Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, maka dalam ajaran Islam seorang hamba diperintahkan untuk melakukan as-sadad dalam melaksanakan ajaran Islam, dan jika ia tidak mampu maka beralih kepada muqarabah.
Jadi, seorang hamba teruntut untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan as-sadad, dan ia tidak menyengaja untuk meninggalkan as-sadad.
Namun jika ia tidak mampu untuk melakukan as-sadad barulah ia beralih kepada muqarabah, sehingga ia tidak menyengaja untuk bersikap muqarabah, karena muqarabah ia tempuh ketika ia tidak mampu melakukan as-sadad.
Sedangkan as-sadad adalah anda beramal sesuai dengan sunah (syariat Islam), melakukan amalan yang paling sempurna dan benar tanpa melampui batasan syariat serta tanpa menguranginya, benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat bidikannya mengenai sasaran tersebut.
Adapun muqarabah adalah anda melakukan amalan mendekati tujuan (sunah) dan mendekati amalan yang paling sempurna, meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah) dan tidak sampai paling sempurna karena ketidakmampuan anda.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitabnya Fathul Bari syarhu Shahihil Bukhari menukilkan perkataan Ibnul Munir rahimahullah, beliau berkata:
في هذا الحديث علم من أعلام النبوة ، فقد رأينا ورأى الناس قبلنا أن كل متنطع في الدين ينقطع
“Dalam hadits ini terdapat salah satu dari tanda-tanda kenabian, kami telah menyaksikan (sendiri), demikian pula orang-orang sebelum kamipun menyaksikan bahwa setiap orang yang melampui batasan (syariat) akan terputus (amalannya)”,
وليس المراد منع طلب الأكمل في العبادة فإنه من الأمور المحمودة ، بل منع الإفراط المؤدي إلى الملال ، أو المبالغة في التطوع المفضي إلى ترك الأفضل ، أو إخراج الفرض عن وقته
“Bukanlah maksudnya: melarang dari mencari amalan yang paling sempurna dalam beribadah, karena sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang terpuji, akan tetapi yang dimaksud adalah melarang dari bersikap melampui batas (syariat) yang menyebabkan kebosanan atau berlebihan dalam amalan sunah (amalan yang tidak wajib) yang mengakibatkan kepada sikap meninggalkan amalan yang lebih utama (afdhal) atau mengeluarkan amalan wajib dari waktunya”,
كمن بات يصلي الليل كله ويغالب النوم إلى أن غلبته عيناه في آخر الليل فنام عن صلاة الصبح في الجماعة ، أو إلى أن خرج الوقت المختار ، أو إلى أن طلعت الشمس فخرج وقت الفريضة
“Misalnya seseorang tidak tidur semalam suntuk untuk melakukan shalat malam lalu tertidur sampai kedua matanya tak mampu terbuka di penghujung malam, sehingga tertinggal dari shalat subuh berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat yang diperbolehkan diakhirkan (mukhtar) atau sampai matahari terbit sehingga lewatlah waktu shalat wajib”.
Ibnul Munir rahimahullah berkata pula pada kalimat yang lainya:
وقد يستفاد من هذا الإشارة إلى الأخذ بالرخصة الشرعية ، فإن الأخذ بالعزيمة في موضع الرخصة تنطع ، كمن يترك التيمم عند العجز عن استعمال الماء فيفضي به استعماله إلى حصول الضرر
“(Dari hadits ini) dapat diambil isyarat kepada tuntutan mengambil keringanan (rukhshah) syar’i, karena tidak mengambil keringanan pada saat tertuntut mengambilnya merupakan sikap melampui batas, seperti sikap meninggalkan tayamum ketika tidak mampu menggunakan air sehingga (jika nekad) menggunakan air akan menjerumuskan kepada bahaya”.
Daftar link artikel ini:
- 10 Kiat Istiqamah (1)
- 10 Kiat Istiqamah (2)
- 10 Kiat Istiqamah (3)
- 10 Kiat Istiqamah (4)
- 10 Kiat Istiqamah (5)
- 10 Kiat Istiqamah (6)
- 10 Kiat Istiqamah (7)
- 10 Kiat Istiqamah (8)
Post a Comment