Mutiara dalam nama Ar-Rabb & tarbiyyah-Nya (2)
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
4. Kekhususan nama “الربّ”
Diantara kekhususan
nama “الربّ” adalah
Nama “الربّ”
ketika disebutkan sendirian menunjukkan seluruh nama-nama Allah yang lainnya.
“الربّ” adalah nama Allah yang menunjukkan kepada
sejumlah makna, bukan hanya satu makna, bahkan jika disebutkan nama “الربّ” sendirian, maka menunjukkan kepada
seluruh nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang lainnya.
Ibnul Qoyyim
rahimahullah menjelaskan tentang hal ini[1] :
إن الرب
هو القادر ، الخالق ، البارئ ، المصور ، الحي القيوم ، العليم ، السميع البصير ،
المحسن ، المنعم الجواد ، المعطي المانع ، الضار النافع ، المقدم المؤخر الذي يضل من يشاء ويهدي من يشاء ، ويسعد
من يشاء ويشقي من يشاء ، ويعز من يشاء ويذل من يشاء
~ إلى غير ذلك من معاني ربوبيته ، التي له
منها ما
يستحقه
من الأسماء الحسنى
Sesungguhnya Ar-Rabb adalah Al-Qodiir (Yang Maha Kuasa), Al-Khaliq (Yang Maha Menciptakan), Al-Barik (Yang Maha
Mengadakan), Al-Mushawwir (Yang Membentuk Rupa), Al-Hayyu
(Yang Maha Hidup), Al-Qoyyuum (Yang Maha Mandiri & Mengurus segala
sesuatu), Al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui), As-Samii’ (Yang Maha
Mnedengar), Al-Bashiir (Yang Maha Melihat), Al-Muhsin (Yang Maha
Berbuat Baik), Al-Mun’im (Yang Maha Memberi nikmat), Al-Jawwaad
(Yang Maha Dermawan), Al-Mu’thi (Yang Maha Memberi) lagi Al-Maani’
(Yang Maha Mencegah), Adh-Dhaar (Yang Maha Menimpakan mudharat) lagi
An-Nafi’ (Yang Memberi Manfaat), Al-Muqoddim (Yang Maha
Mendahulukan) lagi Al-Muakhkhir (Yang Maha Mengakhirkan), Yang
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya, membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, menyengsarakan siapa
yang dikehendaki-Nya, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya, menghinakan siapa
yang dikehendaki-Nya, dan selainnya dari makna-makna rububiyyah-Nya, yang hanya
milik Ar-Rabb -lah dari seluruh nama-nama terindah yang berhak dimiliki-Nya.
Diantara kekhususan
nama “الربّ” yang lainnya adalah
Nama “الربّ”
jika disebutkan tanpa disandarkan kepada kata yang lainnya, maka hanya untuk
Allah semata.
Ibnu
Katsir rahimahullah dalam tafsirnya berkata :
ولا
يُستعملُ الربُّ لغيرِ اللهِ، بل بالإضافةِ، تقولُ: رَبُّ الدارِ، رَبُّ كذا، وأما
الربُّ فلا يُقال إلا للهِ عز وجل
Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk selain Allah,
namun (jika harus digunakan untuk selain Allah), maka dengan disandarkan kepada
kata lainnya, contoh : rabbud daar (pemilik
rumah), rabbu kadza (pemilik sesuatu), Adapun jika disebut “الربّ” saja, maka tidak disebutkan kecuali untuk
Allah “Azza wa Jalla semata.
Berkata
Ibnul Atsiir rahimahullah :
ولا يُطلقُ غيرَ مضافٍ إلا على اللهِ
تعالى، وإذا أُطْلِقَ على غيرِهِ أُضيفَ، فيقال: رَبُّ كذا
Tidaklah (الربّ)
disebutkan tanpa disandarkan ke kata lain kecuali untuk Allah Ta’ala, dan jika
disebutkan untuk selain-Nya, maka harus disandarkan, sehingga disebut : rabbu
kadza (pemilik
sesuatu). [An-Nihayah
: 1/179][2]
Al-Baghawi rahimahullah berkata :
وَلَا يُقَالُ لِلْمَخْلُوقِ هُوَ
الرَّبُّ مُعَرَّفًا إِنَّمَا يُقَالُ رَبُّ كَذَا مُضَافًا، لِأَنَّ الْأَلِفَ
وَاللَّامَ لِلتَّعْمِيمِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ الْكُلَّ
Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk makhluk, yaitu kata “الربّ”yang beralif lam ta’rif, hanya saja jika
penyebutan untuk makhluk, maka disebutkan : rabbu kadza (pemilik sesuatu), dengan disandarkan kepada kata lainnya. Karena alif
lam itu menunjukkan makna umum, sedangkan makhluk tidaklah memiliki semua makna
“الربّ”.
