Fikih I’tikaf (2)

Fikih I’tikaf (2)


Berdiam di Masjid syarat sahnya I’tikaf

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Penjelasan :
Apakah maksud مَسْجِدٍ (masjid) di sini?
Secara bahasa adalah :
Berkata Ibnu Mandhur rahimahullah 1:
المسجَد والمسجِد الذي يسجد فيه
Al-Masjad dan Al-Masjid yaitu (Tempat) yang digunakan untuk bersujud.2
Berkata Sibawaih rahimahullah 3:
أما المسجِد فإنهم جعلوه اسماً للبيت ولم يأتِ على فعل يفعُل
Adapun kata “Al-Masjid”, maka sesungguhnya mereka menjadikannya sebagai sebutan untuk sebuah rumah (baca: tempat), namun (kata tersebut) tidak sesuai dengan wazan (timbangan) “fa’ala-yaf’ulu 45
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al-Masjad (dengan harakat fathah huruf ج nya) secara bahasa Arab adalah kata keterangan tempat dari sajada- yasjudu, namun karena dalam dalil disebutkan Masjid (dengan harakat kasrah huruf ج nya),maka digunakanlah kata Al-Masjid,sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
{لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ}
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersih.(At-Taubah:108).
Faedah Ilmiyyah:
Berkata Az-Zakarsyi rahimahullah,
ولما كان السجود أشرف أفعال الصلاة لقرب العبد من ربه اشتق اسم المكان منه فقيل مسجد، ولم يقولوا مركع
Ketika sujud merupakan gerakan shalat yang termulia, karena (pada posisi sujud) hamba dekat dengan Rabbnya, maka diambillah kata keterangan tempat darinya, maka diungkapkan dengan: “masjid” dan mereka tidak menyebut “marki’”.6
Secara Istilah adalah :
Terdapat beberapa definisi Masjid secara istilah dari para Ulama rahimahumullah, namun definisi yang terpilih adalah
المكان الموقوف لأداء صلاة الجماعة
Tempat yang diwakafkan untuk menunaikan shalat berjama’ah (sholat lima waktu).7
,definisi ini adalah menurut ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, dan definisi ini yang terpilih karena menggabungkan dua syarat suatu tempat dikatakan sebagai masjid, yaitu:
Pertama: Tempat yang diwakafkan Lillahi Ta’ala .
Kedua : Tempat itu digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah lima waktu.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Masjid adalah syarat syahnya I’tikaf, berdasarkan dalil Alquran, As-Sunnah dan Ijma’, salahsatunya adalah firman Allah Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187).
Sisi pendalilannya:
  • Karena Allah menjadikan tempat I’tikaf adalah masjid.
  • Dan karena : Kalau seandainya sah I’tikaf dilakukan di selain masjid, maka tidaklah dikhususkan pengharaman bersetubuh bagi orang yang sedang I’tikaf hanya di masjid saja, namun juga dilarang di tempat lainnya.
Pengkhususan tempat disini menunjukkan pada bahwa tempat I’tikaf hanya satu, yaitu masjid.
2. Tidak boleh I’tikaf di seluruh tempat yang tidak memenuhi definisi masjid, seperti: kantor, kelas sekolahan, mushola (tempat sholat) kantor, mushola sekolah dan mushola pabrik. Mushola juga bukan termasuk masjid, karena:
  • Mushola kantor bisa saja tidak digunakan sholat atau hanya untuk sholat karyawan, sedang masjid untuk sholat setiap orang yang mengunjunginya. Atau digunakan untuk shalat, namun bukan lima waktu, hanya satu atau dua waktu saja.
  • Mushola tidak ada imam tetap sholat lima waktunya, adapun masjid ada.
  • Masjid tidak boleh dijual dan disewakan, karena telah diwakafkan, adapun mushola kantor, bisa dijual mengikuti dijualnya perusahaan oleh pemilik perusahaan.
  • Tidak berlaku pada mushola hukum-hukum masjid, seperti sholat Tahiyyatul Masjid, dilarang orang yang junub dan wanita haidh berdiam disitu, dilarang berdagang di dalamnya, semua itu tidak berlaku di mushola.
3. Mushola (tempat sholat) untuk menunaikan sholat ‘Iid (atau yang disebut dengan lapangan sholat ‘Iid), juga bukan masjid, menurut pendapat terkuat dan ini pendapat Jumhur Ulama rahimahumullah.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’,
المصلى المتخذ للعيد وغيره، الذي ليس بمسجد لا يحرم المكث فيه على الجنب
والحائض على المذهبوبه قطع الجمهور
Tempat sholat yang dipakai untuk shalat ‘Ied (tanah lapang) dan selainnya yang bukan termasuk masjid, tidaklah diharamkan bagi orang junub dan haidh berdiam padanya , ini menurut madzhab (Syafi’iyyah), dan dengan pendapat inilah Jumhur ulama berpendapat.8
Alasan tanah lapang untuk menunaikan sholat ‘Iid tidak termasuk masjid, diantaranya karena :
  • Tidak dilaksanakan sholat lima waktu di dalamnya.
  • Tidak ada imam tetap shalat lima waktu.
  • Tidak dilakukan shalat Tahiyyatul Masjid padanya.
  • Anak-anak kecil diperbolehkan bermain-main padanya, dan alasan-alasan yang lainnya.
Kesimpulan : Tanah lapang untuk shalat ‘Iid bukanlah termasuk masjid, sehingga tidak sah I’tikaf padanya, menurut pendapat yang terkuat. Wallahu a’lam.
Apakah halaman masjid termasuk masjid sehingga diperbolehkan I’tikaf padanya?
Dalam kitab Fikih I’tikaf, yang ditulis oleh Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah , beliau menjelaskan perselisihan ulama dalam masalah ini, berikut intisari penjelasan beliau:
Istilah dan Definisi
