بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أنْ محمداً عبدُه
ورسوله، وأصلي وأسلم على من بعثه ربه رحمة للعالمين، وعلى آله وأصحابه، ومن
اهتدى بهديه واستن بسنته إلى يوم الدين. أما بعد
Dalam tulisan bertajuk “
Anda seorang Politikus? Bercerminlah!” telah dijelaskan siapakah yang berhak memberi penilaian & solusi dalam masalah
Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i (penentu strategi politik yang syar’i).
Nah, dalam tulisan ini, Anda diajak memahami apakah perbedaan ulama mujtahid / ulama ahli ijtihad dengan pengamat politik yang awam (baca: bukan ulama mujtahid) ketika berbicara masalah politik? Agar kita semakin sadar hanya ulama ahli ijtihad lah yang berhak memberi penilaian dan solusi dalam masalah
Nawazil Siyasah (kejadian politik kontemporer) dan berhak menjadi politikus syar’i.
Perbedaan tersebut adalah :
- Seorang
ulama mujtahid adalah orang yang ahli berijtihad dan ahli berfatwa.
Karena telah terpenuhi syarat berijtihad yang ma’ruf disebutkan dalam
kitab-kitab ushul fiqh. Adapun selain mereka yang bukan ulama, jauh dari
terpenuhi syarat mampu berijtihad dan berfatwa.
- Seorang
mujtahid membangun fatwanya atas dasar ilmu syar’i yang kokoh. Adapun
orang awam mendasarkan komentar politiknya atas dasar kebodohan atau
ilmu politik barat, yang banyak bertentangan dengan Islam.
- Seorang
mujtahid jika salah dalam berijtihad dan salah berfatwa, maka tidak
berdosa bahkan mendapatkan pahala. Sebagaimana dalam hadits Muttafaqun
‘alaih, Rasulullah صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
(إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران، وإن اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر)
“Jika
seorang Hakim berijtihad lalu benar,maka dia mendapatkan dua pahala,dan
jika seorang Hakim berijtihad lalu salah,maka dia mendapatkan satu
pahala” . Muttafaqun ‘Alaihi.
Mengapa jika salah tidak berdosa
bahkan tetap dapat pahala? Karena mereka memang ahli berijtihad
(memiliki kemampuan untuk berfatwa) serta telah mengerahkan seluruh
kemampuannya dalam berfatwa,berarti dia telah bertakwa semaksimal
kemampuannya. Adapun selain Ulama Ahli Ijtihad, maka jika salah
berkomentar, dia berdosa dan tidak ada udzur baginya. Karena bukan
ahlinya sehingga berbicara tanpa ilmu.
Bagaimana jika seandainya pendapat orang yang bukan Ulama tersebut kebetulan benar ?
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa seandainya kebetulan benar
sekalipun, maka tetap tercela. Mengapa? Karena pada asalnya dia bukan
ahlinya dan berbicara tanpa ilmu Syar’i. Ibnu Taimiyyah ـ رحمه الله ـ
berkata :
ومن تكلم في الدين بغير الاجتهاد المسوّغ له الكلامَ وأخطأ فإنّه كاذب آثم
“Dan
barangsiapa berbicara dalam masalah Agama Islam tanpa dasar Ijtihad
yang Syar’i kemudian terjatuh dalam kesalahan maka dia dikatakan orang
yang salah dan berdosa”
Kemudian beliau membawakan dalil dari Hadits yang shahih,bahwa Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda :
القضاة
ثلاثة قاضيان في النار وقاضٍ في الجنة، رجل قضى على جهل فهو في النار،
ورجل عرف الحق وقضى بخلافه فهو في النار، ورجل علم الحق فقضى به فهو في
الجنة
“Para
Hakim itu terbagi menjadi 3 tipe ,2 masuk Neraka dan satu Hakim yang
masuk Surga. Yang pertama : Seseorang yang memutuskan Hukum Syar’i atas
dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi kebenaran-pent)
terancam masuk Neraka,kedua : Seseorang yang mengetahui Kebenaran dan
memutuskan Hukum Syar’i dengan
menyelisihi Kebenaran maka dia terancam masuk Neraka,ketiga : Seseorang
yang mengetahui Kebenaran dan memutuskan Hukum Syar’i sesuai dengan Kebenaran,maka dia masuk Surga”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, hadits ini shahih)
Perhatikan
tipe yang pertama dalam hadits ini: seseorang yang memutuskan hukum
Syar’i atas dasar kebodohan (walaupun tidak sengaja menyelisihi
kebenaran-pent) terancam masuk neraka, karena berbicara tanpa ilmu.
Akhirul kalam, marilah
kita menahan diri berkomentar tanpa bimbingan ulama. Tentang solusi
kejadian-kejadian baru tentang perpolitikan nasional apalagi kejadian
politik antar Negara atau politik internasional yang menyangkut nasib
masyarakat luas. Apalagi terkait dengan darah kaum Muslimin, jihad dan
yang lainnya. Mari kita memohon pertolongan kepada Allah kemudian kita
serahkan kepada ahlinya; para Ulama Mujtahidun.
Serta marilah kita mendidik diri dan keluarga dengan shighorul’ilmi qobla kibarihi, dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu yang tinggi. Jangan sibukkan diri kita dengan ilmu-ilmu yang tinggi sebelum sampai kepada tingkatannya.
Imam Imam Malik ـ رحمه الله ـ ketika ditanya tentang menuntut ilmu Syar’I menjawab :
كله خير ولكن انظرإلى ما تحتاجه في يومك و ليلتك فاطلبه
“Semua
disiplin Ilmu Syar’i baik,akan tetapi perhatikan ilmu-ilmu yang anda
butuhkan dalam keseharianmu, maka dahulukan mencari Ilmu tersebut”
و الله أعلم بالصواب
[Diolah dari Madarikun Nadhor fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani, dengan penambahan]
—
Penulis: Sa’id Abu Ukasyah
Dipublikasi ulang dari Muslim.Or.Id
Post a Comment