Kesimpulan : Tidaklah disebut “الربّ”
beralif lam (tidak disandarkan kepada kata lain) kecuali untuk Allah Ta’ala.
5. Macam-macam Tarbiyyah Allah Ta’ala
Dalam
Tafsirnya, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa
tarbiyyah Allah itu ada dua.
Dua macam
tarbiyyah Allah tersebut adalah :
Tarbiyyah umum : Pemeliharaan Allah terhadap seluruh makhluk dalam bentuk menciptakan,
memberi rezeki dan memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa hidup di dunia
ini, sehingga tarbiyyah Allah jenis umum ini terkait dengan kenikmatan duniawi.
Tarbiyyah khusus : Pendidikan, pengasuhan, penjagaan, dan pemeliharaan-Nya terhadap
seorang mukmin[3],
dalam bentuk memberi taufiq kepada setiap kebaikan, serta menolak berbagai
keburukan dan hal yang merusak keimanan mereka.
Inti tarbiyyah khusus ini adalah Allah mendidik seorang mukmin agar terjaga dan
sempurna imannya.
Untuk memahami
tarbiyyah Allah yang khusus ini, kita perlu memahami ayat yang agung ini :
Allah Ta’ala
berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia. [Asy-Syura : 11]
Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya.
Allah itu
Tuhan Yang Maha Sempurna, sedangkan makhluk itu penuh kekurangan dan kelemahan.
Model
kekurangan dan kelemahan makhluk itu bermacam-macam, diantara mereka ada yang
memberi untuk menerima, ada yang tidak memberi sesuatu karena bakhil, membunuh
untuk mengambil harta, menyakiti untuk membalas dendam, dan mengusir untuk
menyengsarakan.
Adapun
Allah, maka
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia!
Allah itu
sempurna dari segala sisi!
Dinukilkan
dalam Fawaidul Fawaid bahwa Ibnul Qoyyim rahimahullah
menjelaskan bahwa bagaimana Allah berbuat terhadap hamba-hamba-Nya yang
beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidaklah mencegah kecuali
untuk memberi, tidaklah mematikan kecuali untuk menghidupkan, tidaklah
menimpakan musibah kecuali menyelamatkannya, tidaklah mengujinya kecuali untuk
memurnikan keimanannya, dan tidaklah mengeluarkannya dari perut ibunya,
terlahir di dunia ini kecuali untuk meniti jalan menuju kepada Allah dan
berjumpa dengan-Nya.
Allah
mencegah pemberian dunia dari seorang mukmin untuk memberi anugerah iman yang
itu lebih besar dari dunia, karena Allah tidak ridho bagian yang rendah
untuk hamba-Nya yang beriman, Allah menghendaki anugerah yang tinggi
untuknya, disinilah nampak bahwa karunia Allah berupa pencegahan
dunia itu lebih afdhol dari pemberian dunia bagi seorang mukmin.
Sekali lagi,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia!
Pengaturan
Allah atas hamba-hamba-Nya itu jauh lebih bagus dari pengaturan hamba atas
dirinya sendiri, kasih sayang Allah kepada hamba-Nya itu jauh lebih besar dari
kasih sayang hamba-Nya kepada dirinya sendiri.
Allah itu
paling tahu apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya, paling mampu mewujudkan
kemaslahatan untuk hamba-Nya, paling baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman,
serta paling bijak dan adil dalam mentaqdirkan taqdir hamba-Nya. Setiap
taqdir-Nya tidak keluar dari kasih sayang, kebaikan, karunia, hikmah, atau
keadilan-Nya.
Dan seluruh
hamba-Nya tidak akan bisa keluar dari pengaturan-Nya yang sempurna, seluruh
urusan itu di tangan Allah, maka kebahagiaan seorang yang mengimani ini semua
ada pada menyerahkan seluruh urusan kepada-Nya, bersandar hatinya kepada-Nya
semata, sambil mengambil usaha dengan maksimal disertai memohon pertolongan
kepada-Nya semata, setelah itu ia ridho Allah sebagai Rabbnya, Sang Pengatur
dirinya sehingga menerima pengaturan dan taqdir-Nya dengan lapang dada, sabar,
dan bahkan bersyukur kepada Allah semata.
(Bersambung, in sya Allah)
Post a Comment