Sebagian orang ada yang berusaha menjatuhkan kehormatan ulama dengan mencela dan merendahkan mereka, bahkan ada pula golongan yang menyamalkan diri mereka dengan ulama, sehingga dengan ringan hati mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang “megah” dalam urusan agama untuk membantah fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah dan merendahkannya, padahal pernyataan-pernyataan tersebut lebih rapuh dari sarang laba-laba. Sampaikan kepada mereka “ulama itu kedudukan ilmiyah yang sangat tinggi, tidak mudah menjadi ulama. Sungguh jauh berbeda antara Anda dengan mereka, bercerminlah”.
Di sisi lain, sebagian dari penuntut Ilmu yang telah mendapatkan hidayah sunnah dan memiliki semangat mempelajari berbagai kitab ulama pun ada yang merasakan hal seperti ini,
“Tahunan sudah saya mengikuti kajian dari daurah ke daurah dan banyak sudah kitab-kitab ulama yang telah saya baca, namun saya merasa seolah-olah ‘tidak punya apa-apa’, tidak menguasai kaidah-kaidah dasar yang kokoh, tidak bisa menganalisa sebuah masalah ilmiyah dengan baik, dan tidak mampu memahami apalagi membahas masalah-masalah yang pelik!”.Suatu pertanyaan yang layak dijadikan renungan: “Sudah benarkah cara belajarnya?
Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan yang panjang, tidaklah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta meninggalkan mengikuti kesenangan syahwat belaka. Di samping itu, juga harus melakukannya dengan bersungguh-sunguh ”. Mengapa demikian?Karena Allah Yang Maha Mengetahui tentang wahyu-Nya telah mensifati wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ucapan yang berat,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat” (QAl-Muzzammil: 5).
Hal yang dimaksud dengan Ucapan yang berat di sini adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Oleh sebab itu, ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang suatu masalah, beliau tidak menjawabnya, lalu ada yang berkata, “Ini masalah yang enteng atau masalah yang sepele”, sang Imam pun menjawab, “Jangan Anda katakan seperti itu! Karena (sesungguhnya) tidak ada satupun dari ilmu syar’i ini, -baik permasalahan kecil maupun yang besar- layak dikatakan sepele atau enteng, karena Allah Jalla wa ‘alaa mensifatinya dengan (perkataan yang) berat {إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا }”.
Ucapan Imam Malik rahimahullah adalah ucapan yang mendalam dan sarat makna.
Hal ini adalah tingkatan pertama dari tangga menuntut ilmu bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh menyepelekan dan menggampangkan ilmu, walaupun seandainya masalah yang dibahas benar-benar perkara yang mudah dipahami. Bukan berarti tidak ada sebagian dari ilmu syar’i yang lebih mudah dipahami daripada sebagian yang lainnya.Namun maksudnya, walaupun suatu materi ilmu itu mudah, tetap tidak layak untuk disepelekan.Mengapa?
Seorang penutut ilmu syar’i, tidaklah dikatakan menguasai ilmu syar’i dengan baik dan tidaklah dikatakan memiliki ilmu yang mapan kecuali dengan memberikan perhatian yang besar terhadap semua masalah ilmiyah, baik yang kecil maupun yang besar, baik terkait dengan aktifitas memahami dan memperolehnya, menghafal maupun mengulang-ulangnya, mendalamkan dan mengokohkannya dalam hati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu adalah perkara yang berat.Ada sebuah kata Mutiara yang terbukti dalam kenyataan dan menarik untuk kita simak
العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا
Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja, namun jika Anda memberikan pengorbanan sebagian saja untuk memperolehnya, maka Anda tidak akan mendapatkan apa-apa darinya” .
Ya, metodologi (manhaj) yang benar dalam menuntut ilmu syar’i dan membaca kitab-kitab ulama haruslah dimiliki oleh setiap penuntut ilmu syar’i karena jika ia sampai tidak memilikinya, maka bisa luntur semangatnya, bosan dan bahkan ia bisa berhenti di tengah jalan.
Telah berlalu sekian tahun lamanya ia belajar ilmu-ilmu syari’at ini, namun ia dapati dirinya seolah-olah masih seperti yang dulu, awam atau berstatus ”banyak baca kitab” saja, walaupun hanya pendahuluan, daftar isi, dan beberapa bab secara sekilas.
Akhirnya, pengetahuannya setengah-setengah, tidak menguasai kaidah-kaidah dasarnya, tidak paham inti masalahnya, lebih tidak paham lagi masalah perinciannya dan perkara-perkara yang sulit karena yang ia dapatkan selama ini tidak lebih dari sekedar wawasan dan bukan ilmu yang kokoh dan mapan.
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari dulu sampai sekarang memiliki tiga kiat sukses mendasar dalam menguasai ilmu syar’i, sehingga mereka berhasil menjadi para ulama, Aimmatul Huda (para Imam yang mengajarkan petunjuk Allah), dengan taufik dari Allah Ta’ala.
Ketiga prinsip ini termasuk penyebab terbesar didapatkannya taufik dan pertolongan Allah, sehingga mereka mendapatkan anugerah menjadi para ulama rabbaniyin.
Seorang penuntut ilmu syar’i haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, sehingga Dia berkenan memasukkannya ke dalam surga-Nya.Menuntut ilmu syar’iadalah ibadah yang agung, tidaklah akan diterima dan diberkahi oleh Allah kecuali dengan keikhlasan, bukan bertujuan untuk mendapatkan perhiasan dunia berupa harta, tahta, wanita, pujian maupun yang lainnya.
Seorang penuntut ilmu syar’i tidaklah belajar dengan niat mengincar profesi guru, penceramah, maupun ustadz terkenal, namun ia belajar agama Islam ini semata-mata dalam rangka beribadah kepada Rabbnya semata, agar bisa beribadah dan beragama dengan benar (baca: berilmu dan beramal), dan ingin agar orang lain bisa beribadah dan beragama dengan benar pula (baca: berdakwah). Bukan profesi, gaji, dan popularitas yang menjadi tujuannya, namun ilmu, amal dan dakwah yang ia inginkan, inilah profil penuntut ilmu yang ikhlas, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, serta mencari surga-Nya.
Hal inilah yang dimaksud oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam perkataannya,
العـلم لا يـعـدله شـيء لمن صحّـت نيـتـه ،قيل: وكيف تصح نيته؟ قال: ينـوي أن يرفع الجهل عن نفسه وعن غيره
“Ilmu (syari’at) itu tidak ada sesuatu yang bisa menyaingi keutamaannya, bagi orang yang benar niatnya. Ada yang bertanya, “Bagaimana niatnya bisa benar?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia berniat menghilangkan kebodohan (tentang agama Islam ini) dari dirinya dan dari orang lain”.
Maksud beliau niat yang benar dalam menuntut ilmu syar’i adalah berilmu agar bisa beramal dan beribadah dengan benar serta untuk berdakwah kepada orang lain agar mereka pun bisa beribadah dengan benar. Intinya adalah berilmu, beramal, dan berdakwah.
Niat yang benar (baca : Ikhlas) semata tidaklah cukup, haruslah ditambah dengan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, barulah ketika terkumpul kedua perkara ini, maka aktifitas ibadah diterima oleh Allah. Di antara cara yang paling penting dalam menuntut ilmu syar’i adalah Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).
Mengapa demikian?Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menerangkan kepada kita kabar yang umum,
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek” (HR. Muslim no. 2594).
Maksud dari “sesuatu” disini umum, termasuk juga didalamnya adalah aktifitas menuntut ilmu syar’i.
Demikian pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, mencintai kelembutan dalam seluruh perkara” (HR. Bukhari dan Muslim). sabda beliau (في الأمر كله) mencakup seluruh perkara, termasuk didalamnya menuntut ilmu syar’i.
Bagaimana bentuknya? Ulama menjelaskan tentang Ar-Rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru, dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.
Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk Ar-Rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail, dan mendalam, namun ia mempelajari dasar-dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Allah baginya.Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh seorang imam Tabi’in yang terkenal, Syihab Az-Zuhri,
من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي
“Barangsiapa yang mencari ilmu sekaligus (semuanya atau mayoritasnya), maka akan lenyaplah ilmu tersebut sekaligus pula. Sesungguhnya ilmu syar’i hanya bisa dipelajari dengan baik jika menghabiskan waktu siang dan malam (dalam waktu yang panjang) ” .
Menguasai ilmu syar’i dengan baik, mendalam, luas, detail, dan kokoh itu membutuhkan waktu yang panjang, harus bertahap selama bertahun-tahun, tidak bisa hanya dalam waktu yang singkat. Barangsiapa yang coba-coba mempelajarinya langsung mendalam, luas, dan detail dalam waktu singkat, biasanya ia tidak akan bisa menguasainya dengan baik sehingga seolah-olah ia seperti tidak pernah belajar sama sekali atau bahkan benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ilmu tersebut.
Adapun tentang bagaimana contoh-contoh Ar-Rifqu dalam menuntut ilmu syar’i, insya allah akan berlanjut pada artikelCara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.2).
(Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh ShalIh Alu Asy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau: Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment