FIQIH RINGKAS DONASI (10) – Beberapa kasus menilai status fakir miskin

Close-up of Coins on Table

Alhamdulillah wash shalatu was salamu 'ala Rasulillah, amma ba'du :

Kasus ke-1 : status orang miskin yang kemiskinannya disebabkan gaya hidup konsumtif, apakah ia mustahiq?

Sebagian orang ada yang gaya hidupnya konsumtif, padahal sebenarnya hidupnya pas-pasan, sehingga ia banyak hutang sana-sini untuk membeli barang-barang yang baginya itu terhitung kebutuhan tahsiniyyah (tersier/pelengkap) semata.

Apabila rumus di atas diberlakukan pada seseorang, lalu hasilnya minus, TAPI TERNYATA TIDAK CUKUPNYA, karena
ada faktor pengurang dari kebutuhan tahsiniyyah (tersier/pelengkap), yang seandainya itu hartanya tidak dipakai untuk perkara tersier, maka hasilnya masih cukup untuk memenuhi kedua macam kebutuhan : darurat (primer) dan hajiyyat (sekunder), maka ia tidak diprioritaskan mendapatkan zakat mal apabila ada mustahiq selainnya yang baik dan lebih berhak untuk diprioritaskan.
Dan seandainya pada akhirnya diberi zakat malpun
1, perlu diiringi nasehat agar tidak konsumtif2 dan diwujudkan dalam bentuk barang yang diperlukan dengan persetujuan mustahiq tersebut.

Kasus ke-2 : Orang yang punya tanah, kebun, rumah, atau barang yang bernilai, tapi gajinya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya, apakah ia berhak mendapatkan zakat mal?3

Ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa orang yang memiliki properti (tanah dan bangunan) namun gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya, maka ada perincian hukumnya :

- Apabila nilai propertinya bisa menutupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya, maka ia wajib menjual properti tersebut dan tidak boleh diberi zakat mal dari golongan faqir miskin, karena tidaklah terpenuhi kriteria faqir miskin.

- Tetapi jika nilai propertinya tidak bisa menutupi kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya, maka ia tidak diharuskan menjualnya dan ia boleh menerima zakat mal.

Kasus ke-3 : orang yang terlanjur memiliki hutang dalam perkara maksiat atau berhutang yang nantinya akan digunakan untuk bermaksiat, apakah berhak mendapatkan zakat mal?4

Ulama menjelaskan bahwa orang yang terlanjur memiliki hutang dalam perkara maksiat atau untuk perkara maksiat (misal : utang riba, dan yang penggunaannya untuk judi), maka ia tidak diberi zakat mal untuk menutupi hutangnya hingga ia bertaubat dari maksiatnya, karena khawatir zakat mal akan digunakannya untuk bermaksiat juga, atau ketika hutangnya lunas dengan diberi zakat mal, akan hutang dalam atau untuk perkara maksiat.

Apabila seseorang diketahui berhutang yang nantinya akan menggunakan uang hasil hutangannya itu untuk bermaksiat, maka tidak boleh diberi zakat mal, karena terdapat unsur menolong dalam kemaksiatan, dan ini bertentangan dengan Al-Maidah : 2.

Kasus ke-4 :

Bolehkah membangunkan atau membelikan rumah untuk mustahiq dari zakat mal?5

Yang jadi patokan dalam memenuhi kebutuhan seorang mustahiq dari zakat mal adalah kebutuhannya dan kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya selama setahun, baik kebutuhan primer maupun sekunder6.
Maka tidak boleh diberi zakat mal lebih dari itu, krn kebanyakannya zakat berulang setiap tahun, jadi kebutuhan mustahiq tahun depan diambilkan dari zakat mal tahun depan.

Dengan demikian tidak boleh memberi zakat mal untuk bangun rumah atau beli rumah, jika harga rumah itu melebihi nilai sewa rumah yang menjadi kebutuhan selama setahun.

Jadi cukup diberi zakat mal senilai sewa rumah selama setahun. Ini pendapat ulama terkuat.
Dengan demikian orang yang tidak punya rumah belum tentu mustahiq, karena jika ia mampu sewa rumah setahun dan mampu memenuhi kebutuhan lainnya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya dalam nafkah selama setahun, maka ia bukan mustahiq.
Sebaliknya orang punya rumahpun
belum tentu ia bukan mustahiq, karena bisa jadi ia punya kebutuhan darurat atau hajiyyat dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya dalam nafkah, yang tak mampu ia penuhi dalam setahun.

Kasus ke-5

Orang yang memiliki barang mahal, apakah pasti bukan mustahiq?

Jawabanya adalah belum tentu ia bukan mustahiq, karena bisa jadi peralatan pertanian yang dimiliki petani, atau peralatan tukang yang dimiliki tukang bangunan, atau perlatan bengkel yang dimilki montir, mobilnya, handphonenya, laptopnya meski harganya mahal (karena tuntutan profesi), jika itu termasuk kebutuhan untuk mencari nafkah yang jika tidak ada maka berat kehidupannya, maka itu termasuk kebutuhan sekunder (hajiyyat).

Dan yang diperhitungkan adalah akumulasi pendapatan setahun dikurangi kebutuhan darurat dan kebutuhan hajiyyat, baik kebutuhan dirinya maupun kebutuhan orang yang wajib dinafkahinya,
maka jika selama setahun hasil pengurangannya negatif ( tidak memenuhi 100% dari kedua macam kebutuhan tersebut), berarti ia mustahiq (dari sisi golongan miskin dan faqir).

Oleh karena itu alat cari nafkah dimasukkan oleh ulama kedalam kebutuhan faqir miskin yang sah dipenuhi dari zakat mal.7

Kasus ke-6 :

Apakah istri yang faqir dibawah nafkah suami yang kaya boleh diberi zakat mal? 8

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan bahwa tidak boleh memberi zakat mal kepada istri yang dia sendiri faqir, namun ia dicukupi nafkahnya oleh suami yang kaya, karena hakekatnya statusnya sudah bukan faqir lagi karena telah tercukupi nafkahnya. Namun sebaliknya, meski suaminya kaya, tapi tidak mau menafkahinya sehingga tidak tercukupi nafkah sang istri, dan tidak bisa lagi diupayakan menasehati sang suami, atau tidak bisa diupayakan mendapatkan harta sang suami dengan cara yang Syar'i, dan istri tidak mendapatkan harta dari sumber lain, maka istri tersebut berhak diberi zakat mal menurut Imam Ahmad dan selainnya.

Jadi intinya kembali lagi kepada apakah kebutuhannya itu sudah tercukupi atau belum?

Dengan demikian, kasus yang mirip ini, misalnya :

orang yang berpenghasilan kecil dan memiliki anak banyak terbagi dua : bisa jadi mustahiq, tapi bisa juga bukan mustahiq.

Misalnya :

ketika ada orang lain atau saudara kaya sebagai penanggung nafkah/donatur yang mencukupi kebutuhan anak anaknya sehingga gajinya yang meski kecil tapi mencukupi kebutuhan ia dan istrinya, maka ia tidak berhak diberi zakat mal, dari golongan faqir miskin.

Karena, kebutuhan anak-anaknya tercukupi dari orang lain sebagai donaturnya, sedangkan kebutuhan dirinya dan istrinya tercukupi dari gajinya meski kecil.

In sya Allah bersambung di : FIQIH RINGKAS DONASI (11)

______________________________________

1. https://www.Islamweb.net/ar/fatwa/317425/

2. https://www.aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2285#.Xt3JlOcxVCd

3. https://www.Islamweb.net/ar/fatwa/175317/الفقير-الذي-لديه-أرض-هل-يأخذ-من-الزكاة-أم-يلزمه-بيع-أرضه

4. https://Islamqa.info/ar/answers/185237/ & https://www.islamweb.net/ar/fatwa/243727/

6. https://www.youtube.com/watch?v=msgYP33Lixo , lihat pembahasan no. 12 Definisi faqir miskin.

 

Tidak ada komentar