📚 TAFSIR RINGKAS AL-FATIHAH 3 (Ayat Keempat & Kelima) 📚

 



Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

 

TAFSIR AL-FATIHAH AYAT KEEMPAT

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Pemilik Hari Pembalasan”

 (الدِّيْنِ) itu bisa bermakna pembalasan dan bisa bermakna amal ibadah (pelaksanaan agama Islam), sedangkan dalam ayat yang mulia ini bermakna pembalasan, sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.[1]

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa Allah disifati dengan sifat memiliki Hari Pembalasan.

Dengan demikian, dari ayat kedua, ketiga & keempat, Allah disifati dengan : Tuhan Pemelihara seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, serta Pemilik Hari Pembalasan.

Rahasia dikhususkannya kepemilikan Allah terhadap Hari Pembalasan

Allah Ta’ala adalah Pemilik segala sesuatu, baik Hari Pembalasan maupun selainnya, namun dikhususkannya kepemilikan Allah terhadap Hari Pembalasan karena pada Hari Pembalasan-lah sangat nampak kepemilikan dan kekuasaan-Nya yang haqiqi atas segala sesuatu.

Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap ayat ini yang disebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari rahimahullah :

“Tidak ada satupun selain Allah yang memiliki keputusan hukum di Hari Pembalasan tersebut seperti raja mereka sewaktu di dunia”.

Beliau juga berkata :

“Hari perhitungan amalan makhluk, yaitu hari Kiamat.

Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka, jika baik amalan mereka, maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan mereka, maka buruk pula balasannya, kecuali jika hamba yang Allah memaafkannya. Jadi, semua urusan kembali kepada keputusan-Nya ”

Buah penghayatan ayat keempat

Buah menghayati ayat keempat ini adalah hadir dalam hati pembacanya ibadah takut kepada Allah Ta’ala khawatir menyiksa dirinya di Hari Pembalasan, dikarenakan dosa-dosanya.

Faedah dari ayat kedua, ketiga dan keempat

Ayat kedua membuahkan ibadah cinta kepada Allah Ta’ala, Ayat ketiga membuahkan ibadah harap kepada Allah Ta’ala,  Ayat keempat membuahkan ibadah takut kepada Allah Ta’ala.

Dengan demikian, menghayati Al-Fatihah membuahkan tiga rukun ibadah hati dan penggeraknya : ibadah cinta, harap & takut kepada Allah Ta’ala semata.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

اعلم أن محركات القلوب إلى الله عز وجل ثلاثة: المحبة، والخوف، والرجاء. وأقواها المحبة، وهي مقصودة تراد لذاتها؛ لأنها تراد في الدنيا والآخرة بخلاف الخوف فإنه يزول في الآخرة

Ketahuilah, bahwa penggerak hati menuju kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu ada tiga : cinta, takut dan harap. Dan yang terkuat adalah cinta. Cinta (kepada Allah) itu menjadi tujuan, karena dikehendaki adanya di dunia dan akherat.

Lain halnya dengan takut , maka takut kepada Allah akan hilang di akherat (Surga).

Kesimpulan Tafsir ayat ke-4 :

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

Allah adalah Tuhan Pemilik Hari Pembalasan. Allah membalas mereka sesuai dengan amalan mereka, jika baik amalan mereka, maka baik pula balasannya, namun jika buruk amalan mereka, maka buruk pula balasannya, kecuali hamba yang Allah memaafkannya. Jadi, semua urusan kembali kepada keputusan-Nya, karena hanya Allah-lah Pemilik Hari Pembalasan.

 

TAFSIR AL-FATIHAH AYAT KELIMA

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan

1. Kaedah “Mendahulukan sesuatu yang haknya diakhirkan menunjukkan kepada pembatasan”

Susunan (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) pada asalnya adalah نعبدك , dengan mengakhirkan obyek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek didahulukan daripada kata kerjanya, hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan : “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah”.

Demikian pula (إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) pada asalnya :نستعين بك  , dengan mengakhirkan obyek setelah kata kerjanya. Namun dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek didahulukan daripada kata kerjanya, hal ini menunjukkan faedah pembatasan yang diterjemahkan dengan : “Hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Dan dalam pembatasan ini terdapat dua rukun Tauhid :

Nafi (meniadakan sesembahan selain Allah) & Itsbat (menetapkan satu-satunya Sesembahan yang berhak disembah adalah Allah).

Inilah hakekat Tauhid, bahwa hanya kepada Allah-lah seluruh peribadatan ditujukan, dan tidak mempersembahkan ibadah apapun kepada selain-Nya. Dan termasuk ibadah adalah ibadah Isti’anah (memohon pertolongan), maka wajib ibadah memohon pertolongan (Isti’anah) hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata.

Definisi ibadah ditinjau dari jenis ibadah yang disyari'atkan oleh Allah Ta'ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan ibadah dalam kitab beliau Al-'Ubudiyyah[2], dengan mengatakan,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ.

Ibadah adalah suatu kata yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Ta'ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang zhahir (anggota tubuh yang nampak).

Definisi ibadah ditinjau dari sisi perbuatan yang dilakukan seorang hamba

Syaikh Muhammad Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah berkata :

التذلل لله - عز وجل - بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً .

Merendahkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, disertai cinta dan mengagungkan(-Nya)”[3]

2. Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah, rahasianya adalah

-Isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah,

-Mendahulukan hak Allah daripada makhluk,

-Mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah),

-Mendahulukan ibadah secara umum daripada khusus.

 

3. Dalam (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) terdapat :

-Tujuan yang paling mulia, yaitu ibadah kepada Allah semata, Allah Ta'ala berfirman,

{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ}

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)”.[QS.Adz-Dzaariyaat : 56].

-Sarana yang paling mulia, yaitu isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah semata.

Faedah penghayatan ayat kelima ini

1. Hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak bisa tercapai hal itu kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya.

2. Dalam ayat ke-5 ini terdapat dua dari tiga prinsip istiqomah dalam beragama Islam,

Pertama : Ikhlas, karena beribadah kepada Allah semata, murni & bersih dari kesyirikan.

Kedua : Tawakkal & mohon pertolongan kepada Allah semata agar bisa beribadah hanya kepada-Nya.

Sedangkan prinsip istiqomah ketiga terdapat dalam ayat selanjutnya, ayat ke-6, yaitu :

Al-Mutaba’ah, yaitu meniti jalan lurus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada-Nya.

Catatan : Tidak mungkin ibadah kepada Allah diterima kecuali jika ikhlas dan mutaba’ah, keduanya syarat diterimanya amal ibadah. Serta tidak mungkin amal ibadah bisa diterima kecuali dengan bertawakal dan mohon pertolongan kepada Allah semata.

Kesimpulan Tafsir  ayat ke-5 :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah, sebagai tujuan hidup kami, serta hanya kepada Engkau-lah semata kami mohon pertolongan dalam beribadah kepada-Mu semata.

Referensi :

1. Tafsir Ath-Thabari

2. Tafsir As-Sa’di

3. Tafsir Al-‘Utsaimin

4. Al-‘Ubudiyyah, Ibnu Taimiyyah

5. Al-Qoulul Mufid, Al-‘Utsaimin.

 

(Bersambung, in sya Allah)

  Sumber : www.muslim.or.id



[1]  https://tafsir.app/zad-almaseer/1/4

[2]. Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 4.

[3]. Al-Qoulul Mufid, hal. 10.

Tidak ada komentar