Halaman masjid dalam istilah Fikih dinamakan dengan : Rahbatul Masjid. Ulama rahimahullah mendefinisikannya dengan definisi beraneka ragam.
Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah berkata,
الرحبةبفتح الراء وسكون الحاء أو بفتحهماالأرض الواسعة، ورحبة المكانساحته ومتسعه وجمعه:رحاب.ورحبة المسجدساحته و صحنه
Rahbah adalah tanah yang luas. Rahbah suatu tempat adalah halaman yang luas dari tempat tersebut.
Adapun rahbah masjid adalah halaman masjid.9
Tiga pendapat ulama rahimahumullah
Ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah halaman masjid itu termasuk bagian dari masjid atau tidak.
Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah menyebutkan ada tiga pendapat dalam maslah ini, berikut ringkasannya:
Pendapat pertama,
Jika halaman masjid tersebut bersambung dengan masjid dan berada di dalam pagar masjid, maka halaman masjid tersebut termasuk masjid.
Namun jika halaman tersebut tidak bersambung dengan masjid dan tidak berada di dalam pagar masjid, maka halaman tersebut bukan termasuk masjid.
Inilah pendapat para ulama bermazhab Syafi’i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la salah seorang ulama bermazhab Hanbali.
Dalil pendapat ini adalah firman Allah,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid(QS. Al-Baqarah:187).
Jika halaman tersebut dikelilingi pagar masjid dan bersambung dengan bangunan masjid sehingga dikategorikan menyatu dengan masjid, maka hakekatnya halaman tersebut termasuk masjid.
Pendapat kedua
Halaman masjid itu bukan termasuk masjid, sehingga i’tikaf di halaman tersebut tidaklah sah.
Inilah pendapat yang terkenal di antara para ulama bermazhab Maliki 10 Ini juga merupakan pendapat yang paling tepat diantara para ulama bermazhab Hanbali11
Mereka berdalil dengan perkataan Aisyah,
كنّ المعتكفات إذا حضنّ أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن
Para wanita yang sedang beri’tikaf, jika sedang haid, diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik i’tikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid12.
Bantahan: Dibawakan kepada kemungkinan bahwa halaman masjid tersebut tidak berada di dalam pagar masjid.
Pendapat ketiga
Beri’tikaf di halaman masjid itu sah jika bilik i’tikaf dipasang di halaman masjid.
Inilah pendapat Imam Malik.
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Seorang yang sedang beri’tikaf hanya boleh menginap di dalam masjid yang dia pergunakan untuk i’tikaf saja, kecuali jika bilik i’tikafnya berada di halaman masjid 13.
Mungkin dalil Imam Malik adalah perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Pendapat yang terkuat
Pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama, berdasarkan dalil yang telah disebutkan. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
  1. Halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid adalah bagian dari masjid, sehingga berlaku semua hukum-hukum masjid.
  2. Konsekwensinya, halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid itu sah digunakan untuk tempat i’tikaf, sehingga orang yang sedang i’tikaf, jika keluar dari ruang utama masjid, kemudian berpindah ke halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid tersebut, maka tidak menyebabkan i’tikafnya batal.
***
Catatan kaki
1 Beliau adalah Abul Fadhl Muhammad bin Mukrim bin Ali Al-Anshari Al-Ifriiqi, Imam Ahli bahasa Arab (w. 711 H), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).
2. Lisanul Arab, juz 7 pada huruf سجد, (library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3713&idto=3713&bk_no=122&ID=3720)
3. ‘Amr bin Utsman Al-Haritsi, Imam Ahli Nahwu (w. 180 H), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).
4Maksudnya (harakat kata tersebut) tidak sesuai dengan perubahan timbangan (wazan)nya, seharusnya “Al-Masjad” dengan harakat fathah (huruf ج nya), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).
5. Lisanul Arab, juz 7 pada huruf سجد, (library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3713&idto=3713&bk_no=122&ID=3720)
6I’laamus Sajid bi Ahkaamil Masaajid, Az-Zarkasi, hal. 27, di http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=2&View=Page&PageNo=3&PageID=11664
7. Al-Bahrur Raaiq (5/268), Haasyiah Ibni Aabidin (4/356), Al-Haawi Al-Kabiir (3/485), Majmuu’ Fataawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah , dinukil dari: Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 6 (soft file word).
9Mishbahul Munir 1/222 dan Ikmal Ikmalil Mu’allim 3/288
10Ikmal Ikmalil Mu’allim 3/288, Syarh Az- Zarqani 2/206, Mawahibul Jalil 2/455 dan Asy-Syarhul Kabir beserta penjelasan singkatnya 1/542.
11Al-Mughni 4/487, Al-Mubdi’ 3/68 dan Al-Inshaf 3/364.
12. Penyususun belum mendapatkan derajat Haditsnya, jika seandainya riwayat ini shahihpun, maka bisa terbantah dengan bantahan di atas. Wallahu a’lam.
13Al Mudawwanah yang disertai al Muqaddimat 2/203, Al-Muwaththa` yang disertai Al-Muntaqa 2/79 dan Ikmal Ikmil Mu’allim 3/288
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar