Dalil & Pendalilan Tsalatsatul Ushul (12) : Cara Penggunaan Dalil-Dalil Umum

Tsalatsatul Ushul (12) : Cara Penggunaan Dalil-Dalil Umum


Sebagaimana telah diketahui, bahwa di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, terdapat dua metode pendalilan yang menunjukkan kewajiban beribadah kepada Allah (tauhid) dan kebatilan beribadah kepada selain Allah, yaitu pendalilan dengan dalil-dalil umum dan dengan dalil-dalil khusus. Dalil-dalil umum adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ibadah apapun tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah dan harus dipersembahkan kepada Allah semata. Barangsiapa yang mempersembahkannya kepada selain Allah, maka ia musyrik kafir.
Nah, bagaimana cara penggunaan dalil-dalil umum tersebut? Berikut ini langkah-langkah menggunakan dalil-dalil umum:
  1. Tentukan bahwa suatu perbuatan atau ucapan tertentu sebagai sebuah ibadah dengan menerapkan definisi ibadah. Adapun inti ibadah adalah perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika mendefinisikan ibadah dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah 1. 
    Sedangkan untuk mengetahui apakah suatu perkara itu dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala adalah jika dalam dalil terdapat:
    • Pujian Allah Ta’ala terhadap pelaku suatu perbuatan.
    • Kabar tentang kecintaan atau keridhaan Allah terhadap suatu perbuatan atau pelakunya.
    • Perintah Allah terhadap suatu perbuatan.
    • Kabar tentang pahala bagi pelaku suatu perbuatan.
    • Larangan mempersembahkan suatu perbuatan kepada selain Allah Ta’ala
    • Wajibnya mempersembahkan suatu perbuatan kepada Allah Ta’ala.
    Sehingga jika perkara tersebut telah terbukti sebagai perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, maka berarti perkara tersebut adalah ibadah, karena terpenuhi definisi ibadah.
  2. Jika suatu perbuatan atau ucapan tersebut telah terbukti sebagai sebuah ibadah, maka terapkan dalil-dalil umum yang menunjukkan kepada kewajiban mempersembahkan ibadah apapun juga kepada Allah saja (Tauhid) dan tidak boleh mempersembahkannya kepada selain Allah (tidak boleh syirik).
  3. Kemudian, jika sudah diketahui dari langkah kedua bahwa suatu perbuatan atau ucapan tersebut telah terbukti sebagai sebuah ibadah, yang berarti tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah dan harus dipersembahkan kepada Allah, maka terapkan ayat yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan atau mengucapkan ucapan tersebut untuk selain Allah itu divonis musyrik kafir, karena berarti ia telah menyembah selain Allah.
Catatan:
Bahwa vonis musyrik kafir dalam konteks ini, bukanlah Takfir Mu’ayyan, namun maksudnya adalah Takfir Muthlak.
Takfir Mutlak adalah vonis hukum kafir dalam syari’at Islam untuk suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan (ucapan hati atau perbuatannya2) dan untuk pelaku perkara-perkara tersebut, dalam bentuk umum (tanpa sebut nama orang tertentu). Dengan demikian, berarti Takfir Mutlak itu berkaitan dengan penjelasan hukum Syar’i yang umum (tanpa sebut nama orang tertentu) tentang vonis kafir.
Contoh Takfir Mutlak adalah barangsiapa yang meyakini bahwa Allah tidak Esa maka ia kafir atau barangsiapa yang menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia kafir. Ahlus sunnah wal jama’ah pun membedakan antara Takfir Mutlak (Vonis kafir dengan lafaz umum) dan Takfir Mu’ayyan (Vonis kafir terhadap orang tertentu). Perbedaan keduanya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa (35/165):
فقد يكون الفعل أو المقالة كفراً، ويطلق القول بتكفير من قال تلك المقالة، أو فعل ذلك الفعل، ويقال: من قال كذا، فهو كافر، أو من فعل ذلك، فهو كافر. لكن الشخص المعين الذي قال ذلك القول أو فعل ذلك الفعل لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها. وهذا الأمر مطرد في نصوص الوعيد عند أهل السنة والجماعة، فلا يشهد على معين من أهل القبلة بأنه من أهل النار، لجواز أن لا يلحقه، لفوات شرط أو لثبوت مانع
“Terkadang suatu perbuatan ataupun ucapan itu adalah kekafiran dan orang yang mengucapkannya atau orang yang melakukannyapun dikatakan kafir, (seperti) ucapan barangsiapa yang mengucapkan demikian, maka ia kafir atau barangsiapa yang melakukan demikian, maka ia kafir. Namun, orang tertentu yang mengucapkan ucapan itu atau melakukan perbuatan itu, tidaklah dihukumi kafir hingga tegak hujjah yang menyebabkan kekafiran orang yang menelantarkan hujjah tersebut. Ini adalah perkara yang berlaku dalam dalil-dalil tentang ancaman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka tidaklah dipersaksikan seorangpun dari kaum muslimin (Ahlul Kiblah) bahwa ia termasuk penduduk neraka, karena kemungkinan ia memang tidak bisa digolongkan kedalamnya, dengan alasan tidak adanya suatu syarat ataupun adanya suatu penghalang pengkafiran”3.
___
  1. Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 4 atau silahkan baca : https://muslim.or.id/27050-hidup-tak-sekedar-hidup-2.html ↩
  2. Tafsir “keyakinan” berupa “ucapan hati atau perbuatannya” ini, terisyaratkan dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan masalah iman dalam Majmu’ Fatawa 7/506 ↩
  3. Sumber: http://www.dorar.net/enc/aqadia/3462 ↩
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar