Fikih I’tikaf (11)

Fikih I’tikaf (11)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya atau melakukan shalat di masjid (tertentu), selain ketiga masjid (yang paling utama) -(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al- Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha- ,maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut (yaitu: di masjid tertentu selain ketiga masjid yang paling utama).
Penjelasan kalimat
  1. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    وَمَنْ نَذَرَهُ
    “Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya”, yaitu melakukan i’tikaf.
  2. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    غَيْرِ الثّلَاثَةِ
    selain ketiga masjid (yang paling utama) ”, adalah seandainya seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.
  1. Perkataan penulis rahimahullah :
    وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى
    -(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al-Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha-” adalah berdasarkan dalil berikut ini:
    Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:
    لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
    Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al-Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Dari Abud Darda` dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam  bersabda:
    «فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة»
    “Shalat di masjid Al-Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain, shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat (di tempat lain), shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha) (lebih baik daripada) 500 shalat (di tempat lain).” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunnan Ash-Shughra:1821, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami`:4211 dan Irwa`ul Ghalil:1129, lihat: http://bit.ly/1CEEK9i)
  2.  Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
    maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut
    adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i. Inilah zahir dari perkataan penulis.
Penjelasan umum
Adapun maksud matan di atas secara global adalah :
Jika seseorang yang bernadzar untuk  melakukan i’tikaf atau shalat di masjid (tertentu) selain ketiga masjid (yang paling utama)maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut, ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya dan nadzarnya sah tertunaikan. Adapun jika seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.
Kritikan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah terhadap matan ini
Zhahir dari perkataan penulis,
لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut” adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tesebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i, seperti masjid yang lebih dekat, masjid yang usianya lebih lama atau lebih awal dibangunnya dan masjid yang di dalamnya ditegakkan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan benar, jauh dari perkara yang mungkar, perkara bid’ah apalagi perkara kesyirikan (Asy-Syarhul Mumti’ 6/519), masjid yang lebih banyak jama’ahnya, atau masjid Jami’ (yang digunakan untuk menunaikan shalat Jum’at) bagi seorang mukallaf yang beri’tikaf dan melewati hari jum’at (lihat: http://bit.ly/1TAu8N8). Perkataan penulis yang mengandung makna seperti ini tidaklah tepat.
Kalimat dalam matan di atas barulah tepat, jika masjid yang ditentukan dalam nadzar adalah masjid yang tidak memiliki keutamaan Syar’i.
Oleh karena itulah, seandainya masjid yang sudah ditentukan dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan lebih dalam Syari’at, walaupun bukan salah satu dari tiga masjid yang paling utama, maka bagi orang yang bernadzar dengan nadzar tersebut, wajib menunaikannya di masjid yang disebutkan dalam nadzarnya, karena masjid yang disebutkan dalam nadzarnya itu memiliki keutamaan Syar’i.
Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsamin rahimahullah,
فالصحيح في هذه المسألة أن غير المساجد الثلاثة إذا عينه لا يتعين إلا لمزية شرعية، فإنه يتعين؛ لأن النذر يجب الوفاء به، ولا يجوز العدول إلى ما دونه.
“Jadi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa jika seseorang dalam nadzar menentukan sebuah masjid selain ketiga masjid yang paling utama dan ia menentukannya semata-mata karena masjid itu memiliki keutamaan Syar’i, maka (dalam hal ini) hukumnya wajib dilaksanakan nadzar tersebut (sesuai dengan masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, pent.), karena sebuah nadzar itu hukumnya wajib ditunaikan dan tidak boleh beralih kepada sesuatu yang lebih rendah keutamaannya darinya (yaitu: dari apa yang disebutkan dalam nadzar).”
—-
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ
Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya.
Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya.
Penjelasan:
  1. Perkataan penulis rahimahullah :
    وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ
    Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya”, misalnya adalah ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, maka tidak sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi atau masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), karena masjid Al-Haram memiliki keutamaan lebih tinggi dari keduanya.
