Fikih I’tikaf (13)

Fikih I’tikaf (13)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ
Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya

Penjelasan:

Perkataan penulis rahimahullah :
Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya” , hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).
Alasan pendalilan:
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang sedang i’tikaf mencampuri istrinya, hal ini menunjukkan bahwa jima’ (bersetubuh) saat i’tikaf merupakan pembatal i’tikaf, karena larangan dalam ayat ini tertuju pada perbuatan yang khusus terkait erat dengan i’tikaf, sedangkan kaidah dalam masalah ini adalah jika sebuah larangan tertuju pada ucapan ataupun perbuatan yang khusus terkait erat dengan suatu ibadah, maka jika larangan itu dilanggar akan membatalkan ibadah tersebut.
Contohnya: Berbicara dengan sengaja dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak terkait dengan maslahat shalat, makan saat puasa dan bersetubuh saat sedang ihram, disamping juga contoh pada bab ini, yaitu bersetubuh saat i’tikaf.
Selain bersetubuh, mu’takif juga dilarang melakukan segala hal yang berkenaan dengan muqoddimah bersetubuh, seperti mencium dan meraba atau yang semisalnya, karena perkara-perkara tersebut mendorong mu’takif untuk bersetubuh, menyibukkan  mu’takif dari ibadah i’tikaf dan mengandung pelampiasan syahwat, yang semua ini tidak selaras dengan aktifitas ibadah i’tikaf.
Perkataan penulis rahimahullah :
Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya“, juga mengandung konsekuensi bahwa jika mu’takif menggauli istrinya, namun bukan pada kemaluannya, seperti di sela-sela kedua pahanya, maka tidak membatalkan i’tikafnya, kecuali jika keluar air mani, demikian keterangan ulama rahimahumullah.  Menggauli istri bukan pada kemaluan tidak membatalkan i’tikaf disebabkan karena perkara yang diharamkan ketika i’tikaf adalah bersetubuh, sedangkan muqoddimah bersetubuh adalah penghantar kepada bersetubuh, sehingga pengharamannya adalah jenis pengharaman wasilah (sarana).
Bagaimana jika seorang mu’takif beri’tikaf dengan mensyaratkan bersetubuh ?
Jawabannya adalah syarat tersebut tidaklah sah, karena termasuk syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah. Setiap syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah syarat yang batil.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan, 2/ 421].
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar