;
Sapaan singkat sudah dikenal oleh para ulama sejak dahulu
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari hadits Anas pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau (Anas) berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ فِي أَصْحَابِهِ أَشْمَطُ غَيْرَ أَبِي بَكْرٍ فَغَلَفَهَا بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ “, وَقَالَ دُحَيْمٌ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو عُبَيْدٍ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ وَسَّاجٍ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : ” قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَكَانَ أَسَنَّ أَصْحَابِهِ أَبُو بَكْرٍ فَغَلَفَهَا بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ حَتَّى قَنَأَ لَوْنُهَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba (di kota Madinah), sedangkan tidak ada sahabat yang paling banyak ubannya selain Abu Bakar, lalu Abu Bakar pun menyemir jenggotnya dengan daun hina` dan daun katam. Duhaim berkata, ‘Al-Walid telah menyampaikan kepada kami, bahwa Al-Auzaa’i menyampaikan kepada kami, bahwa Abu Ubaid menyampaikan kepadaku dari Uqbah bin Wassaj, bahwa Anas bin Malik menyampaikan kepadaku, beliau berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, sedangkan diantara para sahabat beliau yang paling tua umurnya adalah Abu Bakar, Abu Bakar pun menyemir jenggotnya dengan daun hina` dan daun katam, hingga warnanya memerah sekali.’”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam kitab beliau Fathul Bari,
قَوْله فِي الرِّوَايَة الثَّانِيَة (وَقَالَ دُحَيْم )هُوَ عَبْد الرَّحْمَن بْن إِبْرَاهِيم الدِّمَشْقِيّ
Ucapan Imam Al-Bukhari pada riwayat kedua, yaitu (Duhaim berkata) Duhaim adalah Abdur Rahman bin Ibrahim Ad-Dimasyqi (Fathul Bari: 7/258).
Fatwa ulama tentang tashghiir nama
1. Fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah
Suatu saat Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Kami banyak mendengar, baik dari orang awam maupun penuntut ilmu syar’i, mereka mentashghiir nama-nama yang mu’abbadah atau membaliknya menjadi nama yang bertentangan dengan nama aslinya, apakah hal ini terlarang?
Contohnya: Abdullah dirubah menjadi Ubaid, Abud dan Al-‘Ibdi (dengan mengkasrahkan huruf ‘ain dan mensukunkan huruf ba`), Abdur Rahman menjadi Duhaim (dengan takhfif dan Tasydid), Abdul Aziz menjadi Uzaiz, Azzuz dan Al–Izzi dan yang semisal itu. Adapun (pada nama) Muhammad dirubah menjadi Muhaimid, Himdan dan Al-Himdi dan yang semisal itu?”
Syaikh Bin Baz rahimahullah pun menjawab,
لا بأس بالتصغير في الأسماء المعبدة وغيرها، ولا أعلم أن أحداً من أهل العلم منعه، وهو كثير في الأحاديث والآثار كأنيس وحميد وعبيد وأشباه ذلك، لكن إذا فعل ذلك مع من يكرهه فالأظهر تحريم ذلك ؛ لأنه حينئذ من جنس التنابز بالألقاب الذي نهى الله عنه في كتابه الكريم إلا أن يكون لا يعرف إلا بذلك, فلا بأس كما صرح به أئمة الحديث في رجال كالأعمش والأعرج ونحوهما
“Tidak mengapa mentashghiir pada nama-nama mu’abbadah dan pada selain nama-nama tersebut. Saya tidak mengetahui ada seorangpun dari ulama yang melarang tindakan ini. Dan tindakan ini banyak dijumpai dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (riwayat), seperti Unais, Humaid, Ubaid dan semisalnya.
Syaikh melanjutkan penjelasan beliau, “Akan tetapi jika tindakan mentashghiir ini dilakukan terhadap orang yang tidak menyukainya (benci), maka yang lebih jelas adalah haramnya tindakan ini, karena termasuk jenis memanggil dengan julukan yang mengandung celaan/ejekan yang Allah larang dalam Kitab-Nya Al-Karim. Kecuali jika ia tidak dikenal melainkan dengan julukan tersebut, maka ini tidak mengapa. Sebagaimana ini disebutkan dengan jelas oleh para imam Ahli Hadits ketika menyebutkan para perawi hadits, seperti “Al-A’massy” (Si mata rabun), “Al-A’raj” (Si pincang) dan julukan yang semisal keduanya” (Majmu’u Fatawa Ibni Baz: 18/54).
2. Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh bin Al-Utsaimin rahimahullah
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah suatu saat pernah ditanya, “Apa hukum tashghiir nama yang didalamnya terdapat makna penghambaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, misalnya, Abud untuk nama Abdullah?”
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa Tidak mengapa mereka mentashghiir nama-nama (mu’abbadah) tersebut, karena mereka tidak memaksudkan hal itu untuk mentashghiir nama Allah ‘Azza wa Jalla. Namun mereka maksudkan ini sebagai tashghiir (nama) orangnya. Mereka panggil Abdullah dengan Ubaidullah, ini tidak mengapa. Sebagian mereka menyebut“Abud” (untuk nama Abdullah, pent.), inipun tidak mengapa. Sebagian mereka memanggil Abdur Rahman dengan Ubaidur Rahman, ini tidak masalah. Sebagian mereka memanggil dengan “Duhaim” (untuk nama Abdur Rahman, pent.), ini tidak masalah juga. Karena mentashghiir di sini, maksudnya untuk mentashghiir (nama) orangnya, bukan untuk mentashghiir nama Allah yang mulia. (Majmu’ Fatawa wa Rasail : 25/280).
3. Fatwa Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair rahimahullah
Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum jika seseorang memanggil kepada orang lain yang bernama Abdul Aziz atau Abdul Karim dan yang semisalnya dengan nama Karim (untuk orang yang bernama Abdul Karim, pent.) atau Aziz(untuk orang yang bernama Abdul Aziz, pent.). Iapun memanggil orang yang bernama Abdul Hakim dengan Hakim?”
Syaikh menjelaskan bahwa hal tersebut boleh, jika dimaksudkan orangnya, dan bukan dimaksudkan nama Allah, karena nama “Aziz” dan “Hakim” pada asalnya (seseorang) boleh diambil sebagai nama, jika ia tidak memaksudkan (untuk memiliki) sifat (sebagaimana sifat Allah, pent.). Jadi, panggilan tersebut sekedar nama orang semata.
Hukum tashghiir untuk kata Aziz pada nama Abdul Aziz
Adapun bagaimana jika seseorang yang bernama Abdul Aziz dipanggil dengan “Uzaiz” atau seseorang yang bernama Abdur Rahim dipanggil dengan “Ruhaim”, demikian pula seseorang yang bernama Abdul Hakim dipanggil dengan panggilan “Hukaim”?
Jawabannya adalah tentu boleh, karena nama-nama tersebut bukan nama-nama khusus bagi Allah dan jika tidak ditashghiir saja boleh – sebagaimana penjelasan di atas-, maka lebih boleh lagi jika ditashghiir, dengan syarat tidak dimaksudkan mentashghiir nama Allah!
Tashghiir nama yang tidak diperbolehkan
Adapun tashghiir nama yang terlarang, yaitu: seperti Abdul Uzaiz atau Abdur Ruhaim, maka ini hukumnya haram! Karena berdasarkan kesepakatan para ulama`, seseorang tidak boleh mentashghiir nama Allah, sebagaimana hal ini disampaikan oleh Al-Juwaini dan dinukilkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: 13/366.
Wallaahu a’lam bish showaab.
___
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Post a Comment