  1. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    وعكسه بعكسه
    “Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya” adalah  jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan yang kurang (baca: kurang afdhal), maka boleh memenuhi nadzarnya di masjid yang memiliki keutamaan lebih tinggi (baca: afdhal), misalnya :  ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi, maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, begitu pula jika ia  menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram atau masjid Nabawi. Karena keduanya lebih utama dari masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha).Dalil tentang bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik adalah
    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ قَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (شَأْنُكَ إِذَنْ ) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ لَوْ صَلَّيْتَ هَاهُنَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ صَلَاةً فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ)
    Dari Jabir bin Abdullah, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki berdiri pada hari Fathul Makkah lalu berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku telah bernadzar karena Allah. Jika Allah memenangkan Anda dalam menaklukkan kota Makkah, aku akan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis”. Beliau bersabda, “Shalatlah di sini!”, lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda,“Shalatlah di sini!”lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda, “Kalau begitu, terserah padamu”. [HR Abu Dawud, dishahihkan oleh sejumlah ulama, diantaranya : Al-Hakim dan Al-Albani ].
    Hadits ini menunjukkan bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik.
Faedah
Bahkan sebagian ulama mengqiyaskan hukum waqaf terhadap hukum nadzar ini, maksudnya: karena mengganti nadzar itu dengan yang lebih baik hukumnya boleh, maka mengganti waqaf dengan yang lebih baik hukumnya juga boleh. Namun qiyas ini adalah untuk masalah hukum memindah waqaf umum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فعلى هذا، فلو نذر أن يقف شيئا فوقف خيرا منه كان أفضل
“Berdasarkan ini, jika seseorang bernadzar bahwa dia akan mewaqafkan sesuatu, lalu dia mewaqafkan (sesuatu tersebut) yang lebih baik darinya, hal itu lebih baik”.
(Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520 (PDF)).
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (baca: masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.
Penjelasan (Syarah):
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, misalnya: seseorang bernadzar untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
    Inilah yang dimaksud “dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, baik tertentu dari sisi hari,pekan maupun bulan tertentu.
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut“, dalam contoh kasus di atas,yaitu : ia wajib masuk masjid tempat i’tikafnya, sebelum terbenamnya matahari menandai malam ke-21 Ramadhan. Dengan demikian, ia harus masuk masjid tempat i’tikafnya, sore hari ke-20 Ramadhan, sebelum terbenamnya matahari, karena hari dalam Islam (Tahun Hijriyyah) dimulai dari terbenamnya matahari (malamnya). Adapun malam dalam Islam (Tahun Hijriyyah), dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir dengan terbitnya fajar, sedangkan siang, di mulai dari terbitnya matahari dan berakhir dengan terbenamnya matahari.Dan sehari semalam adalah di mulai dari terbenamnya matahari (masuk malam), lalu pagi, siang, sore dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Itulah definisi hari, malam dan siang dalam istilah Syar’i.
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.“, berarti ia keluar pada akhir hari yang telah ia tentukan dalam nadzarnya, yaitu malam Hari Raya (malam pertama bulan Syawwal), yang ditandai dengan tenggelamnya matahari. Pembahasan diatas adalah bagi orang yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajib beri’tikaf dengan urut dari hari pertama sampai hari terakhir dan tidak boleh diselingi dengan jeda hari tanpa i’tikaf.
Nah, bagaimana jika seseorang bernadzar untuk rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya?
Misalnya, seseorang bernadzar untuk beri’tikaf sepuluh hari, begitu saja tanpa menentukan bulan apa atau pekan ke berapa. Apakah diwajibkan baginya beri’tikaf secara urut?
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,
والحاصل، أنه إذا نذر عدداً، فإما أن يشترط التتابع بلفظه، أو لا، فإن اشترطه فيلزمه، وإن لم يشترطه فهو على ثلاثة أقسام:
Kesimpulannya, jika seseorang bernadzar untuk bilangan (rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya), maka kemungkinan pertama: Ia mensyaratkan dalam ucapan nadzarnya harus urut atau
(Kemungkinan kedua:) Tidak mensyaratkan harus urut dalam ucapan nadzarnya.
Jika ia  mensyaratkan harus urut, maka wajib urut. Namun, jika ia tidak mensyaratkan harus urut (dengan lisannya), maka terdapat tiga keadaan:
الأولأن ينوي التفريق؛ فلا يلزمه إلا مفرقة.
الثانيأن ينوي التتابع، فيلزمه التتابع.
الثالثأن يطلق فلا يلزمه التتابع، لكنه أفضل؛ لأنه أسرع في إبراء ذمته.
Pertama: Ia berniat tidak urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara tidak urut.
Kedua: Ia berniat urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut.
Ketiga: Ia tidak berniat urut maupun tidak urut, maka tidak wajib  dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut. Namun yang lebih utama dilakukan secara urut, karena lebih cepat tertunaikan tanggungan nadzarnya.
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan].
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar