Menyoal konsekwensi penerjemahan Istiwa` (bag.3) - Tafsir Yang Masyhur Dari Para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah



Berikut ini beberapa nukilan dari para imam Salafush Sholeh tentang tafsir yang masyhur [1] dari lafadz istawa ‘ala
 (اِسْتَوَى عَلَى)  dan makna bahasa dari Ahli bahasa Arab [2] :

Tafsir yang masyhur dari para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang makna istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى)

1. Pakar tafsir di kalangan Tabi'in ,Imam Mujahid (wafat tahun 102 H) rahimahullah berkata:
{اسْتَوَى}: علا على العرش

"{اسْتَوَى} (yaitu) :  tinggi di atas 'Arsy".

2. Bisyr bin 'Amr Az-Zahrani berkata (wafat tahun 207 H) menuturkan:

سمعت غير واحد من المفسرين يقول :{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}: ارتفع

"Saya mendengar tidak hanya satu orang dari kalangan Ahli Tafsir menafsirkan :

{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى},(yaitu ) : "tinggi di atas".

3. Imam Ahli Tafsir yang wafat tahun 310 H,Ibnu Jariir Ath-Thabari rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala :

{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}, berkata :

الرحمن على عرشه ارتفع وعلا
"Ar-Rahman tinggi di atas 'Arsy".

4. Syaikh Shalih bin Abdil 'Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata :

﴿اسْتَوَى﴾ هذه فسرها السلف بعدة تفسيرات قالوا:﴿اسْتَوَى﴾ علا ، ﴿اسْتَوَى﴾ استقر ، ﴿اسْتَوَى﴾ ارتفع ، ﴿اسْتَوَى﴾ صعد

"(Istawa) ,ini ditafsirkan oleh Salafush Shalih dengan beberapa tafsiran, mereka berkata :
Istawa bermakna : tinggi di atas ('alaa) , istawa bermakna : tetap tinggi di atas (istaqarra), istawa bermakna: irtafa'a (tinggi di atas), Istawa bermakna : sha'ida (tinggi di atas)".

Tafsir Ahli Bahasa Arab
Berkata pakar bahasa Arab,Abul 'Abbas Tsa'lab (wafat tahun 291 H) :
{استوى على العرش}: علا
{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى},(yaitu ) : " tinggi di atas".

Penukilan tafsir etimologi dari para ulama

1. Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu 'Abdil Barr rahimahumallahu telah menukilkan bahwa :

والاستواء في اللغة معلوم مفهوم وهو العلو والارتفاع على الشيء  والاستقرار

"Istiwa` dalam bahasa Arab maknanya sudah jelas dan bisa dipahami,yaitu : tinggi di atas sesuatu serta tetap tinggi di atas (tidak beralih dari keadaanya)".

2. Syaikh Shalih bin Abdil 'Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata :

{ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} هذه فسرها السلف بـ ( علا وارتفع وصعد واستقر ) وهذه كلها من التفسيرات اللغوية

"{ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}, ayat ini ditafsirkan oleh Salafush Shalih dengan : 'ala (tinggi di atas),irtafa'a (tinggi di atas), sha'ida (tinggi di atas) dan istaqarra (tetap tinggi di atas), semua tafsiran ini merupakan makna bahasa (juga)".

Khusus makna استقرّ, Syaikhul Islam rahimahullah menukilkan dari sebagian Salafush Shalih :

وقال عبد الله بن المبارك ومن تابعه من أهل العلم وهم كثير أن معنى استوى على العرش استقر وهو قول القتيبي

"Berkata Abdullah ibnul Mubarak dan Ulama yang mengikuti beliau (dan jumlah mereka banyak), bahwa: makna "istawa 'alal 'Arsy" bermakna tetap tinggi di atas 'Arsy (tidak beralih dari keadaannya), dan ini perkataan Al-Qutaibi". [3]

Catatan:

Kata kerja "استوى" jika bersambung dengan "على", maka tidak boleh dipalingkan dari makna "tinggi di atas", sedangkan seluruh makna-makna lainnya dari makna  "استوى" yang disebutkan oleh para ahli bahasa Arab itu adalah jika "استوى" tidak bersambung dengan "على", atau "استوى" bersambung dengan selain "على" sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah. [4]
Adapun kesimpulan yang bisa kita tarik dari penjelasan di atas tentang makna “ استوى على ” ,in sya Allah akan dilanjutkan pada bagian yang ke -4 dari artikel : Menyoal konsekwensi penerjemahan Istiwa`. Semoga bermanfa'at luas.


(Bersambung, in sya Allah)




[1]  Diantara Salaf ada yang menafsirkan dengan tafsiran yang tidak masyhur sebagaimana akan dijelaskan paada artikel tersendiri, in sya Allah.
[2]  Diolah dari http://www.as-salaf.com/article.php?aid=89&lang=ar , http://Quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura20-aya5.html#tabary dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/archive/index.php/t-124130.html
[3] Majmu`ul Fatawa : 5/519
[4] Disimpulkan dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Mukhtashar Ash-Shawaiq 380 (dinukil dari kitab Tauhid Asmaillah wa Shifatihi, hal. 22, Syaikh Ibrahim Ruhaili hafizhahullah)

***

Penulis : Sa'id Abu Ukasyah

Tidak ada komentar