Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa menjelaskan bahwa syukur itu direalisasikan dengan keyakinan, ucapan dan perbuatan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman,
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
(13) Beramallah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS. Saba’: 13).
Ayat di atas menunjukkan bahwa diantara wujud syukur adalah beramal sholeh, maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Abu Abdur Rahman rahimahullah,
الصلاة شكر، والصيام شكر، وكل خير تعمله لله شكر
“Salat itu syukur, puasa itu syukur, dan seluruh kebaikan (amal saleh) yang dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata itu adalah syukur” (Riwayat Ibnu Jarir).
Jadi, syukur itu adalah menggunakan nikmat Allah untuk mengenal-Nya dan beribadah kepada-Nya semata.
Metode dalam mengajak kepada kebaikan serta melarang dari maksiat dengan cara menyebutkan kenikmatan ini termasuk metode Qur`ani yang sangat bermanfa’at dan sangat menyentuh hati orang yang didakwahi, maka selayaknya seorang da’i menggunakan metode ini dalam dakwahnya. Syaikh Abdur Razzaq hafizhahullah menyampaikan sebuah kisah, suatu saat, ada seseorang yang mendatangi seorang ulama dan menyampaikan bahwa dirinya ingin melakukan zina. Lalu sang ulama pun menasehatinya dengan menyampaikan kepadanya bahwa ia dipersilakan melakukan zina, tapi dengan syarat ia tidak boleh menggunakan nikmat Allah untuk berzina.
Mungkinkah orang tersebut melakukan zina tanpa menggunakan kenikmatan dari Allah Ta’ala? Bukankah tangannya, kakinya, dan seluruh anggota badannya adalah nikmat dari-Nya?
Nasehat ini adalah sebuah nasehat brilian. Meskipun secara eksplisit sang ulama seolah memerintahkan untuk berzina, namun sebenarnya ulama tersebut melarang pemuda tadi dari zina dengan cara mengingatkan kenikmatan yang ada pada diri orang tersebut.
Cara tersebut adalah suatu nasehat yang tepat, karena sudah menjadi kewajiban orang yang memperoleh nikmat untuk bersyukur kepada Sang Pemberi nikmat dengan menggunakan nikmat tersebut untuk ta’at kepada-Nya, bukan justru menggunakannya untuk membuat murka Sang Pemberi nikmat!
Sesungguhnya kasus di atas ada sisi kesamaan dengan firman Allah Ta’ala,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا
(56) Katakanlah: “Berdo’alah kepada mereka yang kamu anggap sebagai (tuhan-tuhan) selain Allah, maka (pastilah) mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula mampu memindahkannya” (QS. Al-Israa`: 56).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada kaum musyrikin agar mereka berdo’a kepada tuhan-tuhan selain Allah dan memikirkan apakah tuhan-tuhan selain Allah tersebut mampu menghilangkan bahaya, penyakit, musibah dan selainnya dari diri mereka atau mampu memindahkannya dari mereka?
Tentulah tuhan-tuhan selain Allah itu tidak mampu sama sekali melakukan hal itu. Lalu apa alasan yang mendorong mereka untuk berdo’a kepada sesembahan selain Allah?
Secara eksplisit, ayat ini adalah perintah, namun sebenarnya adalah larangan dan pengingkaran terhadap perbuatan syirik dalam do’a yang mengandung penetapan bahwa satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah Ta’ala semata.
[Bersambung]
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment