Mutakallimin, asy‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu Yunani menyatakan bahwa kata ilāha dipahami dengan makna fā‘il, sehingga maknanya adalah ālih, yang mengacu pada kata qādir ‘Yang Maha Kuasa’, maksudnya Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk.
Di antara mereka menafsirkan kata ilāha dengan makna ghanī ‘Yang Maha Kaya’, tak membutuhkan kepada selain-Nya, malah selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah. Hal ini tertulis di kitab-kitab aqidah asy‘ariyyah, sebagaimana dalam syarah Al-Aqidah As-Sanusiyyah yang disebut dengan Ummul Barahin,
الإله هو المستغني عما سواه، المفتقر إليه كل ما عداه
“Al-Ilāha adalah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya.”
Jadi, tafsiran makna Lā ilāha illallāh menurut mereka adalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah.
Menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah, sebagaimana tafsiran di atas membuka pintu kesyirikan. Mereka menyangka bahwa tauhid itu sebatas mengesakan Allah dalam rubūbiyyah-Nya semata. Hal ini menunjukkan jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk, ia telah mentauhidkan-Nya. Demikian pula, jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya, ia telah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.
Ini merupakan keyakinan yang salah. Kaum musyrikin Quraisy dahulu meyakini keesaan Allah Ta‘ālā dalam rubūbiyyah-Nya, namun hal itu tidak lantas menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mentauhidkan Allāh.
Perhatikanlah firman Allah Ta‘ālā berikut ini,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Wala`insa`altahum man khalaqas samāwāti wal`arḍa wa sakhkharasy syamsa wal qamara layaqūlunnallāhu fa`annā yu`fakūn
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka,‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadahan)” (Al- ‘Ankabūt: 61).
Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah Ta‘ālā membatasi makna Lā ilāha illallāh. Hal ini berkenaan dengan kaum musyrikin yang mengakui bahwa Allah itu Maha Esa dalam rubūbiyyah-Nya, namun masih saja mereka menyembah dan beribadah kepada selain-Nya.
Maka Allah Ta‘ālā ingkari mereka, fa`annā yu`fakūn ‘maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadatan)?’ Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh menafsirkan maka mengapa mereka menyembah selain-Nya? 1.
[Bersambung]
___
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment