Fikih I’tikaf (9)

Fikih I’tikaf (9)

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَلاَ يَصِحُّ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلاَّ المَرْأَةُ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا……….
I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya.
Penjelasan:
Maksud perkataan penulis rahimahullah I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya… adalah bahwa syarat kesahan i’tikaf diantaranya adalah bertempat di masjid yang digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hal ini dikarenakan :
1. Masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hakekatnya bukanlah masjid dengan makna yang sebenarnya.
2. I’tikaf yang bertempat di masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah menyebabkan salah satu dari dua konsekuensi berikut, yaitu:
a. Orang yang sedang i’tikaf di dalam masjid tersebut, jika memilih tetap berada di masjid itu pada waktu-waktu shalat wajib, maka akan meninggalkan shalat berjama’ah.
Meninggalkan kewajiban shalat berjama’ah lima waktu dengan alasan untuk melakukan ibadah i’tikaf yang hukumnya sunnah adalah sesuatu yang diharamkan bagi laki-laki mukallaf,
b. Jika ia tetap beri’tikaf, namun ia keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid lain, setiap hari lima kali, maka hal ini bertentangan dengan ibadah i’tikaf, karena sering keluar dari tempat ia beri’tikaf.
Adapun maksud perkataan penulis rahimahullah :
…kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga…” adalah bahwa seorang wanita sah beri’tikaf di masjid manapun juga, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah maupun tidak. Hanya saja dikecualikan mushalla (tempat shalat) yang berada di dalam rumahnya, maka tidak sah ia beri’tikaf di dalamnya, karena tempat shalat di dalam rumah itu tidaklah bisa dinamakan masjid.
Apakah wanita disyari’atkan beri’tikaf?1
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, 2033 dan Muslim, 1173 dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ وَإِنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ أَرَادَ الاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ وَأَمَرَ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ نَظَرَ فَإِذَا الأَخْبِيَةُ فَقَالَ آلْبِرَّ تُرِدْنَ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ وَتَرَكَ الاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ .
وفي رواية للبخاري : ( فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَة فَأَذِنَ لَهَا وَسَأَلَتْ حَفْصَة عَائِشَة أَنْ تَسْتَأْذِن لَهَا فَفَعَلَتْ ) .
Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, beliau shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. Dan beliau memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan, beliau bermaksud i’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadhan, lalu Zainabpun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan.
Istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selainnya pun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat fajar melihat banyak tenda, beliau bersabda, “Apakah ketaatan yang kalian inginkan? Kemudian beliau memerintahkan untuk membongkar tendanya dan beliau meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadan sampai beliau beri’tikaf di sepuluh awal bulan Syawwal.” Dalam teks Bukhari, “Aisyah meminta izin dan beliau diberi izin. Dan Hafshoh meminta Aisyah untuk memintakan izin baginya dan beliau lakukan.”
Dalam hadits ini menunjukkan kesahan i’tikaf wanita. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkannya. Dan mereka dilarang setelah itu, karena ada alasan insidentil.
(Bersambung)
1Diringkas dari Islamqa.info/ar/48956
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar