Mutiara dalam nama Ar-Rabb & tarbiyyah-Nya (3)
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Peristiwa apapun yang menimpa seorang mukmin di jalan ketaatan kepada
Allah itu hakekatnya adalah bentuk tarbiyyah Allah yang special untuknya!
Allah Ta’ala
berfirman :
وَبَلَوْنٰهُمْ بِالْحَسَنٰتِ وَالسَّيِّاٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Dan Kami uji mereka dengan kelapangan/kesenangan dan kesulitan/musibah,
agar mereka kembali (taat & taubat). [Al-A’raf : 168]
Oleh karena
itu, ketika Allah mentaqdirkan seorang mukmin dan mengaturnya dengan berbagai
kejadian yang tidak ia inginkannya saat melakukan berbagai macam amal ibadah,
maka yakinilah bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya dan hal itu bagian
dari tarbiyyah Allah atas keimanannya.
Berikut ini contoh-contoh tarbiyyah khusus dari Allah untuk
hamba-hamba-Nya yang beriman, bahkan untuk para nabi-Nya:
Tarbiyyah Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Allah Ta’ala
berfirman :
عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰى
1. Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling,
2. karena seorang buta (Abdullah bin Ummi
Maktum) telah datang kepadanya.
Sampai ayat
ke-10. [‘Abasa : 1-2]
Dalam surat ‘Abasa
dari ayat pertama sampai kesepuluh, terdapat teguran lembut dari Allah kepada
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat bermuka masam dan
berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu yang buta,
padahal ia datang kepada kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk meminta diajari agama Islam dengan mengucapkan : “Wahai Utusan
Allah, berilah aku petunjuk”[1]
Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam saat bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi
Maktum radhiyallahu
‘anhu setidaknya karena
tiga alasan :
1. Beliau sedang sibuk
mendakwahi pembesar kafir suku Quraisy
yang diharapkan mereka masuk kedalam agama Islam sehingga akan masuk Islam pula
para pengikutnya, karena waktu itu pembesar kafir tersebut menyatakan dirinya
tidak membenci tauhid dan agama Islam[2],
sehingga ada harapan dia masuk Islam demikian pula para pengikutnya.
2. Seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beralih memberi perhatian
kepada Abdullah bin Ummi Maktum,
pria buta yang menurut pandangan pembesar kafir tersebut adalah orang yang
rendah derajatnya, dikhawatirkan ia merendahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena memberi perhatian kepada orang yang menurut
pandangan mereka rendah derajatnya daripada memberi perhatian kepada mereka
lebih dahulu, padahal dari sikap pembesar kafir tersebut, ada harapan ia masuk
Islam.
3. Pembesar kafir
kafir suku Quraisy yang didakwahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, ketika itu sama-sama belum masuk Islam, kalaulah seandainya Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sudah masuk Islam ketika itu, tentulah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak berpaling darinya dan ia akan disebut dalam ayat di
atas dengan sebutan mukmin atau semisalnya dan bukan sebutan orang yang buta.
Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu masuk Islam setelah turunnya
ayat tersebut.[3]
Sikap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ini adalah ijtihad dakwah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sama sekali bukanlah maksud beliau merendahkan Abdullah
bin Ummi Maktum, karena tujuan beliau berdakwah adalah menyebarkan agama Islam
ini demi meraih ridho Allah semata, bukan pujian, harta, jabatan dan status
sosial sehingga tidak mendakwahi orang karena ingin dapat harta, jabatan atau
tujuan duniawi lainnya.
Tarbiyyah Allah untuk
utusan-Nya yang paling mulia ini mengandung pelajaran besar bahwa Allah
mengajarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam metode
dakwah yang paling baik dengan mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar,
yaitu dengan mendahulukan mad’u (jama’ah/audien) yang semangat mengetahui
ajaran Islam, ingin membersihkan diri dari dosa dan takut kepada Allah,
daripada jamaah yang tidak sesemangat itu dalam mengetahui ajaran Islam dan tidak
bersegera dalam memperolehnya.
Selain itu, Allah
hendak menambah kesempurnaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salllam dalam menghadapi orang buta yang tidak bisa melihat beliau, namun
semangat mendapatkan petunjuk Allah.
Disamping itu juga tarbiyyah
Rabbani ini pelajaran bagi ummat beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para da’i khususnya, dan keseluruhan umat Islam pada umumnya.
Tarbiyyah Allah kepada Nabi Adam & Rasulullah Ibrahim ‘alaihimas
salam[4]
Cemburu atau
Al-Ghairah adalah salah satu dari sifat Allah Ta’ala.
Sifat
cemburu Allah ini disebutkan dalam Hadits riwayat Al-Bukhari & Muslim rahimahumallah,
dari Abu Hurarairah radhiyyallah ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ: أَنْ يَأْتِيَ
الْعَبْدُ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah cemburu, dan sesungguhnya seorang mukmin cemburu
(juga). Sedangkan cemburu Allah itu (ada saat) seorang hamba melakukan perkara
yang diharamkan atasnya
Jadi, maksud
cemburu Allah kepada hamba-Nya adalah Allah tidak menjadikannya menghamba
kepada makhluk lainnya, namun Allah hanya menjadikannya sebagai hamba-Nya
semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan cemburu Allah itu ada saat seorang hamba
melakukan perkara yang diharamkan atasnya,
Ibnul Qoyyim
rahimahullah menjelaskan bahwa diantara bentuk cemburu Allah adalah
cemburu-Nya kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya, yaitu Adam ‘alaihis salam, saat
kelezatan Surga mengisi relung hatinya dengan kuat dan beliau begitu
semangatnya tinggal kekal didalamnya, maka Allah-pun mengeluarkannya dari
Surga.
Tarbiyyah
Allah untuk Nabi Adam ‘alaihis salam dalam bentuk:
Allah
biarkan Adam ‘alaihis salam berbuat dosa, sehingga Allah keluarkan
beliau dari Surga, agar ibadah cintanya kepada Allah tetap terjaga dan steril
dari semua kotoran.
Demikian
pula, tatkala masuk kedalam hati salah satu dari hamba yang paling
dicintai-Nya, Khalilullah Ibrahim ‘alahis salam kecintaan yang
besar kepada Isma’il, maka Allah-pun memerintahkan beliau untuk menyembelihnya
sehingga keluar dari hatinya rasa cinta kepada selain Allah tersebut, karena
jika tidak, cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya
kepada Allah.
Semua itu
karena Allah tidak ridho hati hamba yang dicintai-Nya berpaling kepada
selain-Nya, karena Allah mencintai tauhid dan tidak ridho terhadap syirik,
serta agar
ibadah cinta, takut dan harap tetap dan terus untuk Allah semata, tidak mendua
dalam hati hamba-Nya!
Tarbiyyah
Allah inipun juga melahirkan sikap bersegera kepada keridhoan Allah dengan
lebih baik sampai mencapai derajat tauhid dan iman yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
Sebagaimana
hal ini terbukti pada diri Nabi Adam ‘alaihis salam saat terjatuh dalam
maksiat, Allah berfirman dalam ayat ke-121 surat Tha-Ha :
فَاَكَلَا
مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ
وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى
Kemudian keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka
dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan
Adam telah bermaksiat kepada Tuhannya, maka tersesatlah dia (dari jalan
kebenaran).
Namun,
justru itu menjadi pelajaran besar bagi beliau untuk bertaubat dan memperbaiki
diri, Allah-pun dalam ayat setelahnya (ayat ke-122) berfirman :
ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى
Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya
petunjuk.
Jadilah Adam ‘alaihis salam sebagai hamba yang Allah pilih sebagai nabi-Nya, Allah terima taubatnya dan Allah sempurnakan hidayah-Nya untuknya dan sempurnakan pula keimanannya, setelah sebelumnya disebut bermaksiat dan tersesat dari jalan kebenaran.[5]
(Bersambung, in sya Allah)
[1] Hadits dalam Shahih At-Tirmidzi rahimahullah.
(https://dorar.net/hadith/sharh/42773)
[2]
Hadits dalam Shahih At-Tirmidzi rahimahullah. (https://dorar.net/hadith/sharh/42773)
[3] https://dorar.net/hadith/sharh/42773
[4] Dirangkum dari Madarijus Salikin (3/ 44 &
308)
[5]
Diringkas dari Adwa’ul Bayan, Asy-Syinqthi rahimahullah saat menafsirkan
Tha Ha : 121
Post a Comment