Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa?

Ketika Berubah Pendapat Terkait Pembatal Puasa, Wajibkah Mengganti Puasa?


Berikut ini penulis nukilkan fatwa Islam Web tentang masalah di atas:
Hukum orang yang memilih pendapat bahwa suatu perkara tidak membatalkan puasa, kemudian berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk pembatal puasa
Pertanyaan:
Seseorang berpegang dengan sebuah fatwa bahwa suatu perkara tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa, dia pun mengamalkan fatwa tersebut. Setelah itu dia berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk pembatal puasa, apakah wajib mengganti hutang puasa?

Jawab :
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi, amma ba’du, barangsiapa yang memenuhi kriteria sebagai ulama ahli ijtihad[1], lalu memilih pendapat bahwa suatu perbuatan tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa, contohnya ia memilih pendapat bahwa berbekam itu bukanlah perkara yang membatalkan puasa atau memasukkan obat lewat dubur dan perkara yang diperselisihkan ulama lainnya, bukanlah termasuk pembatal puasa setelah itu berubah memilih pendapat bahwa perkara tersebut termasuk pembatal puasa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan ia pun tidak diwajibkan untuk mengganti hutang puasa.
Demikian pula, jika ia seorang yang awam, lalu mengikuti fatwa ulama yang terpercaya, yang memandang bahwa perbuatan itu bukanlah termasuk pembatal puasa setelah itu, ia mantap dengan pendapat bahwa perbuatan tersebut adalah pembatal puasa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya dan ia pun tidak diwajibkan untuk mengganti hutang puasanya tersebut.
Hal itu dikarenakan terdapat penetapan yang disebutkan dalam ilmu Ushul, bahwa “Ijtihad yang lebih akhir tidaklah bisa menganulir ijtihad yang sebelumnya”. Syaikh Abdul Wahhab Khalaf didalam kitabnya Ushul Fikih berkata, “Kalau seandainya seorang mujtahid berijtihad tentang suatu kasus  dan memutuskan suatu hukum tentangnya dengan hukum yang menjadi hasil ijtihadnya, lalu nampak padanya suatu pandangan lain terhadap kasus itu, kemudian ijtihad barunya membuahkan hasil hukum lain, maka hukum baru tersebut tidak bisa menganulir hukum yang sebelumnya. Demikian pula mujtahid lain yang menyelisihi ijtihadnya pun tidak bisa menganulir hukum tersebut. Hal itu disebabkan:
  1. Ijtihad yang kedua kedudukannya tidak lebih tinggi dari ijtihad yang pertama.
  2. Dan (pada asalnya) tidak ada satu pun ijtihad seorang mujtahid yang lebih berhak untuk diikuti dari ijtihad mujtahid lainnya.”
Menganulir ijtihad yang telah berlalu dengan ijtihad yang sesudahnya mengantar kepada tidak stabilnya suatu hukum dan mengambangnya status kasus tersebut, dan keadaan seperti itu memberatkan dan membawa kesulitan.
Telah ada sebuah riwayat bahwa Umar bin Khaththab memutuskan suatu perkara dengan sebuah hukum, kemudian berubahlah ijtihad beliau, namun beliau tidak menganulir keputusan hukum yang lama dengan hukum yang baru. Akan tetapi dalam perkara tersebut (untuk kasus baru, pent.), beliau cukup memutuskan hukum lain yang menjadi hasil ijtihad keduanya dan berkata, “Hukum (yang pertama) itu sah sesuai dengan keputusan (hasil ijtihad) saya yang lama/pertama. Adapun hukum yang sekarang ini diputuskan sesuai dengan keputusan (hasil ijtihad) saya (yang sekarang/kedua)”.
Abu Bakar pun memutuskan keputusan dalam beberapa masalah dan setelah itu, Umar menyelisihinya dalam masalah tersebut, sedangkan beliau tidak menganulir keputusan hukum Abu Bakar yang telah berlalu. Selaras dengan kaedah inilah, selayaknya dipahami ucapan Umar bin Khaththab kepada Abu Musa Al-Asy’ari pada masa pemerintahan beliau, tatkala beliau mengangkatnya sebagai hakim, (beliau berkata) “Keputusan hukum yang telah Anda putuskan hari ini lalu Anda mengubah keputusan (setelahnya) sedangkan Anda benar dalam keputusan yang kedua tersebut, tidaklah menghalangi Anda untuk kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu adalah sebuah kebaikan, daripada tetap berada di dalam kesalahan.” Wallahu a’lam. [2]
Kesimpulan dari fatwa di atas:
Bahwa kaidah Ushul:
الاجتهاد اللاحق لا ينقض الاجتهاد السابق
Ijtihad yang lebih akhir tidaklah bisa menganulir ijtihad yang sebelumnya (untuk kasus yang lama, pent.)
ini menunjukkan kepada:
  1. Bahwa hukum lama sebagai hasil ijtihad lama tetaplah sah berlaku untuk kasus yang lama dan tidak bisa dianulir dengan hukum baru yang berdasar pada hasil ijtihad baru. Sehingga dalam kasus di atas, orang yang disebutkan tersebut tidaklah diwajibkan untuk membayar hutang puasanya.
  2. Adapun, kasus yang baru dihukumi dengan hasil ijtihad yang baru, jika terjadi perubahan hasil ijtihad.


Allahu Ta’ala a’lam.
***
Catatan kaki
[1] Ijtihad adalah  seorang ahli ijtihad mengerahkan kemampuan ilmiyyahnya secara sunguh-sungguh untuk mendapatkan sebuah hukum Syar’i yang sifatnya dzonni (dugaan)
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar