Hakekat Puasa (2)


Puasa yang sempurna adalah puasa lahir dan batin


هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب


“Inilah sesungguhnya puasa yang disyari’atkan, ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum!”
demikian tutur seorang Imam besar, dokter hati kaum Muslimin, Ibnul Qoyyim rahimahullah.
Memang demikian, sesungguhnya puasa yang disyari’atkan bukanlah sekedar menahan dari makan dan minum, namun hakikatnya adalah puasa yang meliputi dua dimensi sekaligus, lahir maupun batin. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah rahimahumullah dari dulu telah menjelaskan tentang hakikat puasa yang memiliki dua dimensi ini sekaligus.
Berikut ini nukilan dari beberapa ulama rahimahumullah tentang hal itu. Al-Allamah Ahmad Syakir rahimahullah ketika menyesalkan banyaknya kebiasaan puasa yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin yang bertentangan dengan hakikat puasa itu sendiri mengatakan,
إنِّي أرى في كثير ممَّا اتَّخذنا من العادات في الصَّوم ما ينافي حقيقته، بل ما يحبط الأجر عليه، بل ما يزيد الإنسان إثمًا
“Sesungguhnya saya melihat banyak dari kebiasaan yang kita lakukan dalam berpuasa bertentangan dengan hakikat puasa, bahkan menggugurkan pahalanya, lebih dari itu, malah menyebabkan manusia bertambah dosa” (Jamharah Maqalat Ahmad Syakir: 2/692 PDF).

Puasa adalah berpuasanya seluruh anggota tubuh


Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan hakikat puasa ditinjau dari sisi anggota tubuh manusia yang ditahan dari melakukan hal-hal yang disyari’atkan untuk ditahan ketika berpuasa,
والصَّائم هو الَّذي صامت جوارحه عن الآثام، ولسانه عن الكذب والفحش وقول الزُّور وبطنه عن الطَّعام والشَّراب وفرجه عن الرَّفَث
“Orang yang berpuasa adalah orang yang (seluruh) anggota tubuhnya berpuasa dari dosa-dosa, dan lisannya pun berpuasa dari dusta, ucapan keji dan ucapan batil, puasa perutnya dari makan dan minum, puasa kemaluannya dari bersetubuh” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54).

Buah Puasa yang hakiki


Hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim di bawah ini,
فإنْ تكلَّم لم يتكلَّم بما يجرح صومه، وإن فعل لم يفعل ما يفسد صومه، فيخرج كلامه كلُّه نافعًا صالحًا، وكذلك أعماله،
“Maka jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya, dan jika ia berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya, hingga keluarlah seluruh ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk perbuatannya.”
فهي بمنزلة الرَّائحة الَّتي يشمُّها من جالس حامل المسك، كذلك من جالس الصَّائم انتفع بمجالسته، وأَمِن فيها من الزُّور والكذب والفجور والظُّلم، هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب
“Maka ucapan dan perbutannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang duduk menemani pembawa minyak wangi misk! Demikianlah orang yang menemani orang yang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari pertemanannya tersebut, ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran dan kezhaliman. Inilah sesungguhnya puasa yang disyari’atkan, ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54).

Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang tertuntut untuk ditinggalkan saat berpuasa?


Simaklah penuturan Ibnul Qoyyim berikut ini,
فالصَّوم هو صوم الجوارح عن الآثام، وصوم البطن عن الشَّراب والطَّعام؛ فكما أنَّ الطَّعام والشَّراب يقطعه ويفسده، فهكذا الآثام تقطع ثوابَه، وتفسدُ ثمرتَه، فتُصَيِّره بمنزلة من لم يصُم
“Maka puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan puasanya perut dari minuman dan makanan.  Sebagaimana makan dan minum itu memutuskan kesahan puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti kedudukan orang yang tidak berpuasa” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal.54-55).
Itulah uraian ulama kita rahimahumullah tentang hakikat puasa. Penjelasan hal ini diambil dari dalil-dalil tentang karakteristik puasa yang benar. Insyaallah, akan penulis isyaratkan sebagian dalil-dalil tersebut pada tempatnya di seri artikel tentang hal itu.
Selanjutnya, bagaimanakah tingkatan orang-orang yang berpuasa itu? Silahkan baca artikel: Hakikat Puasa (3)
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah

* Dipublikasi ulang dari Muslim.or.id"

Tidak ada komentar