MATAN
“Dan
macam-macam ibadah yang diperintahkan Allah itu, antara lain: Islam,
Iman, Ihsan, do’a,
khauf (takut), raja’ (pengharapan), tawakkal, raghbah (harapan yang
khusus), rahbah (takut yang khusus), khusyu’ , khasyyah (takut
didasari ilmu), inabah (kembali kepada Allah), isti’anah (memohon
pertolongan), isti’azah (memohon perlindungan), istighatsah
(memohon pertolongan untuk diselamatkan), dzabh (menyembelih),
nadzar, dan macam-macam ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah,
semuanya harus dipersembahkan untuk Allah Ta'ala
saja.
Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala
:
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا
مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu hanyalah kepunyaan Allah, karena itu
janganlah kalian menyembah apapun (di dalamnya) di samping
(menyembah) Allah.”
[QS. Al-Jin : 18].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Semua
macam ibadah harus dipersembahkan untuk Allah Ta'ala
saja.
Dalil
:
Firman
Allah Ta’ala
:
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا
مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan
sesungguhnya masjid-masjid itu hanyalah kepunyaan Allah, karena itu
janganlah kalian menyembah apapun (di dalamnya) di samping
(menyembah) Allah.”
[QS. Al-Jin : 18].
Kesimpulan
Dalil :
Semua
macam ibadah harus dipersembahkan untuk Allah Ta'ala
saja
dan tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah, karena dalam
ayat ini terdapat dua bentuk keumuman, yaitu:
1.
Keumuman Pertama:
Keumuman
larangan beribadah dalam bentuk apapun (ucapan maupun perbuatan)
kepada selain Allah.
Janganlah
kalian menyembah selain Allah, baik dengan ibadah dalam bentuk
berdo'a kepada selain Allah maupun mempersembahkan ibadah lainnya
(selain ibadah do'a) kepada selain Allah.
2.
Keumuman Kedua:
Keumuman
sesembahan selain Allah yang terlarang disembah.
Jadi,
tidak boleh mempersembahkan peribadatan kepada semua sesembahan
selain Allah, baik itu dari kalangan manusia, jin maupun yang
lainnya.1
Dengan
demikian maksud:
{فَلَا
تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا}
jika
digabungkan dua makna umum ini yaitu:
karena
itu janganlah kalian menyembah atau ibadah sesuatu apapun (baik jin,
manusia, malaikat, rasul, dan makhluk lainnya) di samping (beribadah
kepada) Allah, dalam bentuk apapun ibadah tersebut.
MATAN
“Karena
itu, barangsiapa yang mempersembahkan salah
satu saja dari semua macam ibadah tersebut
untuk selain Allah, maka ia
adalah musyrik dan kafir. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
:
وَمَنْ
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا
بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الْكَافِرُونَ
“Dan
barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah)
Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka
benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung
orang-orang kafir itu.”
(QS. Al-Mu`minun: 117).”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Dalil
:
QS.
Al-Mu`minun: 117.
Kesimpulan
Dalil :
Barangsiapa
yang mempersembahkan ibadah untuk selain Allah, maka ia adalah
musyrik dan kafir.
Alasan
Pendalilan :
Di
awal ayat tersebut, Allah Ta'ala
sebutkan
tentang orang-orang yang menyembah sesembahan yang lain di samping
(menyembah) Allah, kemudian di akhir ayat, Allah sebutkan akibat dari
perbuatan mereka, yaitu :
1.
Ditiadakan Al-Falah
(keberuntungan)
secara
totalitas,
hal itu disimpulkan dari mashdar
nakiroh
dalam konteks peniadaan yang terkandung dalam
{...
لَا
يُفْلِحُ ...}
“...tiada
beruntung...” yang
menunjukkan keumuman keberuntungan yang ditiadakan dari orang-orang
yang menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah.
Dan
jika ditiadakan Al-Falah
(keberuntungan)
secara
totalitas,
maka berarti ini hanyalah balasan
untuk
orang-orang kafir. Hakekatnya mereka di akherat, tidak mendapatkan
keberuntungan sama sekali, sehingga masuk kedalam neraka kekal
selama-lamanya.
2.
Allah menamakan orang-orang yang menyembah sesembahan yang lain di
samping (menyembah) Allah sebagai orang-orang yang kafir
(al-kafirin).
Ini menunjukkan bahwa perbuatan mereka tersebut adalah perbuatan
kekafiran (kufur akbar) sekaligus merupakan kesyirikan (syirik
akbar), karena telah mempersembahkan ibadah untuk selain Allah
disamping untuk Allah. Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan
oleh sang penulis kitab Tsalatsatul
Ushul ,Syaikh
Muhammad At-Tamimi rahimahullahu
di
atas :
“Barangsiapa
yang mempersembahkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia
adalah musyrik dan kafir”.
Faedah
Besar
Dalam
ayat tersebut, Allah Ta’ala
berfirman
:
{وَمَنْ
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا
بُرْهَانَ لَهُ بِهِ...}
“Dan
barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah)
Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu...”.
Dalam
ayat ini, Allah menjelaskan kekejian syirik dan kejamnya pelaku
kesyirikan (musyrikin) dengan menyatakan bahwa kesyirikan, apapun
bentuknya, pasti tidaklah memiliki hujjah dan dalil, baik dalil
Syar'i maupun dalil akal sehat.
Namun,
kenyataannya, masih saja ada orang-orang yang menyekutukan Allah
dalam peribadatan dengan selain-Nya, hal itu dikarenakan mereka
mengikuti hawa nafsu atau godaan setan.
Padahal
seandainya mereka mau memperhatikan dalil-dalil dalam Alquran maupun
As-Sunnah yang shahihah, tanpa pemikiran yang mendalam, asalkan
didasari hati yang bersih, maka akan jelas baginya wajibnya
mentauhidkan Allah dan haramnya kesyirikan!
Sikap
Tengah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah takfir
(menjatuhkan
vonis kafir)
Ahlus
Sunnah wal Jama'ah bersikap tengah-tengah dalam memahami dan
mengamalkan agama Islam.
Mereka
tidak melampui batasan Syari'at dan tidak pula menguranginya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menjelaskan
kaedah dalam masalah takfir
(menjatuhkan
vonis kafir):
إن
الكفر و الفسق أحكام
شرعية ليس ذلك من الأحكام
التي
يستقل بها العقل ,
فالكافر
من جعله الله ورسوله كافراً ,
والفاسق
من جعله الله ورسوله فاسقاً ,
كما
إن المؤمن والمسلم من جعله الله ورسوله
مؤمناً ومسلماً
Sesungguhnya
vonis kafir dan fasik adalah hukum Syar'i, hal itu bukanlah hukum
yang bisa ditetapkan oleh akal semata. Maka, orang kafir adalah orang
yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan sebagai orang kafir (karena
kekafiran yang ada padanya, pent.) dan orang fasik adalah orang yang
Allah dan Rasul-Nya tetapkan sebagai orang fasik (karena kefasikan
yang ada padanya, pent.).
Sebagaimana
orang mukmin dan muslim adalah orang yang Allah dan Rasul-Nya
tetapkan sebagai orang mukmin dan muslim (karena keimanan dan
keislaman yang ada padanya, pent.).
Perbedaan
antara Takfir
Mutlak (Vonis
kafir dengan lafadz umum) dan Takfir
Mu'ayyan (Vonis
kafir terhadap orang tertentu)
Ahlus
Sunnah
wal Jama'ah pun membedakan antara Takfir
Mutlak (Vonis
kafir dengan lafadz umum) dan Takfir
Mu'ayyan (Vonis
kafir terhadap orang tertentu). Perbedaan keduanya sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
dalam
kitabnya Majmu’
Al-Fatawa:
35/1652
:
فقد
يكون الفعل أو المقالة كفراً، ويطلق القول
بتكفير من قال تلك المقالة، أو فعل ذلك
الفعل، ويقال:
من
قال كذا، فهو كافر، أو من فعل ذلك، فهو
كافر.
لكن
الشخص المعين الذي قال ذلك القول أو فعل
ذلك الفعل لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه
الحجة التي يكفر تاركها.
وهذا
الأمر مطرد في نصوص الوعيد عند أهل السنة
والجماعة، فلا يشهد على معين من أهل القبلة
بأنه من أهل النار، لجواز أن لا يلحقه،
لفوات شرط أو لثبوت مانع
“Terkadang
suatu perbuatan ataupun ucapan itu adalah kekafiran dan orang yang
mengucapkannya atau orang yang melakukannyapun dikatakan kafir,
(seperti) ucapan : “Barangsiapa yang mengucapkan demikian, maka ia
kafir!” atau “ Barangsiapa yang melakukan demikian, maka ia
kafir!”.
Namun,
orang tertentu yang mengucapkan ucapan itu atau melakukan perbuatan
itu, tidaklah dihukumi kafir hingga tegak hujjah yang menyebabkan
kekafiran orang yang menelantarkan hujjah tersebut.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Takfir
Mutlak
adalah “Vonis
hukum kafir dalam Syari'at Islam untuk suatu ucapan atau perbuatan
atau keyakinan (ucapan hati atau perbuatannya3)
dan
untuk pelaku perkara-perkara tersebut, dalam bentuk umum (tanpa sebut
nama orang tertentu)”.
Dengan
demikian, berarti Takfir
Mutlak itu
berkaitan
dengan penjelasan hukum Syar'i yang umum (tanpa sebut nama orang
tertentu) tentang vonis kafir.
Contoh
Takfir
Mutlak adalah
:
“Barangsiapa
yang meyakini bahwa Allah tidak Esa maka ia kafir!”
atau “Barangsiapa
yang menghina Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia kafir!
”.
Inilah
jenis takfir yang disebutkan oleh para ulama dan imam Ahlus Sunnah
wal Jama'ah dalam menyatakan kekafiran ahli bid'ah, seperti jahmiyyah
musyabbihah dan
rafidhoh,
yaitu
: konteksnya adalah penjelasan hukum Syar'i yang umum dan tidak
terkait dengan nama orang tertentu anggota kelompok tersebut
(mu'ayyan),
karena orang tertentu tersebut yang menyatakan dirinya muslim,
tidaklah dihukumi kafir, kecuali jika terpenuhi syarat dan hilang
penghalangnya.
Sedangkan
Takfir
Mu'ayyan adalah
“Hukum
Syar'i bagi orang tertentu, karena adanya kekafiran pada dirinya,
baik dengan meyakini suatu keyakinan kekafiran4
atau mengucapkan suatu ucapan kekafiran ataupun melakukan suatu
perbuatan kekafiran, dengan terpenuhi syarat dan tidak adanya
penghalang pengkafiran”.
Contoh
Takfir
Mu'ayyan adalah
: “Fulan
bin Fulan murtad kafir, karena ia menghina Allah!”
atau “Fulan
bin Fulan murtad kafir, karena menghina Alquran!”.
Takfir
jenis mu'ayyan
seperti
ini, tidaklah boleh dijatuhkan kepada orang muslim tertentu kecuali
jika telah memenuhi syarat dan hilang penghalang pengkafirannya.
Definisi
Tauhid
1.
Tauhid Rububiyyah
:
إفراد
الله بأفعاله
“Mengesakan
Allah dalam perbuatan-Nya”
Maksudnya
: Meyakini serta
melaksanakannya tuntutannya bahwa
hanya Allah lah yang bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi
kekhususan-Nya,seperti menciptakan makhluk,mengaturnya,memberi
rezeki,memberi manfa'at,menimpakan
musibah/mudhorot,menghidupkan,mematikan dan lainnya yang menjadi
kekhususan Allah.
2.
Tauhid Uluhiyyah :
إفراد
الله بالعبادة
“Mengesakan
Allah dalam beribadah kepada-Nya”
Maksudnya
: Meyakini serta
melaksanakannya tuntutannya bahwa
hanya Allah lah yang berhak diibadahi,tidak boleh mempersembahkan
peribadatan kepada selain-Nya,dalam bentuk ibadah yang dhohir maupun
yang batin,ucapan maupun perbuatan.
3.
Tauhidul Asma` was Shifat :
إفراد
الله
بأسمائه
الحسنى
وصفاته
العلى
الواردة
في
القرآن
والسنة،والإيمان
بمعانيها
وأحكامها
“Tauhid
Nama dan Sifat adalah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang
terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia,yang bersumber dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah,dan beriman terhadap makna-makna dan
hukum-hukumnya”
Maksudnya
: Meyakini serta
melaksanakannya tuntutannya bahwa
hanya Allah lah
yang memiliki nama yang husna dan sifat yang 'ulya.
Sedangkan
selain Allah tidaklah berhak dikatakan memiliki nama dan sifat
tersebut.
Definisi
syirik
Syirik
besar
adalah
مساواة
غير الله بالله فيما هو من خصائص الله
Menyamakan
selain Allah dengan Allah dalam perkara yang menjadi kekhususan-Nya
(dalam Rububiyyah,Uluhiyyah dan Al-Asma` was Shifat)
Atau
أن
يَجْعَلَ العبد لله ندا في ربوبيته،
أوألوهيته،أوأسمائه وصفاته
Seseorang
mengambil sekutu bagi Allah dalam Rububiyyah,Uluhiyyah atau nama dan
sifat-Nya
Definisi
di atas berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud radhiallahu
'anhu ketika
bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tentang
dosa
apakah yang paling besar, kemudian beliau shallallahu
'alaihi wa sallam :
أن
تجعل لله ندا وهو خلقك
“Engkau
mengambil sekutu bagi Allah padahal Dia menciptakanmu” (HR.
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim).
Syirik
besar ini
mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Dinamakan
“besar”, karena adanya syirik yang dibawahnya, yang tingkat
keburukannya tidak sampai sepertinya,yaitu : syirik kecil.
Syirik
kecil,yaitu
:
فكل
ما نهى عنه الشرع مما هو ذريعة إلى الشرك
الأكبر ووسيلة للوقوع فيه، وجاء في النصوص
تسميته شركا
Segala
yang dilarang dalam Syari'at sedangkan dalam Nash disebut dengan nama
syirik,dan menjadi sarana menghantarkan kepada kesyirikan besar.
Syirik
ini dinamakan “kecil”,karena adanya syirik yang di atasnya, yang
tingkat keburukannya lebih besar darinya.
Syirik
kecil ini tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam,karena tidak sampai
ada unsur menyamakan selain Allah dengan Allah dalam perkara yang
menjadi kekhususan-Nya (dalam Rububiyyah,Uluhiyyah dan Al-Asma` was
Shifat).
Referensi
terjemah matan :
http://www.terjemahmatan.com/2015/11/al-ushul-ats-tsalatsah-dan-terjemah.html
dengan perubahan seperlunya.
2.
http://www.dorar.net/enc/aqadia/3462
3.
Tafsir “keyakinan” berupa “ucapan
hati atau perbuatannya”
ini,
terisyaratkan dari
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan masalah
iman dalam Majmu' Fatawa 7/506
(http://www.dorar.net/enc/aqadia/3182
& http://www.dorar.net/enc/aqadia/3169)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment