Dicari: LGBT Yang Tertarik Memahami Al-Qur’an Dengan Benar & Mengamalkannya! (2)



Ayat Al-Qur`an yang kurang dipahami kaum LGBT

1. Batasan penyaluran hasrat seksual yang halal
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
(5) Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka,
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
(6) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak (wanita) yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
(7) Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (QS. Al-Mu’minuun: 5-7).
Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan tentang batasan penyaluran hasrat seksual yang halal dan kapan dinyatakan hal itu melampui batasan syari’at sehingga menjadi haram.
Penyaluran hasrat seksual yang halal
Hal ini dapat diketahui dari QS. Al-Mu’minuun: 5 & 6, yaitu penyaluran hasrat seksual dalam bentuk seorang laki-laki menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri atau budak wanitanya. Lalu apakah yang dimaksud menjaga kemaluan? Ulama ahli Tafsir yang masyhur, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut. Maknanya adalah orang-orang yang menjaga kemaluan mereka dari yang haram, maka mereka tidak terjatuh kedalam perkara yang dilarang oleh Allah, berupa zina atau liwath serta tidak mendekati selain istri mereka yang Allah halalkan untuk mereka atau budak (wanita) mereka (Tafsir Ibnu Katsir: 4/6).
Dalam tafsir ayat yang lainnya, QS. An-Nuur: 30, beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa menjaga kemaluan bisa dalam bentuk mencegahnya dari zina, sebagaimana Allah berfirman (artinya) dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak (wanita) yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (Al-Ma’aarij: 29-30), dan bisa pula dalam bentuk menjaga kemaluan dari pandangan (orang lain) (Tafsir Ibnu Katsir: 4/44).
Ahli Tafsir, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan QS. Al-Mu’minuun: 5 di atas. Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka dari zina. Termasuk bentuk kesempurnaan menjaga kemaluan adalah menjauhi apa yang mendorong kepadanya (zina) seperti memandang, memegang dan yang semisalnya (Tafsir As-Sa’di: 637).
Penyaluran hasrat seksual yang haram
Imam Mufassirin,  Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah menjelaskan QS. Al-Mu’minuun ayat tujuh di atas, bahwa barangsiapa yang mencari penyaluran hasrat seksual untuk kemaluannya pada selain istri dan budak (wanita)nya maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Beliau juga menjelaskan bahwa mereka melampaui batasan-batasan Allah, (yaitu) melebihi apa yang Allah halalkan untuk mereka (dengan beralih) kepada perkara yang Allah haramkan atas mereka” (Tafsir Ath-Thabari).
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menerangkan ayat di atas, bahwa tidak halal menyalurkan hasrat seksual kemaluan kecuali kepada istri atau budak (wanita)nya dan tidak halal pula onani/masturbasi” (Ahkamul Quran: 1/195).
Abu Hayan Al-Andalusi rahimahullah menerangkan bahwa firman Allah yang artinya di balik itu mengacu pada zina, liwath, mensetubuhi binatang, dan onani/masturbasi. Makna di balik itu adalah di luar batas yang Allah tetapkan berupa (penyaluran hasrat seksual halal) terhadap istri dan budak wanitanya.” (Tafsir Al-Bahr Al-Muhith: 6/391).
Kesimpulan
Dari penjelasan para pakar Tafsir kaum muslimin tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Mu’minuun: 5-7 itu menunjukkan bahwa:
  1. Menjaga kemaluan itu bukan hanya menjaganya dari penetrasi yang haram (sodomi dan zina) saja, namun juga mencakup menjaga dari seluruh penyaluran hasrat seksual yang haram. Contohnya: memandang, memegang atau yang semisalnya kepada selain istri dan budak wanitanya (Lihat: Tafsir As-Sa’di di atas).
  2. Penyaluran hasrat seksual yang halal adalah jika hasrat seksual pria disalurkan kepada istri dan budak wanitanya, dengan cara sesuai dengan batasan yang Allah tetapkan (Lihat: Tafsir Al-Bahr Al-Muhith di atas).  Dengan demikian, penyaluran hasrat seksual yang halal bagi seorang wanita hanyalah kepada suami yang sah, dengan cara sesuai dengan batasan yang Allah tetapkan.
  3. Penyaluran hasrat seksual yang haram adalah
  • Bagi laki-laki, jika disalurkan kepada selain  istri dan budak wanitanya, dengan cara apapun juga.
  • Bagi wanita, jika disalurkan kepada selain suami yang sah, dengan cara apapun juga.
Catatan:
Jika anda masih ragu terhadap kesimpulan ini, wahai LGBT. Silahkan simak fatwa-fatwa ulama yang selaras dengan kandungan QS. Al-Mu’minuun: 5-7, yang akan dikelaskan pada penjelasan-penjelasan kami selanjutnya, insyaallah.
2. Mendekati fawahisy itu haram
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
