Ketidak-berdayaan sesembahan-sesembahan mereka, al-laata, al-uzza, dan manaah ini semakin nampak apabila kita renungi ayat kesatu sampai kedelapan belas dari surat An-Najm yang berisikan tentang keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya, kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendapatkan wahyu Al Quran, dan kemuliaan Malaikat Jibril ‘alaihis salam.
Sedangkan dua ayat selanjutnya, yaitu ayat kesembilan belas dan kedua puluh itu berisikan tentang perbandingan antara ketidakberdayaan ketiga sesembahan mereka yang terbesar tersebut dengan keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya dan perkara lainnya yang disebutkan dalam ayat-ayat yang sebelumnya.
Sebagai contoh saja, ketiga sesembahan mereka tersebut tidaklah bisa mewahyukan kepada kaum musyrikin suatu wahyu, adapun Allah Ta’ala, Dia Ta’ala mewahyukan Alquran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-
Qurthubi rahimahullah mengatakan,
لما ذكر الوحي إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، وذكر من آثار قدرته ما ذكر ، حاج المشركين إذ عبدوا ما لا يعقل وقال : أفرأيتم هذه الآلهة التي تعبدونها أوحين إليكم شيئا كما أوحي إلى محمد ؟
“Tatkala Allah menyebutkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentang kekuasaan-Nya sebagaimana yang telah disebutkan (sebelumya), Allah pun membantah hujjah kaum musyrikin, karena mereka menyembah sesembahan-sesembahan yang tidak berakal.
Allah menyatakan bahwa terangkanlah kepadaku tentang sesembahan-sesembahan yang kalian sembah ini, apakah sesembahan-sesembahan ini (sanggup) menyampaikan wahyu kepada kepada kalian sebagaimana Allah mewahyukan (Alquran) kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”1.
Di samping itu, ketiga berhala dan patung mereka tersebut tidak mampu membuat mereka mencapai kedudukan yang tinggi sebagaimana yang Allah jadikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga berhala dan patung itupun tidak mampu menciptakan malaikat yang mulia sebagaimana Allah menciptakan malaikat Jibril ‘alaihis salam.
Lalu apakah layak berhala dan patung seperti itu dianggap sebagai sekutu-sekutu Allah Azza wa Jalla? Demikianlah seluruh pertanyaan-pertanyaan dalam Alquran Al-Karim yang bebentuk tantangan (tahaddi) dan pembuktian ketidakmampuan (ta’jiz), maka tidaklah mungkin bisa dijawab oleh kaum musyrikin sampai hari Kiamat tiba.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ
(19) Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Laata dan al Uzza.
Al-Laata
Pertama:
Tanpa mentasydidkan huruf ta` (ت): al-laata (اللَّاتَ), Dan bacaan tanpa tasydid ini adalah bacaan jumhur ulama3. Al-laata adalah batu besar halus, berwarna putih dan terukir. Jadi, Al-laata adalah sebuah patung di daerah Thaif milik Bani Tsaqif. Kaum musyrikin dahulu mencari keberkahan darinya, meminta pemenuhan hajat mereka kepadanya dan meminta kepadanya agar terangkat musibah yang menimpa kepada mereka.
Dengan demikian, al-laata adalah batu atau patung yang dikeramatkan dan dicari keberkahannya. Oleh karena itu, kesyirikan para penyembah al-laata adalah ngalap berkah (tabarruk bil ahjaar) kepada batu-batu yang dikeramatkan.
Mereka menamai batu yang dikeramatkan tersebut dengan (اللَّاتَ), karena mengambil dari (الإله), dengan anggapan bahwa al-laata memang sesembahan yang layak untuk dimintai barakah, maslahat, dan keselamatan. Demikianlah para kaum musyrikin di zaman sekarang, mereka menamai sesembahan-sesembahan mereka dengan nama yang menurut mereka indah dan mengandung kekhususan Ilahiyyah sehingga banyak orang yang tertipu dengannya, sehingga mereka mengagungkan dan menyembah sesembahan-sesembahan tersebut.
Camkanlah baik-baik! Bahwa jurus melariskan dagangan kesyirikan berupa menamai kesyirikan dengan nama yang mengandung kesan indah sebenarnya adalah jurus nenek moyang musyrikin semenjak tempoe doeloe.
[Bersambung]
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment