Kumpulan Fatwa Ulama : “Sholat wanita di rumah atau di masjid yang lebih utama?” (3)



5. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah

Pertanyaan:

“ Manakah  yang lebih utama : i'tikaf wanita di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”

Beliau menjawab:

Duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) lebih utama dan hal ini adalah perkara yang tidak ada keraguan (didalamnya)!

Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

(صلاة المرأة في بيتها أفضل)

 "Sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama" dan seterusnya  sampai akhir hadits yang menunjukan bahwa sholat seorang wanita di rumahnya .lebih utama daripada sholatnya di masjid
Namun, janganlah wanita tersebut dilarang dari pergi ke masjid jika ia menginginkannya. Dengan demikian berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk beribadah) dan tidak mendatangi masjid itu lebih utama baginya.

Akan tetapi (yang perlu diingat) bahwa i'tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di masjid dan tidak sah .dilakukan di rumah

Jika ia ingin i'tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia dipersilahkan mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika menginginkannya, pent.), namun rumahnya lebih utama baginya”.[1]

6. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

“ Apakah wanita seperti laki-laki dalam masalah sholat sunah Rawatib, Witir, Dhuha, dan duduk di masjid setelah Fajar (sholat Shubuh) hingga terbit matahari -maksudnya- di tempat sholatnya? Tolong jelaskan hal ini dan Jazakumullahu khairan”

Beliau menjawab:

Pada asalnya bahwa laki-laki dan wanita sama dalam masalah hukum Syar'i kecuali sesuatu yang ditunjukkan dalil bahwa sesuatu tersebut khusus untuk laki-laki, barulah hukumnya khusus untuk laki-laki, atau (dalil menunjukkan) sesuatu itu khusus bagi wanita,  maka hukumnyapun khusus pula bagi wanita.

Sholat jama'ah, misalnya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut khusus bagi laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk sholat berjama'ah, dan menunaikannya di masjid.

Adapun wanita, maka ia tidak diwajibkan untuk sholat berjama'ah,  tidak wajib baginya sholat berjama'ah di masjid bersama dengan jama'ah laki-laki, dan tidak wajib pula baginya berjama'ah di rumahnya.

Bahkan sesungguhnya (sholat di) rumahnya lebih utama baginya daripada menghadiri sholat berjama'ah bersama dengan jama'ah laki-laki (di masjid), karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 «لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن»

“Janganlah kalian larang wanita hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, kalimat yang terakhir ini:
«وبيوتهن خير لهن»

“namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, walaupun tidak terdapat dalam Ash-Shahihain, namun kalimat ini shahih.

Oleh karena itu, wanita itu seperti laki-laki dalam seluruh permasalan hukum, maka jika ia sedang bersafar, disyari'atkan baginya untuk melakukan ibadah seperti ibadah yang dilakukan laki-laki, maksudnya ia tidak melakukan sholat: rowatib Zhuhur dan rowatib Maghrib, dan rowatib Isya', adapun selebihnya dari sunnah-sunnah lainnya, maka tetap tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana .  .laki-laki melakukan hal itu 

Adapun masalah duduknya seorang wanita di tempat sholatnya di dalam rumahnya hingga terbit matahari, lalu sholat dua raka'at untuk mendapatkan pahala umroh dan haji, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang ulama berselisih tentang keshahihannya itu, maka ia tidak bisa  .mendapatkan keutamaan tersebut 

: Karena haditsnya (dalam masalah ini) adalah 
(من صلى الصبح في جماعة ثم جلس)

“Barangsiapa yang sholat Shubuh dengan berjama'ah kemudian duduk.... ”, sedangkan wanita tersebut bukanlah orang yang sholat Shubuh berjama'ah (di masjid), dan jika ia sholat (shubuh) di .rumahnya, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala ini, namun, ia tetap berada di atas kebaikan 

Jadi, jika ia duduk dzikrullah,  mengucapkan “Subhanallah”, “La ilaha illallah” dan membaca Alquran sampai terbit matahari, kemudian matahari meninggi, ia melakukan sholat sesuai dengan  yang dikehendaki oleh Allah, maka ia berada  di atas kebaikan”.[2]


(Bersambung, in sya Allah)


Penulis : Ustadz Sa'id Abu Ukasyah


***




[1]              . Syarah Sunan Abi Dawud,  Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad : 46/445.
[2]              . Jilsaat Ramadhaniyyah, lisy-Syaikh Al-Utsaimin, rahimahullah (10/19)

Tidak ada komentar