Tafsir Surat An-Najm 19-23: Ngalap Berkah Yang Salah (3)

Tafsir Surat An-Najm 19-23: Ngalap Berkah Yang Salah (3)


Kedua1

Dengan mentasydidkan huruf ta` (ت), sehingga dibaca al-laatta (اللاَتَّ) yang merupakan ism fa’il dari  latta-yaluttu ( لَتَّ-يَلُتُّ ). Dan bacaan dengan tasydid ini merupakan bacaan Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, dan selainnya2. Pada asalnya al-laatta adalah orang saleh yang dahulu membuat adonan (makanan) dari tepung untuk memberi makan jama’ah haji, sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu ketika ia meninggal dunia, kaum musyrikin berdiam diri di kuburannya dan mencari berkah darinya, sebagaimana peristiwa yang terjadi di kaum Nabi Nuh tatkala mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang saleh. Dengan demikian al-laatta adalah kuburan yang dikeramatkan dan dicari berkahnya. Oleh karena itu, kesyirikan para penyembah al-laatta adalah ngalap berkah (tabarruk bil qubuur) kepada kuburan yang dikeramatkan.

Dan kandungan ayat ini mencakup kedua tafsiran ini, sehingga mencakup larangan terhadap dua tabarruk yang syirik ini, yaitu  ngalap berkahkepada batu-batu yang dikeramatkan  (tabarruk bil ahjaar dan ngalap berkahkepada kuburan yang dikeramatkan (tabarruk bil qubuur) .

Al-’uzza dan Bentuk Penyembahannya3

Al-uzza (الْعُزَّىٰ) adalah sebuah pohon yang berada antara kota Mekkah dan Thaif. Di dekatnya, dibangun rumah dan ada seorang dukun perempuan yang menjadi penunggunya, ia menghadirkan jin sehingga orang-orang tertipu dengan kekeramatan pohon tersebut, semua itu dilakukan dalam rangka menyesatkan orang-orang. Dahulu kaum musyrikin Quraisy dan Mekkah menyembah pohon yang dikeramatkan tersebut, yang hakekatnya adalah menyembah setan (jin) yang dihadirkan oleh dukun perempuan tersebut. Setan itulah yang terkadang berbicara dengan suara yang didengar oleh manusia, seolah-olah terkesan pohon itu yang berbicara.

Mereka menamai pohon yang dikeramatkan tersebut dengan (الْعُزَّ), karena mengambil dari (العزيز), dan ini adalah penyelewengan terhadap nama Allah, karena menamai sesembahan selain Allah dengan nama yang diambil dari nama Allah adalah pelecehan terhadap Allah. Hal ini dikarenakan tertutupnya hati mereka dari kebenaran, dengan dalih “pengagungan” terhadap sesembahan selain Allah Tabaraka wa Ta’ala tersebut.

Dahulu kaum musyrikin Quraisy dan Mekkah meyakini bisa mendapatkan berkah dari pohon yang dikeramatkan tersebut dengan mengagungkannya dan melakukan ritual penyembahan kepadanya. Dengan demikian al-’uzza adalah pohon yang dikeramatkan dan dicari berkahnya. Oleh karena itu, kesyirikan para penyembah al-uzza adalah ngalap berkah kepada pohon yang dikeramatkan (tabarruk bil asyjar) .

Manaah dan Bentuk Penyembahannya4

Manaah adalah batu besar (patung) yang dikeramatkan. maanah berada di antara kota Mekah dan Madinah. Dahulu suku khuza’ah, aus dan khazraj mengagungkannya, mereka berihram untuk haji dan umrah dari tempat patung tersebut. Penamaannya diambil dari nama Allah Al-Mannan (Yang Maha Memberi Karunia) dan dinamakan dengan manaah karena banyaknya darah binatang yang dialirkan dalam rangka ngalap berkah dengan cara menyembelih binatang di sisi batu besar tersebut.

Ingatlah! Bahwa di antara ciri khas kaum musyrikin dalam melariskan dagangan kesyirikannya adalah mengadakan upacara ritual pengaliran darah binatang untuk selain Allah Ta’ala ataupun upacara-upacara ritual selainnya yang dibuat-buat dan dikesankan memiliki nilai filosofis yang tinggi, padahal itu hanya tipu daya setan belaka, tak satupun dalil yang menunjukkan kebernarannya.

Dengan demikian, manaah adalah batu (patung) yang dikeramatkan dan dicari berkahnya. Oleh karena itu, kesyirikan para penyembah manaah adalah ngalap berkahkepada batu (patung) yang dikeramatkan (tabarruk bil ahjar) .

[Bersambung]

___
  1. Dintisarikan dari I’anatul Mustafid, Syaikh Sholeh Al-Fauzan, hal. 216. ↩
  2. Lihat: Taisiirul Aziziil Hamiid, Syaikh Sulaiman bin Abdillah, hal. 175. ↩
  3. Dintisarikan dari At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, hal. 130-131, I’anatul Mustafid,Syaikh Sholeh Al-Fauzan, hal. 216, dan Taisiirul Aziziil Hamiid, Syaikh Sulaiman bin Abdillah, hal. 176-177 ↩
  4. Dintisarikan dari At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, hal. 130-131, I’anatul Mustafid,Syaikh Sholeh Al-Fauzan, hal. 217, dan Taisiirul Aziziil Hamiid, Syaikh Sulaiman bin Abdillah, hal. 177 ↩


***

[serialposts]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar