Pada artikel bagian pertama dan kedua, sudah dijelaskan tentang ilmu syari’at jika ditinjau dari sisi kewajiban mempelajarinya, yaitu ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Pada bagian kedua ini, dijelaskan tentang pembagian ilmu syari’at jika ditinjau dari sisi kedudukannya, terbagi menjadi dua, yaitu ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana). Diharapkan dengan memahaminya, seorang muslim tidak terjebak pada mendahulukan ilmu yang selayaknya di akhirkan dalam mencari keridhoan Allah sebagai tujuan hidup manusia.
Ilmu Syari’at Ditinjau dari Sisi Kedudukannya Terbagi Menjadi Dua, Yaitu Ilmu Maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan) dan Ilmu Maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)
1. Ilmu maqsudun li dzatihi (ilmu tujuan)
Sebuah ilmu yang kedudukannya sebagai tujuan, jadi ilmu tersebut itulah yang menjadi tujuan untuk dipelajari. Nama lain dari ilmu ini adalah ilmu Al-Ashliyyah (Ilmu pokok). Yang dimaksud dengan ilmu ini adalah ilmu tentang Al-Qur`an (Tafsir) dan As-Sunnah (ilmu Hadits). Di dalam keduanya terdapat disiplin ilmu Tauhid (Aqidah) dan ilmu tentang halal dan haram (Fikih).
Ilmu tujuan ini kembalinya kepada dua disiplin ilmu yang pokok ini, yaitu Tauhid (Aqidah) dan Fikih. Kedua disiplin ilmu pokok ini memang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan seorang muslim, dengan beberapa hujjah (alasan ilmiyyah) berikut ini:
1. Kewajiban (Taklif) beriman dan beramal
Setiap hamba Allah mukallaf (baligh dan berakal sehat) dikenai kewajiban beriman dan beramal shalih. Kelak ia akan berjumpa dengan Allah membawa iman yang benar dan amal yang diterima oleh-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(Al-Kahfi:110).
Oleh karena itulah, seorang muslim dituntut untuk mempelajari ilmu tentang keimanan (Tauhid) dan ilmu tentang tatacara beramal/beribadah (Fikih).
2. Kandungan Agama Islam ini adalah kabar dari Allah (keyakinan/Aqidah), perintah Allah dan larangan-Nya (Fikih).
Allah Ta’ala menjadikan agama-Nya terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Kabar dari-Nya, seperti berita tentang nama, sifat dan perbuatan-Nya, Surga-Nya, para Nabi dan Rasul-Nya. Meyakini dan membenarkan berita-berita dari Allah ini berarti masuk dalam wilayah keyakinan, keimanan, Aqidah atau Tauhid.
b. Perintah Allah dan larangan-Nya, yaitu masalah halal dan haram, tata cara ibadah dan perincian hukum amalan seorang hamba. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu termasuk dalam wilayah Fikih. Dua kandungan Agama Islam ini ditunjukkan oleh firman Allah:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقاً وَعَدْلاً
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An’aam: 115)
Makna dari:
{صِدْقاً} adalah benar dalam urusan kabar-Nya, sedangkan makna
{عَدْلاً} adalah adil dalam urusan perintah dan larangan-Nya.
3. Syarat diterimanya ibadah adalah Ikhlas dan Mutaba’ah
Prinsip hidup seorang muslim adalah ia diciptakan dan hidup untuk diuji, siapa di antara hamba-hamba Allah yang terbaik amalnya, yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan Sunnah, Allah berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Al-Mulk: 2)
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna
{أَحْسَنُ عَمَلًا}, هو أخلصه وأصوبه
Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Nah, jika kita bicara tentang ikhlas, berarti masuk kedalam materi Tauhid, dan jika kita bicara tentang Mutaba’ah dalam beramal dan beribadah, berarti masuk kedalam materi Fikih.
Kesimpulannya:
Tauhid dan Fikih adalah dua ilmu pokok yang menjadi tujuan untuk dipelajari (maqsudun li dzatihi/ilmu tujuan) dalam kehidupan seorang muslim.
2. Ilmu maqsudun li ghairihi (ilmu sarana)
Yaitu suatu ilmu yang kedudukannya sebagai sarana untuk mengetahui “ilmu tujuan” yang telah disebutkan di atas. Ilmu ini disebut sebagai ilmu wasilah/ sarana karena memang sifatnya maqsudun li ghairihi, artinya ilmu ini dipelajari untuk tujuan lain, yaitu mengetahui “ilmu tujuan”.
Nama ilmu ini adalah As-shinaaiyyah, ilmu sarana atau ilmu alat (sebagai alat untuk memahami “ilmu tujuan”).
Oleh karena itu, yang tergolong kedalam ilmu ini adalah seluruh ilmu-ilmu alat, seperti Ushul Fikih, Ushul Tafsir, Mushtholahul Hadits, Siroh, Tajwid dan Tahsin, Nahwu, Shorof, Al-Ma’ani wal Bayan, Balaghoh, dan yang semisalnya. Ini semua adalah ilmu wasilah, sebagai sarana saja untuk sampai kepada ilmu tujuan. Maka barangsiapa yang menjadikan dan mensikapi “ilmu wasilah” ini sebagai “ilmu tujuan”, maka tidaklah dikatakan sebagai orang yang faqih (menguasai)Al-Qur`an dan As-Sunnah, ia sebatas dikatakan orang yang menunaikan fardhu kifayah dengan menekuni “ilmu wasilah” untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya”.(HR. Imam Al-Bukhori).
Beliau menjelaskan maknanya :
وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها ,
Mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya mencakup:
mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya, dan
mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya,
وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه , فإن المعنى هو المقصود , واللفظ وسيلة إليه ,
Nomor dua inilah yang merupakan jenis mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya yang paling mulia, karena makna Al-Qur`an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al-Qur`an sarana untuk mencapai maknanya.
فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها
Maka mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya, hakikatnya adalah mempelajari tujuan dan mengajarkan tujuan.
وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه تعلم الوسائل وتعليمها
sedangkan mempelajari lafadz semata dan mengajarkannya, hakikatnya adalah mempelajari sarana dan mengajarkan sarana
وبينهما كما بين الغايات والوسائل “
Dan (perbandingan) di antara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.
Tiga cara menuntut ilmu Syari’at
Secara garis besar menuntut ilmu Syar’i terbagi menjadi tiga cara:
Talaqqi, mengambil ilmu langsung dari Para Ulama dan murid-murid mereka, para Ustadz rahimahumullah. Duduk di hadapan mereka dan menghadiri majelis mereka.
Membaca kitab Ulama, artikel murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz, mendengarkan ceramah mereka dan yang semisalnya, dengan berbagai macam sarana yang ada di zaman ini.
Meminta fatwa kepada para Ulama atau bertanya kepada murid-murid Ulama, yaitu para Ustadz.
Renungan
Tujuan hidup seorang muslim dan muslimah selain untuk mengenal Allah Ta’ala adalah untuk beribadah kepada-Nya saja, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzaariyaat:56).
Sedangkan definisi ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
اسم جامع لكل ما يحبه الله و يرضاه من الأقوال و الأعمال الباطنة و الظاهرة
Sebuah nama yang mencakup seluruh yang dicintai dan diridhoi oleh Allah,baik berupa ucapan maupun perbuatan,yang batin (hati) maupun yang zhahir.
Berarti, menuntut Ilmu Syar’i merupakan ibadah yang agung, karena dicintai oleh Allah. Tentulah yang namanya ibadah, tujuannya adalah keridhoan Allah dan kecintaan-Nya. Ketika Anda dihadapkan kepada beberapa pilihan ilmu dan Anda harus memilih salah satunya, maka ketahuilah bahwa Allah lebih mencintai dan lebih meridhoi Anda mendahulukan ilmu yang fardhu daripada yang sunnah, dan ilmu tujuan daripada ilmu wasilah/sarana, serta ilmu fardhu ‘ain daripada ilmu fardhu kifayah.
Ilmu itu banyak, umur kita singkat, maka Anda harus memiliki skala prioritas, dahulukan mempelajari ilmu yang paling penting kemudian ilmu yang penting. Jangan sampai Anda meninggal, sedangkan Anda meyakini keyakinan yang salah atau melakukan ibadah wajib yang salah. Ingat seorang muslim menghadap Allah di hari Akhir dengan membawa iman yang benar dan ibadah yang diterima oleh-Nya, camkanlah!
Wallahu a’lam. Selanjutnya, silahkan baca Skala Prioritas Dalam Belajar Agama Islam (4).
***
Referensi:
Diolah dari transkrip Muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah, berjudul: “Al-Manhajiyyah fi qira`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi”, dari http://saleh.af.org.sa/node/28 , dengan beberapa tambahan referensi:
- Miftah Daris Sa’adah,Ibnul Qoyyim rahimahullah.
- Barnamij ‘amali lilmutfaqqihin, Dr. Abdil ‘Aziz Al-Qori`
- Kitab Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Catatan kaki
Post a Comment