Ilāha (إِلَٰهَ)
Ilāha adalah ism lā nafiyyah liljinsi berharakat fatḥah (mabniyyun ‘alal fatḥi) karena isim mufrad (kata tunggal). Ilāha itu berpola fi‘āl. Pola tersebut ditafsirkan dalam bentuk lain, yaitu bentuk maf‘ūl atau fā‘il. Penafsiran yang benar dari kata ilāha adalah ma‘būd berpola maf‘ūl bermakna sesembahan. Hal ini karena kata ilāha diambil dari kata ālahu, ya`lahu, ilāhatan, `alwahatan, `alwahiyyatan. Semua kata tersebut bermakna ‘abada, ya‘budu, ‘ibādatan, ‘ubūdiyyatan. Hal ini berdasarkan bacaan pakar tafsir di kalangan sahabat, Ibnu Abbas raḍiyallāhu‘anhu ketika membaca firman Allah Ta‘ālā,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ
wa qālal mala`u min qaumi Fir‘auna atażaru mūsa wa qaumahu liyufsidū fil `arḍi wa yażaraka wa `ālihataka (QS. Ṣād: 235).
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir‘aun (kepada Fir‘aun), ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?’”
Ibnu ‘Abbas membaca hamzah pada `ālihataka dengan kasrah, sehingga dibaca `ilāhataka. Oleh karena itu, wa yażaraka wa `ālihataka dibaca wa yażaraka wa `ilāhataka bermakna ‘dan meninggalkan kamu serta penyembahan (kepada) mu’. Dengan demikian Ibnu ‘Abbas memahami `ilāhata sebagai ‘ibādata ‘penyembahan’.
Terkait dengan kata Allāh yang menurut sebagian ulama, secara bahasa, proses pembentukan katanya sebelum menjadi kata Allāh terlebih dahulu berbentuk kata al-`ilāha, Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu‘anhu menjelaskan, bahwa kata Allāh mengacu pada seuatu yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) atas seluruh makhluk-Nya.
Secara konteks kalimat tauhid Lā ilāha illallāh memang menunjukkan bahwa makna kata ilāha adalah sesembahan. Makna inilah yang dipahami oleh kaum Arab saat itu. Mereka memahami bahwa kalimat tauhid ini meniadakan seluruh sesembahan batil selain Allah yang selama ini mereka sembah dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah. Oleh karena itulah kaum musyrikin menolak bersyahadat dengan dengan Lāilāha illallāh.
[Bersambung]
Catatan:
- Mabnī ‘alal fatḥi ketika `ism lā adalah mufrad (tunggal) atau jam‘ taksīr, mabnī ‘alal yā`jika `ism lā muṡanna dan jam‘ mużakkar salim, dan mabni ‘alal kasri jika ism lā jam‘ mu`annaṡ sālim.
- Dalam bahasa Arab dinamakan tabāduluṣ ṣiyag (pergantian bentuk kata dalam memaknai), maksudnya suatu kata dengan ṣigah tertentu lalu dimaknai dengan ṣigah lainnya, misalnya: QS. Ash-Shaaffaat: 107.
- Contoh : كتاب (kitāb), بساط (bisāṭ), فراش (firāsy), dan مهاد (mihād).
- At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh, hal. 74.
- Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
- Ulama Nahwu rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah kata “Allah” itu musytaq atau jamid, pendapat yang terkuat -wallahu a’lam- yang menyatakan musytaq, lihat: http://madrasato-mohammed.com/mawsoaat_tawheed_03/pg_033_0009.htm.
- Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Post a Comment