz sudah bisa berniat. Jumhur Hanabilah mendefinisikan mumayyiz adalah anak yang sudah berumur tujuh tahun, namun pendapat yang kuat adalah ulama yang mendefinisikan mumayyiz sebagai anak yang sudah paham khithab (pembicaraan) dan bisa menjawab pertanyaan, namun pada umumnya ketika seseorang berumur tujuh tahun sudah mumayyiz.
Dengan demikian anak yang belum mumayyiz tidak sah I’tikaf nya karena tidak tergambar bisa menyengaja berniat untuk I’tikaf.
Inilah alasan Tamyiiz sebagai syarat sahnya I’tikaf, sehingga para ulama ketika membawakan dalil tentang syarat sahnya I’tikaf, mereka membawakan hadits tentang niat yang sudah disebutkan pada syarat yang kedua. Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
4. Berniat I’tikaf
Niat I’tikaf adalah syarat kesahan I’tikaf, dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.”
Ini adalah Ijma’ ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah dalam Bidayatul Mujtahid. Alasan lain dari niat sebagai syarat sah I’tikaf adalah secara akal sehat, seseorang yang menetap di masjid itu, tujuannya bisa bermacam-macam, bisa untuk I’tikaf, namun bisa juga untuk selainnya. Maka haruslah ada niat yang membedakan antara kedua tujuan tersebut.
Juga niat dibutuhkan untuk membedakan antara I’tikaf yang hukumnya sunnah untuk dikerjakan, dengan nadzar I’tikaf yang wajib ditunaikan.
5. Suci dari hadats besar
Tidak sah seseorang memulai i’tikaf dalam keadaan berkewajiban mandi karena berhadats besar, seperti janabah, haidh atau nifas, Syarat ini disepakati oleh empat madzhabHanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Jumhur ulama rahimahumullah memandang bahwa orang yang haidh, nifas, atau junub tidak sah melakukan I’tikaf, hal ini berbeda dengan pendapat Zhahiriyyah yang berpendapat bahwa I’tikaf mereka itu sah. Dan pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur Ulama, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”(An-Nisaa`: 43).
Dalam Ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang junub mendekati tempat-tempat shalat, yaitu masjid, jika orang yang junub saja dilarang, maka lebih-lebih lagi wanita yang haidh dan nifas, karena hadats wanita yang haidh lebih kuat, oleh karena itu wanita yang haidh tidak boleh digauli oleh suaminya, tidak boleh shalat, tidak boleh puasa dan dalam hukum-hukum selainnya.
6. Minimalnya sehari atau semalam
Masalah waktu minimal I’tikaf ini diperselisihkan ulama, sebagian mereka ada yang mengatakan sehari (seperti pendapat sebagian Malikiyyah, satu riwayat dari Hanafiyyah), adapun Malikiyyah berpendapat sehari dan semalam, ada satu riwayat dari Imam Malik yang menyatakan sepuluh hari dan Mayoritas ulama berpendapat cukup sesaat saja.Pendapat yang mendekati kebenaran-wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam, alasannya adalah:
I’tikaf adalah Ibadah, maka batasan waktunya mencukupkan dengan apa yang telah ada dalam dalil.
Dalilnya adalah hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ :فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata tunaikan nadzarmu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
أن عمر بن الخطاب سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو بالجعرانة، بعد أن رجع من الطائف، فقال: يا رسول الله! إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام. فكيف ترى؟ قال (اذهب فاعتكف يوما).
“Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu ia berada di Ji’raanah setelah kembali dari Thaaif. Ia berkata,Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaf selama sehari di Al-Masjidil-Haram. Bagaimanakah pandangan Anda ? Beliau bersabdapergilah, beri’tikaflah sehari!” (HR. Muslim).
Dari kedua hadits tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling sedikitnya waktu I’tikaf yang ada dalam dalil adalah sehari atau semalam.
Kalau seandainya I’tikaf kurang dari sehari atau semalam itu disyari’atkan, maka tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh langsung, atau memerintahkan para sahabatnya dan hal itu akan tersebar luas di tengah-tengah para sahabat, karena sering berulangnya mereka mendatangi masjid, dan para sahabat akan melakukan hal itu.
Mari kita perhatikan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum banyak keluar masuk masjid untuk melaksanakan shalat jamaah, shalat jumat, kajian dan yang lainnya, namun
- Pernahkah dinukilkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf kurang dari satu hari atau kurang dari satu malam?
- Pernahkah dikabarkan bahwa beliau pernah menyuruh para sahabatnya untuk melakukan perbuatan itu?
- Pernahkah ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan I’tikaf sesaat, karena jika seandainya hal itu disyari’atkan, tentulah mereka akan bersemangat melakukannya, mereka adalah orang-orang yang paling semangat melakukan kebaikan, apalagi I’tikaf sesaat itu mudah dilakukan dan mereka sering keluar masuk masjid. Sedangkan pendorong berupa semangat ingin mendapatkan pahala I’tikaf dalam jumlah yang banyak itu ada pada diri mereka. Itu memungkinkan, karena mereka sering keluar masuk Masjid. Seandainya ada, penghalang apakah gerangan yang menghalangi mereka, padahal itu adalah ibadah yang mudah dilakukan?
Janganlah dipertentangkan dengan pertanyaan Adakah dalil yang melarang I’tikaf kurang dari sehari atau semalam? karena kaidah dalam masalah ibadah adalah Tauqifiyyah, hukum asal ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan pensyari’atannya, adapun dalam masalah dunia adalah hukum asal sesuatu (perkara dunia) adalah mubah, sampai ada dalil yang melarangnya.
Kesimpulan
Berkata DR. Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah dalam Fiqhul I’tikaf, hal.54:
لعل أقرب الأقوال – والله أعلم – أن أقل الاعتكاف يوم أو ليلة
“Barangkali pendapat yang paling mendekati kebenaran -wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam.” Wallahu a’lam.
***
Catatan kaki
Post a Comment