Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:
Hukum Sebab
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan bab ke-7 dari kitab At-Tauhid, yaitu :
“Bab: Diantara bentuk kesyirikan adalah memakai sesuatu yang melingkar dan memakai benang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkanmara bahaya atau menolaknya”, berkata :
“Pemahaman terhadap bab ini, tergantung kepada pengetahuan tentang hukum-hukum sebab. Sedangkan perincian hukum-hukum sebab tersebut adalah sebagai berikut:
Seseorang wajib mengetahui bahwa dalam (pembahasan) sebab terdapat tiga perkara (yang mendasar), yaitu:
أحدها: أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا.
Pertama: Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara Syar’i maupun Qadari/Kauni.
ثانيها: أن لا يعتمد العبد عليها، بل يعتمد على مسببها ومقدرها، مع قيامه بالمشروع منها، وحرصه على النافع منها.
Kedua: Seorang hamba tidak bersandar (hatinya) kepada sebab, namun bersandar kepada Allah, Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab dan Sang Pentakdirnya, diiringi dengan usaha yang disyari’atkan (untuk dilakukan) dan semangat melakukan yang (paling) bermanfa’at diantaranya.
ثالثها: أن يعلم أن الأسباب مهما عظمت وقويت فإنها مرتبطة بقضاء الله وقدره لا خروج لها عنه،
Ketiga: (Wajib) diketahui bahwa suatu sebab, meskipun besar dan kuat (pengaruhnya), maka sesungguhnya tetap terikat dengan taqdir Allah, tidak bisa terlepas darinya”.
Beliau rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya,
Jika Allah menghendaki, maka Allah akan takdirkan suatu sebab berpengaruh sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya, agar seorang hamba mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya, karena Allah telah mentakdirkan terjadinya akibat, ketika seorang hamba melakukan sebabnya.
Namun, jika Allah menghendaki sesuatu yang lain, maka Allah takdirkan suatu sebab tidak berpengaruh dan tidak berakibat, agar hati seorang hamba tidak bergantung kepada sebab dan agar ia mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah atas hamba-Nya dan kesempurnaan kehendak-Nya dalam mengatur alam semesta.
Beliau rahimahullah berkata :
فهذا هو الواجب على العبد في نظره وعمله بجميع الأسباب.
“Inilah sikap wajib seorang hamba dalam memandang dan melakukan berbagai macam sebab (dalam aktivitasnya)”.
Kemudian beliau rahimahullah menyimpulkan,
إذا علم ذلك فمن لبس الحلقة أو الخيط أو نحوهما قاصدا بذلك رفع البلاء بعد نزوله، أو دفعه قبل نزوله فقد أشرك ;
“Jika sudah diketahui hal itu, maka barangsiapa yang memakai sesuatu yang melingkar danmemakai benang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya setelah menimpanya atau menolaknya sebelum menimpanya (padahal hal itu bukan sebagai sebab, pent.), maka ia telah melakukan perbuatan syirik”.
Selanjutnya, beliau rahimahullah menjelaskan kapan seseorang yang memakai jimat divonis telah melakukan syirik besar dan kapan divonis sebagai syirik kecil, berikut penjelasannya:
Tentang hukum syirik besar
إن اعتقد أنها هي الدافعة الرافعة فهذا الشرك الأكبر. وهو شرك في الربوبية حيث اعتقد شريكا مع الله في الخلق والتدبير. وشرك في العبودية حيث تأله لذلك وعلق به قلبه طمعا ورجاء لنفعه،
“Jika seseorang meyakini bahwa jimat tersebut menolak atau menyingkirkan mara bahaya (dengan sendirinya, terlepas dari kekuasaan Allah, pent.), maka ini adalah perbuatan syirik besar. Yaitu syirik dalam Rububiyyah, yang mana ia meyakini ada selain Allah, yang menjadi tandingan-Nya dalam menciptakan dan mengatur alam semesta.
Disamping itu, (perbuatan tersebut juga) termasuk bentuk kesyirikan dalam ibadah, yang mana ia telah menyembah jimat tersebut dan menggantungkan ketamakan dan harapannya kepadanya, guna mendapatkan manfa’at darinya”.
Tentang hukum syirik kecil
وإن اعتقد أن الله هو الدافع الرافع وحده ولكن اعتقدها سببا يستدفع بها البلاء، فقد جعل ما ليس سببا شرعيا ولا قدريا سببا، وهذا محرم وكذب على الشرع وعلى القدر.
“Sedangkan, jika ia berkeyakinan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Sang Penolak dan Penyingkir mara bahaya, akan tetapi ia meyakini bahwa jimat tersebut merupakan sebuah sebab yang dengannya tertolak mara bahaya, maka hakekatnya ia telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab, baik secara Syar’i maupun Qadari, sebagai sebuah sebab. Ini hukumnya haram dan dusta atas nama Syar’i dan Qadar/Kauni”.
Benarlah apa yang dikatakan Syaikh Abdur Rahman As- Sa’di di atas, karena sesungguhnya dalam syari’at, Allah melarang seorang hamba memakai jimat dengan setegas-tegasnya, maka sesuatu yang dilarang dalam syari’at pastilah bukan merupakan suatu sebab yang bermanfa’at.
Disamping itu, jimat tidak terbukti secara ilmiyyah sebagai sebuah sebab yang bermanfa’at, apalagi mengenakan jimat merupakan perbuatan yang menjadi sarana menghantarkan kepada kesyirikan akbar.
Nasehat Syaikh Abdur Rahman As- Sa’di rahimahullah
Kemudian beliau rahimahullah menasehati,
“Maka seorang yang beriman wajib meninggalkan jimat tersebut, agar sempurna keimananan dan tauhidnya, karena jika sempurna tauhid seseorang, maka hatinya tidak tergantung kepada sesuatu yang bertentangan dengan tauhidnya.
Dan (pemakaian) jimat itu menunjukkan kekurangan akal pemakainya, yang mana ia bergantung kepada sesuatu yang tidak layak hatinya bergantung kepadanya, serta bergantung kepada sesuatu yang tidak bermanfaat (baginya), ditinjau dari sisi manapun juga, bahkan justru hal itu murni membahayakan(nya)!”.
والشرع مبناه على تكميل أديان الخلق بنبذ الوثنيات والتعلق بالمخلوقين، وعلى تكميل عقولهم بنبذ الخرافات والخزعبلات، والجد في الأمور النافعة المرقية للعقول، المزكية للنفوس، المصلحة للأحوال كلها دينيها ودنيويها والله أعلم.
“Syari’at Islam ini terbangun di atas penyempurnaan agama manusia, dengan meninggalkan keberhalaan dan ketergantungan (hati) kepada makhluk.
(Syari’at Islam ini juga) terbangun pula di atas penyempurnaan akal manusia, dengan meninggalkan cerita dusta (khurafat) dan keyakinan batil, serta bersungguh-sungguh dalam perkara yang bermanfa’at, yang hal ini meningkatkan (kesempurnaan) akal, membersihkan jiwa dan memperbaiki seluruh keadaan, baik Diniyyah maupun duniawi. Wallahu a’lam”.[Kitab Al-Qaulus Sadiid Fii Maqaashidit Tauhid, hal. 34 – 37].
***
[Bersambung, in sya Allah]
Catatan kaki
Post a Comment