Perbedaan Antara Menyebutkan Nikmat Allah Dengan Ujub

Lighted Matchstick on Brown Wooden Surface

Dalam artikel yang berjudul Sudahkah Anda Melakukan Tahadduts Bin Ni’mah? telah disebutkan bahwa menyebutkan nikmat Allah merupakan perintah Allah dan salah satu bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dan sudah dijelaskan pula bahwa nikmat yang diperintahkan untuk disebutkan meliputi nikmat dunia maupun agama. Dengan demikian amal sholih termasuk salah satu kenikmatan yang diperintahkan untuk disebutkan juga, bahkan hakikatnya kenikmatan agama lebih besar daripada kenikmatan dunia.
Berarti jika ada seorang muslim menyebutkan amal shalihnya kepada saudaranya, apakah ini dinilai sebagai perbuatan riya’ (memamerkan amal shaleh) atau ‘ujub (membanggakan amal shalih)? Berikut keterangan para ulama rahimahumullah:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan ujub (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat itu dari-Nya,bukan dari selain-Nya, mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya, sehingga dengan demikian ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya itu dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat adalah menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya” (Kitab Ar-Ruh, Ibnul Qoyyim, hal. 312).
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menyebutkan keta’atan (amal shaleh) dirinya,tidak terlepas dari dua keadaan :
  1. Pendorongnya adalah ingin menyatakan dirinya suci dan menghitung-hitung amalnya di hadapan Rabbnya. Hal ini adalah perkara yang berbahaya, terkadang bisa merusak amalnya dan menggugurkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hamba-Nya dari menyatakan diri bersih (suci), Dia berfirman
    فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
    “Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. An-Najm:32).
  2. Kedua, pendorongnya adalah ingin menyebutkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (tahadduts bin ni’mah), dan ia maksudkan hal itu sebagai wasilah agar dicontoh oleh orang-orang yang semisalnya. Ini merupakan tujuan yang terpuji karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
    وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
    “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan” (QS. Adh-Dhuha: 11).
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة
    “Barangsiapa di dalam agama Islam memberi contoh  amal shalih (maksudnya yang pertama dalam mengamalkan suatu amal shalih dan manusia mencontohnya), maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari Kiamat” (Nur ‘alad Darb: 30/12).

Kesimpulan

Jika seorang hamba menyebutkan nikmat Allah (termasuk di dalamnya nikmat amal sholeh) sesuai dengan yang disyari’atkan,lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut,namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya`(memperlihatkan ibadah agar dipuji manusia) dan sum’ah (memperdengarkan suara dalam beribadah agar dipuji manusia),maka itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.
Dan yang dinamakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin bentuknya adalah seorang mukmin melakukan amal shalih dengan mengharap pahala Allah (ikhlas) lalu Allah jadikan manusia mengetahui, menyenangi dan memujinya, tanpa ada niat sengaja memamerkan amal shalihnya dan tanpa ada niat sengaja mencari pujian manusia, lalu ia senang dan terkesan dengan pujian itu.
Dari Abi Dzar –radhiallahu ‘anhu– berkata,
‏ ‏‏قيل‏:‏ يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده – أو يحبه – الناس عليه‏؟‏ قال‏:‏ تلك عاجل بشرى المؤمن‏)‏ رواه مسلم‏.‏
“Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin) Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Catatan :
Perlu diketahui, bahwa orang yang menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bin ni’mah) dengan tanpa ada niat riya` dan sum’ah, maka bukanlah termasuk kedalam kategori “sikap sengaja menampakkan jenis yang tercela”, bahkan hal itu termasuk “sikap menampakkan jenis yang terpuji”, asal sesuai dengan yang disyariatkan.
Wallahu A’lam.
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Dipublikasi ulang dari muslim.or.id

Tidak ada komentar