Waqaf amalan para sahabat radhiyallahu 'anhum (2)

Foto stok gratis dompet, flatlay, kamera, kas

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu 'ala rasulillah, amma ba'du :

Dalil waqaf dari As-Sunnah1

Seluruh dalil-dalil yang menunjukkan kepada keutamaan dan dorongan bershadaqah maka otomatis berkonsekuensi menunjukkan keutamaan waqaf2, karena waqaf termasuk bentuk shadaqah yang paling bisa diharapkan pahala besarnya dan termasuk paling bermanfaat.


Banyak hadits yang mendorong untuk berwaqaf, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له


Jika seorang mati, terputuslah amalannya darinya kecuali dari tiga perkara, yaitu : kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya” [HR. Imam Muslim rahimahullah]

Diantara ulama ada orang yang mentafsirkan “shadaqah jariyah” itu khusus waqaf, diantaranya adalah An-Nawawi rahimahullah, karena shadaqah jariyah termasuk amalan yang tidak terputus pahalanya, dan tidak mungkin sebuah shadaqah terus mengalir pahalanya kecuali dengan mewaqafkan sesuatu yang tahan lama dengan cara mengeluarkan dari kepemilikan Waqif , tidak boleh dimilikinya, karena harta waqaf adalah milik Allah semata, guna diambil manfaatnya oleh kaum muslimin dalam jangka panjang.


Berkata Imam An-Nawawi rahimahullah mensyarah hadits di atas :

وكذلك الصدقة الجارية وهي الوقف

Dan demikian pula shadaqah jariyah, yaitu waqaf”3


Imam An-Nawawi rahimahullah dalam mensyarah hadits di atas juga berkata :

وفيه دليل لصحة أصل الوقف وعظيم ثوابه

Dalam hadits di atas terdapat dalil sahnya amalan waqaf dan besarnya pahalanya”.


Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


سبع يجري للعبد أجرهنّ وهو في قبره بعد موته: من عَلّم علماً، أو أجرى نهراً، أو حفر بئراً، أو غرس نخلاً، أو بنى مسجداً، أو ورّث مصحفاً، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته

Tujuh kebaikan seorang muslim yang pahalanya akan terus mengalir meskipun ia telah berada di kuburnya setelah ia meninggal dunia, yaitu : seseorang yang mengajarkan ilmu (Syar'i), menyalurkan air sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf Alquran dan meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya ketika ia sudah meninggal.”

[HR. Abu Nu'aim dalam AL-Hilyah dan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami']


Hadits pokok sebagai dasar definisi waqaf

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،

أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ،

فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ ؟

قَالَ : " إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا ".

 قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Umar bin Al-Khaththab mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar, lalu iapun menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta arahan beliau tentangnya, lalu ia berkata :

Wahai Rasulullah, saya mendapatkan sebidang lahan tanaman (dari harta rampasan) di Khaibar, saya tidak pernah sekalipun mendapatkan harta sebagus lahan tanaman ini sebelumnya. Lalu apa yang Anda perintahkan kepadaku terhadap lahan tersebut?”

Beliau bersabda : “Jika engkau mau, engkau tahan lahan tersebut (dari dimiliki4) dan engkau sedekahkan (hasil tanaman)nya”.

Ibnu Umar berkata :

Lalu Umarpun mewaqafkannya, yang mana tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan olehnya”.

(Namun) Umar mewaqafkannya untuk orang-orang faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, jihad fi sabilillah, musafir (yang kehabisan bekal), dan untuk menjamu tamu.

Tidak berdosa bagi pengurus waqaf tanah tersebut untuk memakan dari (hasil tanaman)nya dengan cara yang baik5 dan memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan6”.

[HR. Al-Bukhari, Kitab Asy-Syuruth, Bab Asy-Syuruth fi Al-Waqf 2737]

Penjelasan :

Hadits ini merupakan dalil pokok tentang hakekat amalan waqaf, karena didalamnya terdapat penjelasan tentang definisi waqaf.

Dalam hadits ini terdapat kisah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar, sebuah daerah 160 kilometer utara dari kota Madinah, dan daerah Khaibar adalah daerah pertanian.

Lahan tanaman milik Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu tersebut adalah harta termahal yang pernah dimilikinya dan sebelumnya ia tidak pernah memiliki harta semahal lahan tersebut.


Disisi lain, para sahabat radhiyallahu 'anhum berlomba-lomba untuk mengumpulkan amalan yang bisa menjadi tabungan mereka di akherat, apalagi amalan yang sifatnya mengalir pahalanya sampaipun setelah pelakunya meninggal dunia.


Demikian gemarnya para sahabat berwaqaf, sehingga dahulu mayoritas sahabat yang memiliki kemampuan harta, tidaklah mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berwaqaf.

Singkat kisah, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta arahan, dengan harapan besar Umar mendapatkan kebaikan yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala :


لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ


Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. [Ali Imran : 92].


Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kepada Umar bentuk shadaqah yang tergolong amalan terbaik, yaitu waqaf, dengan cara menahan lahan tersebut dari dimiliki, karena barang waqaf itu kepemilikannya kembali kepada Allah Ta'ala semata, sehingga lahan tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwariskan, diharapkan dengan ditahan, lahan tersebut akan tetap terjaga terus, disisi lain Umar menyedekahkan hasil tanamannya untuk dimanfaatkan oleh kaum muslimin.

Umarpun mengikuti arahan Utusan Allah yang paling mulia ini dengan mewaqafkannya untuk orang-orang faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, membantu mujahidin dalam berjihad fi sabilillah, musafir yang kehabisan bekal, dan untuk keperluan menjamu tamu, karena menjamu tamu termasuk bagian dari keimanan kepada Allah Ta'ala.

Dikarenakan waqaf itu membutuhkan orang yang mampu mengurus dan menjaganya, maka perlunya keringanan baginya demi lancarnya kepengurusan lahan tersebut, yaitu dalam bentuk pengurus tersebut dibolehkan memakan hasil tanaman lahan itu dengan baik sesuai dengan adat masyarakat setempat, dan dibolehkan juga memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan, seperlunya dan tidak mengambilnya untuk dimiliki dan tidak pula untuk disimpan/ditimbun.7

(Bersambung, in sya Allah)


Sumber : www.muslim.or.id


1. http://almoslim.net/elmy/286349 dan https://www.dorar.net/hadith/sharh/6496

2. http://almoslim.net/elmy/286349

3. https://www.Islamweb.net/ar/fatwa/128056/

4. Karena barang waqaf itu kepemilikannya kembali kepada Allah Ta'ala semata, sehingga tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.

5. Sebagaimana yang menjadi adat baik setempat.

6. Maksudnya seperlunya dan tidak mengambilnya untuk dimiliki dan tidak pula untuk disimpan/ditimbun.

7. https://Islamic-content.com/hadeeth/1225

Tidak ada komentar