Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (2)



Pada bagian pertama telah dijelaskan bahwa ada tiga kunci mendasar untuk sukses menuntut ilmu syar’i yang diterapkan para ulama rahimahumullah, yaitu Ikhlas, sesuai dengan sunnahyaitu ar-rifqu. Para ulama menjelaskan tentang ar-rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk ar-rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail dan mendalam, namun mempelajari dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan yang dimudahkan oleh Allah baginya.
Contohnya:
Seorang penuntut ilmu syar’i pemula yang memiliki semangat mempelajari ilmu tafsir -di awal tangga menuntut ilmu- menginginkan langsung menguasai pembahasan tafsir yang luas, yang disebutkan di dalamnya banyak perbedaan pendapat para ahli tafsir, detail, dan lengkap dengan sanadnya serta alasan-alasan ilmiyahnya, padahal ia tidak pernah mempelajari tafsir yang ringkas sebelumnya, yang mengajarkan dasar-dasar ilmu tafsir dan tidak pernah pula mempelajari kaidah-kaidah usul tafsir, kaidah tafsir, kaidah tarjih (menguatkan pendapat), tata bahasa Arab maupun ilmu lainnya yang dibutuhkan untuk memahami pembahasan tafsir yang detail dan mendalam.
Misalnya saja, penuntut ilmu pemula tersebut langsung mempelajari kitab tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari yang tergolong memuat mayoritas ilmu tafsir, sebuah kitab yang terdiri dari belasan jilid yang tebal. Jika Anda bertanya kepadanya tentang tafsir Ayat tertentu, maka biasanya ia tidak bisa menjelaskannya dengan baik, hanya ingat saja bahwa dirinya pernah baca tafsir Ayat tersebut, tidak lebih dari itu.
Begitu juga ketika ia ingin mempelajari ilmu hadits, ia langsung belajar kitab SyarahShahihul Bukhari dan Fathul Baari.  Orang seperti ini tidak akan bisa menguasai ilmu tersebut sebagaimana yang dimiliki ulama atau penuntut ilmu syar’i yang mapan ilmunya. Ia hanyalah berstatus orang yang “berwawasan luas” (berwawasan luas dalam tanda petik) alias “pernah banyak tahu atau dengar” saja, namun banyak lupa dan banyak tidak memahami masalah-masalah atau bab-bab dalam disiplin ilmu syar’i tersebut.
Di antara penuntut ilmu syar’i pemula, terkadang ada yang suka menghadiri majelis-majelis atau membaca kitab-kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu tafshiilaat (perincian secara detail) tentang suatu masalah atau bab tertentu, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ia menyangka dengan itu dirinya akan mendapatkan ilmu yang mendalam sebagaimana ulama, padahal ia belum pernah mempelajari ilmu-ilmu pengantar, ilmu-ilmu dasar dan kaidah-kaidah umum yang dibutuhkan untuk menguasai masalah tersebut dengan kokoh.
Orang yang seperti ini biasanya akan banyak lupa perincian ilmu yang telah ia pelajari selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun itu karena ia tidak menguasai ilmu pengantar dan kaidah-kaidah dasar atau alat yang mengikat perincian yang sangat detail itu, sehingga ia mudah lupa atau sulit memahaminya. Ketahuilah, bukan demikian metode menuntut ilmu syar’i yang benar. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya menjadi rabbaniyyin,
وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya” (Ali ‘Imran:79).
Imam Al-Bukhari rahimahullah menafsirkan rabbaniyin dalam kitab shahihnya,
الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره
“Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang dasar dan ringkas sebelum ilmu yang tinggi dan panjang lebar pembahasannya.” Inilah metode yang benar dalam belajar maupun mengajarkan ilmu syar’i. Seorang guru yang rabbani tidaklah menyampaikan semua yang ia ketahui kepada muridnya, ia menyampaikan apa yang dibutuhkan muridnya sesuai dengan tingkatan ilmunya dan pemahamannya. Demikian pula seorang murid yang ingin menjadi seorang da’i, syaikh, ulama rabbaniyyin atau sebatas menjadi pendidik bagi diri dan keluarganya dengan benar, maka ia mendidik dirinya dengan ar-rifqu (kelembutan) dalam menuntut ilmu syar’i, tidak membebani dirinya dengan beban-beban menuntut ilmu yang berat sebelum yang dasar, ringkas, dan mudah.

