📚 TAFSIR RINGKAS AL-FATIHAH 4 (Ayat Keenam & Ketujuh) 📚

 


Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

 

TAFSIR AL-FATIHAH AYAT KEENAM

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Maksud (ٱهۡدِنَا)

Memohon seluruh macam petunjuk (hidayah) Allah.

Karena firman Allah Ta’ala (ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) ini mengandung makna yang menyeluruh, yaitu mengandung :

1) اِهْدِنَا إلى الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu teguhkanlah kami di atas agama Islam.

2) اِهْدِنَا في الصِّرَاط الْمُسْتَقِيْم , yaitu tunjukilah kami perincian agama Islam baik ilmu Syar’i maupun pengamalannya.[1]

Oleh karena inilah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah berilah kami petunjuk, taufiq dan ilham.[2]

Sedangkan macam-macam hidayah Allah dalam ayat keenam ini, yaitu :

1. Ditinjau dari sisi ilmu & amal, maka hidayah Allah dalam ayat yang agung ini terbagi dua[3]  :

Pertama : Hidayatul Irsyad berupa Ilmu Syar’i

Kedua : Hidayatut Taufiq berupa Amal Shaleh

2. Ditinjau dari sisi Islam dan perinciannya, maka hidayah Allah dalam ayat yang agung ini terbagi dua :

Pertama : Hidayah agar istiqomah tetap di atas agama Islam dan meninggalkan agama selainnya dan perkara yang membatalkan keislaman, berupa kesyirikan dan kekafiran. Oleh karena inilah, Ali radhiyallahu ‘anhu menafsirkan (ٱهۡدِنَا) dengan “Teguhkanlah kami”.[4]

Kedua : Hidayah berupa tambahan petunjuk dalam bentuk perincian ajaran Islam, baik ilmu Syar’i maupun pengamalannya, baik dalam hal aqidah dan Tauhid, mu’amalah, ibadah, akhlaq, dan selainnya.[5]

Dengan demikian, petunjuk Allah sangat dibutuhkan oleh makhluk dalam semua kondisinya, seperti petunjuk ilmu tentang jenis amalan shaleh, petunjuk hati bisa menghendakinya, petunjuk mampu mengamalkannya dengan benar dan terhindar dari penghalang-penghalangnya, petunjuk setelah beramal untuk bisa istiqomah dan bisa menghindari pengugur amalan, petunjuk mendakwahkannya serta bersabar atas gangguan di jalan dakwah[6], serta petunjuk berdoa agar mampu melakukan amal ibadah dengan terpenuhi dua syarat diterima amal ibadah, serta agar diterima amalannya oleh Allah.

Karena demikan luasnya kandungan ayat ini, maka doa dalam ayat ini disebutkan dalam Tafsir As-Sa’di rahimahullah, sebagai doa yang paling lengkap menyeluruh dan paling bermanfaat bagi seorang hamba.

 

Maksud (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)

Berdasarkan surat Al-Ahqaf : 30 & Asy-Syura : 52, maka (ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) adalah jalan Alquran Al-Karim & As-Sunnah, atau dengan kata lain jalan Islam, karena keduanya adalah dasar ajaran agama Islam.

Oleh karena itu, ulama Ahli Tafsir di kalangan sahabat Abdullah Ibnu Abbas dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma, serta dari kalangan tabi’in Al-Hasan dan Abul ‘Aliyah rahimahumallah menafsirkan :

(ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ) dengan agama Islam.

Inilah dalil bahwa jalan Alquran & As-Sunnah adalah jalan yang lurus (Ash-Sirath Al-Mustaqim), Allah Ta’ala berfirman :

یَهۡدِیۤ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِیقࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

Al-Qur'an membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [Al-Ahqaf : 30]

وَإِنَّكَ لَتَهۡدِیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

Dan sungguh, engkau (Rasulullah) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. [Asy-Syura : 52]

Faedah ayat ke-6 :

1. Karena kandungan ayat ini adalah mohon hidayah Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam melaksanakan agama Islam ini, maka hakekatnya ayat ini isyarat kepada kewajiban memenuhi salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah, yaitu Al-Mutaba’ah, yaitu meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.

Sedangkan syarat diterimanya amal ibadah yang satu lagi adalah ikhlas, mencari ridho Allah semata dalam melaksanakan agama Islam ini, beribadah kepada-Nya, hal ini ditunjukkan dalam ayat ke-5 : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ).

2. Dalam ayat ini, disebutkannya Ash-Sirath Al-Mustaqim dalam bentuk tunggal, sedangkan dalam ayat yang lain, Al-An’am : 153, disebutkan didalamnya bahwa jalan kesesatan dalam bentuk jamak, hal ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu, yaitu Islam, sedangkan jalan kesesatan itu banyak.

Kesimpulan Tafsir ayat ke-6 :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰ⁠طَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ

Teguhkanlah kami di atas agama Islam dan jauhkanlah kami dari segala perkara yang membatalkan keislaman, serta berilah kami tambahan petunjuk ilmu perincian ajaran Islam dan perincian pengamalannya.

 

TAFSIR AL-FATIHAH AYAT KETUJUH

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

 

Maksud (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)

Maksud “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”, yaitu :

1. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka adalah Ahli Hidayah (orang-orang yang berilmu Syar’i) dan istiqomah beramal shaleh lagi ta’at kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana juga Ibnul Qoyyim rahimahullah menafsirkan mereka ini adalah orang-orang yang berilmu Syar’i dan beramal shaleh.

2. Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menukilkan tafsir Salaf Sholeh :

a. Ahli Tafsir dari kalangan Tabi’ut Tabi’in, Abdur Rahman bin Zaid rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

b. Pakar Tafsir dari kalangan tabi’in, Abul ‘Aliyah rahimahullah menyatakan bahwa mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab dan Ahli Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c. Sorang ulama besar tabi’in, Syahr bin Hausyab rahimahullah menafsirkan bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ahli Baitnya.

 

3. Ibnul Qoyyim rahimahullah menukilkan tafsir seorang ulama Tafsir kota Madinah dari kalangan tabi’in, Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar.[7]

Pelajaran besar dari tafsir para Salaf Shaleh terhadap ayat (صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ)[8]

a. Jika anda ingin meniti Ash-Sirath Al-Mustaqim maka ikutilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, bagaimana mereka memahami Islam dan mengamalkannya.

 

b. Jika anda ingin memahami dan mengamalkan Alquran & As-Sunnah (Ash-Sirath Al-Mustaqim) dengan benar, maka ikuti pemahaman dan pengamalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang dimaksud dengan bermanhaj Salaf Shaleh dalam beragama Islam.

Dengan demikian, ayat ketujuh ini mengisyaratkan bahwa tidak cukup kita hanya berpegang dengan Alquran & As-Sunnah saja, namun haruslah ditambah dengan pemahaman dan pengamalan Salaf Shaleh terhadap keduanya.

Dengan demikian pilar beragama Islam itu tiga, yaitu :

1) Alquran. 2) As-Sunnah. 3) Manhaj Salaf Shaleh.

Salaf Sholeh itu Sahabat, serta murid-muridnya Tabi’in,  & murid Tabi’in : Tabi’ut Tabi’in, berdasarkan HR. Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

c. Barangsiapa yang dalam beragama Islam menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka pastilah berada dalam kesesatan, sebagaimana An-Nisa’ :115 dan diancam neraka Jahannam.

Maksud (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ)

Maksud “bukan (jalan) mereka yang dimurkai” adalah bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi meninggalkan amal, seperti yahudi, karena Allah Ta’ala hukumi yahudi dengan mendapatkan kemurkaan-Nya, sebagaimana dalam Al-Maidah : 60

قُلۡ هَلۡ أُنَبِّئُكُم بِشَرࣲّ مِّن ذَ ٰ⁠لِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِۚ مَن لَّعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَیۡهِ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang fasik) di sisi Allah? Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah…”

Maksud (وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ)

Maksud “dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” adalah bukan jalan orang-orang yang beramal tanpa dasar ilmu, seperti nashara, karena Allah Ta’ala hukumi nashara dengan sesat, sebagaimana dalam Al-Maidah : 77

قُلۡ یَـٰۤأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَا تَغۡلُوا۟ فِی دِینِكُمۡ غَیۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوۤا۟ أَهۡوَاۤءَ قَوۡمࣲ قَدۡ ضَلُّوا۟ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِیرࣰا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَاۤءِ ٱلسَّبِیلِ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.

 

Kesimpulan Tafsir ayat ke-7:

صِرَ ٰ⁠طَ ٱلَّذِینَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡهِمۡ غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka berupa ilmu Syar’i dan amal shaleh, bukan jalan mereka yang dimurkai, yaitu mereka yang berilmu tapi tidak mengamalkannya dan bukan pula jalan mereka yang sesat, yaitu mereka yang beramal tanpa ilmu.

 

Referensi :

1. Zaadul Masir, Ibnul Jauzi rahimahullah

2. An-Nukat wal ‘Uyun, Al-Mawardi rahimahullah

3. Tafsir Ibnul Qoyyim rahimahullah

4. Tafsir As-Sa’di rahimahullah

5. Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah

6. Tafsir Al-Baghawi rahimahullah

7. Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah

8. Sittu Durar, Syaikh Ar-Ramadhani hafizhahullah

 (Bersambung, in sya Allah)


Sumber : www.muslim.or.id



[1]  Lihat Tafsir As-Sa’di rahimahullah dan Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah di https://tafsir.app/ibn-uthaymeen/1/6 dan Ibnul Anbari rahimahullah di https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[2] Zaadul Masir, Ibnul Jauzi rahimahullah https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[3] Lihat Tafsir As-Sa’di rahimahullah dan Tafsir Al-Utsaimin rahimahullah di https://tafsir.app/ibn-uthaymeen/1/6

[4]  Zaadul Masir, Ibnul Jauzi rahimahullah https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6

[5] Zaadul Masir, Ibnul Jauzi rahimahullah https://tafsir.app/zad-almaseer/1/6 dan An-Nukat wal ‘Uyun, Al-Mawardi rahimahullah https://tafsir.app/almawirdee/1/6

[6] https://tafsir.app/ibn-alqayyim/1/6

[7] https://tafsir.app/ibn-alqayyim/1/7

[8] Sittu Durar, Syaikh Ar-Ramadhani hafizhahullah

Tidak ada komentar