Metode Berdakwah Kepada Non-Muslim (1)

Metode Berdakwah Kepada Non-Muslim (1)


Dakwah adalah Jalan para Rasul, para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para Imam Kaum Muslimin

Allah Ta’ala telah mengutus para rasul ‘alaihimush shalatu was salamu sebagai da’i yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada Allah semata dengan meniti jalan yang lurus.

Para rasul ‘alaihimush shalatu was salamu telah menjelaskan agama yang Allah turunkan dengan sempurna, mereka telah menegakkan hujjah, memberi peringatan, membawa kabar gembira serta menghilangkan syubhat sehingga tidak ada alasan untuk menyatakan tidak mengetahui agama Islam dan tidak ada alasan untuk tidak menerima agama Islam. 

Allah Ta’ala berfirman,

… لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَىٰ مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ

“…agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfaal: 42).

Para rasul ‘alaihimush shalatu was salamu telah membebaskan umat mereka dari perbudakan terhadap hawa nafsu dan syahwat sehingga mereka menghamba kepada Allah semata, dan mendorong umat untuk meraih keridhaan Allah. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali telah mereka jelaskan dan tidak ada satu keburukan pun kecuali telah mereka peringatkan. Dan yang paling sempurna melaksanakan tugas Ad-Dakwah ilallah adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa ajaran yang paling sempurna.

Lalu tongkat estafet dakwah diteruskan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, para imam kaum muslimin, ulama mereka dan da’i-da’i ilallah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut beliau mengajak kepada Allah di atas ilmu yang shahih.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu (yang benar), Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108).

Agama Allah tidaklah tersebar, dan kebaikan sebuah masyarakat pun tidaklah terwujud kecuali dengan Ad-Dakwah ilallah.

Sebaliknya, sebuah umat tidaklah binasa, sebuah umat tidaklah diazab, dan keburukan tidaklah tersebar di tengah-tengah umat kecuali karena akibat meninggalkan dakwah ataupun tidak memberikan perhatian yang semestinya kepada dakawah tersebut.

Kebutuhan manusia terhadap dakwah melebihi kebutuhan manusia terhadap makan dan minum. Seseorang yang terkena musibah kelaparan sehingga tidak mendapatkan makanan dan minuman, maka akibat terparahnya adalah mati, namun jika orang yang mati kelaparan tersebut adalah orang yang bertakwa, maka kematian itupun menghantarkannya kepada surga. Akan tetapi, apabila seseorang berpaling dari seruan Ad-Dakwah ilallah dan menolaknya, maka ancamannya bukan hanya kematian, namun juga adzab neraka yang menyala-nyala.

Skala Prioritas dalam Berdakwah Ilallah

Perlu diingat, bahwa ajaran agama Islam itu keutamaannya beranekaragam dan bertingkat-tingkat, ada yang termulia dan paling mendasar, ada pula yang tidak demikian, namun keyakinan yang pasti adalah semua ajaran Islam itu mulia dan penting. Oleh karena itu di dalam mendakwahkan Islam pun perlu diperhatikan skala prioritas. 

Dahulukan perkara yang terpenting dan termulia sebelum perkara yang penting dan mulia. Dahulukan perkara yang mendasar sebelum perkara yang terbangun di atas dasar tersebut.

Dalam mendakwahkan ajaran Islam, ketika seorang da’i menghadapi dua pilihan dan keadaan yang menuntut harus dipilih salah satunya, maka dahulukan perkara yang wajib sebelum perkara yang sunnah, karena perintah Allah itu ada yang wajib dan ada pula yang sunnah untuk dikerjakan. Demikian pula, dahulukan melarang dari perkara yang haram, sebelum melarang dari perkara yang makruh, karena larangan Allah itu ada yang haram dilakukan dan ada pula yang makruh dilakukan.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Sumber : Muslim.or.id

Tidak ada komentar