(151) Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian yaitu: janganlah kalian mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepada kalian dan kepada mereka, dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (untuk dibunuh) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepada kalian supaya kalian memahami(nya)” (QS. Al-An’aam:151).
Seorang ulama ahli Tafsir, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya) katakanlah kepada mereka yang mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian dengan pengharaman yang umum, mencakup setiap orang dan mengandung berbagai macam keharaman.
Dengan demikian, keharaman yang akan disebutkan pada kelanjutan ayat ini adalah berlaku untuk semua orang, termasuk bagi LGBT.
Lebih lanjut, syaikh Abdur Rahman As-Sa`di menjelaskan ayat yang artinya dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, yaitu dosa-dosa besar yang sangat menjijikkan (hina)1. Larangan mendekati perbuatan-perbuatan keji (fawahisy) itu lebih mengena dari sebatas larangan melakukannya, karena sesungguhnya itu mengandung larangan melakukan pendahuluannya dan sarana-sarananya yang dapat menjerumuskan kedalam perbuatan-perbuatan keji (fawahisy) tersebut (disamping mengandung larangan terhadap fawahisy itu sendiri, pent.) (Tafsir As-Sa’di, hal. 302)
Seorang ulama senior, anggota komite fatwa dan ulama besar KSA, DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan ayat di atas, perhatikanlah firman Allah (artinya), dan janganlah kalian mendekati maka Allah tidak berfirman,  dan janganlah kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang keji tetapi Allah berfirman, dan janganlah kalian mendekatikarena hal itu mengandung larangan melakukan sebab-sebab yang dapat menjerumuskan kedalam maksiat. Jadi, Allah mengharamkan maksiat dan mengharamkan sebab-sebab yang dapat menjerumuskan kedalam kemaksiatan tersebut (I’anatul Mustafid : 1/45)
Beliau rahimahullah juga menjelaskan jika sebab-sebab (yang dapat menjerumuskan kedalam kemaksiatan) saja diharamkan, bagaimana lagi dengan kemaksiatan-kemaksiatan (fawahisy)nya? Tentu lebih diharamkan lagi (I’anatul Mustafid: 1/46)
Sebagaimana diketahui, sodomi yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salam disebut dalam Al-Qur`an sebagai fahisyah (perbuatan keji). Allah Ta’ala berfirman,
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang keji itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?” (Al-A’raaf: 80).
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh seorang gay, meski tanpa sodomi dan hanya “sekedar” bernafsu ketika memandang sesama jenis, berciuman, saling oral seks, saling meraba atau semisal itu, maka hukumnya haram, karena perilaku seks sesama jenis tersebut kebanyakannya dapat menjerumuskan pelakunya kedalam fahisyah sodomi.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, demikian pula pendahuluan fahisyah (liwath besar) saat menikmati perbuatan mencium amrad (pemuda yang wajahnya tak tumbuh bulu/jenggot), menyentuhnya dan memandangnya, maka (hukumnya) adalah haram, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin2.
Adapun perilaku seks sesama perempuan (lesbi), maka termasuk kedalam fawahisy di dalam ayat di atas, karena tafsir fawahisy pada ayat di atas -sebagaimana telah disebutkan- adalah dosa-dosa besar yang keji.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan QS.  Al-A’raaf: 33. Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”, yaitu dosa-dosa besar yang menjijikkan dan buruk, karena (memang sangat) hina dan buruknya dosa-dosa tersebut, seperti zina, liwath dan sebagainya”.
Di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa  tidak ada perselisihan di antara ulama Ahli Fikih bahwa lesbi itu (hukumnya) haram, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa lesbi adalah perzinaan di antara perempuan3. Ibnu Hajar menilai lesbi itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar4.
Kesimpulan
Ayat yang disebutkan dalam QS. Al-An’aam: 151 ini, cukup menjadi dalil diharamkannya perilaku seks sesama jenis, baik gay maupun lesbi, walaupun bukan sodomi, jika ditafsirkan dan dipahami secara benar5. Bagaimana lagi jika terdapat ayat yang lainnya yang menjadi dalil? Camkanlah!
(bersambung)
____
  1. Dalam KBBI: keji/ke·ji/ a sangat rendah (kotor, tidak sopan, dan sebagainya); hina 
  2. Lihat: Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=29622 
  3. Terdapat hadits yang semakna dengan hadits di atas, yang diriwayatkan Ath-Thabarani dan Abu Ya’la serta dihasankan oleh As-Suyuthi 
  4. Lihat: Fatwa.Islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=115052 
  5. Sudah dikenal dalam ilmu Ushul Tafsir, bahwa menafsirkan suatu ayat Al Qur’an, bisa dengan ayat yang lainnya, Al-Hadits maupun selain keduanya dari rujukan-rujukan dalam menafsirkan Al Qur’anul Karim 
***
[serialposts]

Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar