Menakjubkan! Raup pahala besar dengan amal sederhana (1) - Pandai-pandailah melihat hakekat sebuah amal!
Pandai-pandailah melihat hakekat sebuah amal!
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah berkata,
“(Ciri khas) orang yang berakal (sehat) adalah (pandai) melihat hakikat (sesuatu), dan tidak terjebak dengan zahirnya (semata)”.
Benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah di atas, karena dalam ajaran Islam, kita dituntut untuk memperhatikan hakikat, bukan semata-mata memperhatikan sisi lahiriyyah (zhahir) amalan semata, walaupun perkara zhahir itu penting diperhatikan agar sesuai dengan Sunnah, namun hakikat dan perkara batin, hati, dan hakekat sebuah amal lebih penting lagi diperhatikan agar sesuai dengan Sunnah pula.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Bada'iul Fawaid (3/244):
Amal hati itu adalah dasar (dari seluruh amal), dan anggota tubuh lahiriyyah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat itu seperti kedudukan ruh, sedangkan amal seperti kedudukan jasad pada tubuh, yang apabila ruh berpisah dengannya, maka akan mati (jasad tersebut), dengan demikian mengenal hukum-hukum amalan hati lebih penting daripada mengenal hukum-hukum amalan anggota tubuh lahiriyyah.
“Amal lahiriyyah tak akan menjadi shalih dan diterima kecuali dengan perantara amalan hati, karena hati itu raja, sedangkan anggota tubuh itu pasukannya, maka jika hati buruk, maka buruk pula pasukannya, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Dan selainnya dari contoh-contoh amalan hati, yang mana amalan hati yang hukumnya wajib itu lebih wajib daripada amalan wajib lahiriyyah, sedangkan amalan sunnah hati lebih dicintai oleh Allah daripada amalan sunnah lahiriyyah. Amalan lahiriyyah tanpa amalan hati, berakibat pada tidak sahnya (tertolaknya) amalan lahiriyyah atau sedikit manfaatnya”
Adapun perkara lainnya yang berpengaruh terhadap amal sholeh adalah mutaba’ah (mengikuti Sunnah).
Sedangkan ikhlas dan mutaba'ah ini, keduanya adalah dua syarat diterimanya amal sholeh dan ibadah seorang hamba.
Syarat Diterimanya Ibadah
Ikhlas dan mutaba`ah (mengikuti sunnah) adalah syarat diterimanya sebuah ibadah sekaligus inti ujian hidup manusia, Allah Ta’ala berfirman,“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk: 2).
Al Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan makna أَحْسَنُ عَمَلًا :
Karena demikian tingginya kedudukan ikhlas dan mutaba’ah dalam agama Islam ini, maka pantas jika kedua hal ini sangat berpengaruh terhadap amal yang kita lakukan.
Pengaruh Ikhlas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya seseorang selesai dari shalatnya dan tidaklah dicatat baginya dari pahala sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahnya” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan-amalan itu berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan perbedaan tingkatan keimanan dan keikhlasan yang terdapat di hati. Dan sungguh ada dua orang yang berada di satu shaf shalat akan tetapi perbedaan nilai shalat mereka berdua sejauh antara langit dan bumi”.
Pengaruh Mutaba’ah
Disebutkan dalam hadits muttafaqun ‘alaih (riwayat Bukhari dan Muslim) bahwa ada salah seorang yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Ied kemudian rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ), maksudnya, “Kambingmu adalah kambing yang hanya bisa dimanfaatkan dagingnya (untuk dirimu sendiri dan tidak terhitung sebagai kambing kurban)”, mengapa demikian? Karena waktu ibadah menyembelih kurban itu sudah ada ketentuannya dalam sunnah rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak akan diterima ibadah kurban seseorang jika dilakukan di luar waktunya, walaupun niatnya baik.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits tersebut,
“Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Ied, maka dia menyembelih untuk (diambil manfaatnya ) oleh dirinya sendiri (tidak terhitung sebagai kambing kurban) dan barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sesudah shalat ‘Ied, maka telah sempurna ibadahnya dan sesuai dengan sunnatul muslimin (tata cara kaum muslimin)”.
(Bersambung, in sya Allah)
Post a Comment