Hendaklah Penuntut Ilmu Syar’i Memberikan Waktu Paling Baik dan Mahal untuk Meraihnya

Seorang penuntut ilmu syar’i yang ingin menjadi generasi penerus ulama ahlus sunnah wal jama’ah janganlah memberikan “waktu-waktu sisa” dalam ibadah thalabul ‘ilmi. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa bekerja setelah tenaga banyak terkuras untuk kerja. Janganlah ia berikan waktu sisa-sisa sibuk (waktu senggang), ketika pikiran sudah penat. Begitu pula, waktu sisa-sisa umur, ketika sudah hilang umur-umur emas mampu menghafal dengan kuat (sudah tua).
Bukan berarti ada kata terlambat untuk jadi ulama bagi yang sudah berusia tua. Namun maksudnya kita bicara sesuatu yang ideal untuk menjadi ulama. Untuk menguasai ilmu syar’i dengan baik, berikanlah waktu paling mahal Anda, ketika pikiran masih segar, hafalan masih kuat, usia masih muda, tidak sedang disibukkan dengan urusan lain, itupun, sebagaimana kata mutiara mengatakan,
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا
“Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka Ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja”
Ketahuilah, memberikan waktu yang paling baik dan paling mahal untuk meraih ilmu syar’i dan menguasainya bisa terwujud dengan dua perkara berikut ini:
  1. Pembagian Waktu yang TepatBagilah waktu sesuai dengan ilmu yang Anda pelajari. Waktu-waktu yang “emas” pakailah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal fikih, ushul fikih, dan yang semisalnya. Waktu-waktu “perak” gunakanlah untuk mempelajari ilmu-ilmu yang kurang membutuhkan kosentrasi dan pemikiran yang berat, semisal tafsir, hadits dan mushthalahnya. Waktu-waktu “perunggu”, yaitu waktu disaat Anda sudah penat, capek dan lelah berpikir, namun masih mampu untuk terus belajar, maka manfa’atkan waktu-waktu tersebut untuk membaca kitab-kitab tentang Adab, biografi ulama, dan yang semisalnya.
  2. Hiduplah Bersama dengan Ilmu dan Amal, dimanapun Anda BeradaJadikanlah hatimu senantiasa tertuju kepada ilmu dan amal serta jadilah sosok insan yang haus ilmu dan pengamalannya, kapanpun dan dimanapun Anda berada. Pagi, siang, dan malam bersama dengan ilmu dan amal, bangun tidur sibuk dengan membuka lembaran-lembaran kitab ulama, hendak tidurpun menyanding kitab-kitab ulama agar suatu saat Anda membutuhkan pembahasan masalah ilmiyyah tertentu, Anda pun membacanya lalu segera menulisnya agar tidak hilang dari ingatannya.
Jadi intinya, jika Anda ingin menjadi ulama, maka tempuhlah jalan yang telah mereka tempuh, sebagaimana sebuah sya’ir,
ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها … إن السفينة لا تجري على اليبس
“Anda mengharapkan kesuksesan, namun Anda tidak menempuh jalan-jalan yang semestinya #  Sesungguhnya kapal laut itu tidaklah berjalan di atas daratan”
Maka bagaimana mungkin kapal laut lewat darat akan sampai tujuannya? Begitu pula, mungkinkah seorang penuntut ilmu syar’i menjadi ulama, jika menempuh suatu cara yang bukan caranya ulama?
Oleh sebab itu, jadilah sosok orang yang senantiasa bersama ilmu sebagaimana ulama. Bagi ulama, tidak ada satu saatpun paling indah dan manis dalam hidupnya kecuali bersama dengan ilmu yang diamalkan. Baginya, tidak ada satupun piknik, tamasya, dan jalan-jalanyang sanggup menggantikan kelezatan menuntut ilmu syar’i, mengamalkan, dan mendakwahkannya. Oleh karena itu, aib bagi seorang yang mengaku sebagai penuntut ilmu syar’i, namun ia terbiasa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan ilmu, hanya sekedar majelis qila wa qala (obrolan gak jelas)baik dalam bentuk ngobrol ngalor-ngidul, pesbuk-an, ngetweet, atau cuci mata dan nongkrong. Orang yang seperti ini tidaklah pantas disebut sebagai thalibul ‘ilmi, apalagi disebut sebagaipakar ilmu syari’at. Ia lebih pas dikatakan “pakar/tukang ini atau itu” sesuai dengan majelis qila wa qala yang ditekuninya. Wallahu a’lam.
Insyaallah akan berlanjut penjelasan tentang “Empat kaidah umum dalam mempelajari kitab ulama”. Silahkan baca Cara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag. 3).

(Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh Shaleh Alusy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau
Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28).
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar