Mutiara dalam nama Ar-Rabb & tarbiyyah-Nya (4)


Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Tarbiyyah Allah kepada Rasulullah Musa ‘alaihis salam

Rasulullah Musa ‘alaihis salam ditegur oleh Allah Ta’ala sebagaimana dalam hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مُوسَى قَامَ خَطِيبًا فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَسُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ فَقَالَ أَنَا فَعَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ لَمْ يَرُدَّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ بَلَى لِي عَبْدٌ بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ

Diriwayatkan oleh Ubay bin Ka'ab dari Nabi , "Bahwa Nabi Musa 'alaihis salam  tengah berdiri di hadapan Bani Israil memberikan khutbah lalu dia ditanya :

"Siapakah orang yang paling berilmu?".

Beliau 'alaihis salam menjawab : "Aku".

Seketika itu pula Allah Ta'ala menegurnya, karena dia tidak mengembalikan ilmunya kepada Allah (tidak mengucapkan : Allahu a’lam).

Lalu Allah Ta'ala mewahyukan kepadanya :

"Ada seorang hamba diantara hamba-hamba-Ku yang tinggal di pertemuan antara dua lautan yang dia lebih berilmu darimu". [HR. Al-Bukhari]

Ulama menjelaskan seandainya Nabi Musa 'alaihissalam  mengucapkan : “Saya, wallahu a’lam”, tentulah beliau tidak ditegur oleh Allah.

Perhatikanlah, bagaimana Allah mentarbiyyah Nabi Musa 'alaihis salam dengan mengingatkan kesempurnaan ilmu-Nya dan keterbatasan ilmu Nabi Musa 'alaihis salam.

Hal ini bermanfaat untuk menambah keyakinan bahwa benar-benar dari Allah sematalah semua ilmu bermanfaat yang dimiliki oleh semua hamba dan Rasul-Nya. Itupun ilmu yang dianugerahkan kepada seorang hamba ada batasnya dan tidak sempurna, bahkan manusia bisa lupa, pikun serta tidak tahu setelah tadinya tahu.

Tarbiyyah Allah untuk Nabi Sulaiman ‘alaihis salam

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ نَبِيُّ اللَّهِ لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى سَبْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِغُلَامٍ يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ أَوْ الْمَلَكُ قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَقُلْ وَنَسِيَ فَلَمْ تَأْتِ وَاحِدَةٌ مِنْ نِسَائِهِ إِلَّا وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ غُلَامٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَحْنَثْ وَكَانَ دَرَكًا لَهُ فِي حَاجَتِهِ

Dari Abu Hurairah dari Nabi , beliau bersabda, "Nabi Allah Sulaiman bin Daud pernah berkata, 'Sungguh aku akan menggilir tujuh puluh istriku dalam satu malam, yang nantinya masing-masing mereka akan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan berjuang di jalan Allah', lantas sahabatnya -atau malaikat- memberi saran, 'Ucapkanlah 'Insya Allah'.' Namun dia lupa mengucapkannya. Ternyata tidak seorang pun dari istrinya yang melahirkan kecuali hanya seorang istri yang melahirkan seorang anak yang cacat." Lalu Rasulullah bersabda, "Seandainya beliau mengucapkan 'In sya Allah', tentu dia tidak akan melanggar sumpahnya, dan apa yang diharapkannya akan terkabul." [HR. Muslim]

Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tidak mengucapkan “In sya Allah”, karena lupa (mungkin karena kesibukan tugas kerajaannya) dan bukan karena tidak ada di hati beliau ketergantungan kepada Allah, dan semua ini ada hikmah dibalik tarbiyyah Allah ini.

Diantara hikmah tarbiyyah Rabbani ini :

Allah menampakkan kekuasaan-Nya bahwa tidak ada sesuatupun yang terjadi di alam semesta ini kecuali apa yang Allah kehendaki terjadi, karena semua milik-Nya di bawah pengaturan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Meski manusia memiliki kehendak, namun tetap kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan ini menunjukkan kelemahan manusia.

Disamping itu, juga terdapat pelajaran, bahwa kedudukan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam sebagai nabi yang dekat dengan Allah, tidaklah menjadi sebab dikabulkan harapannya oleh Allah kecuali harus mengingat Allah dengan mengucapkan “In sya Allah” dan tidak lupa dzikrullah.

Padahal dalam Hadits Shahih Ibnu Majah, salah seorang dari kaum Ya`juj dan Ma`juj saat berencana menggali lubang esok harinya, ia mengucapkan “Kembalilah, kalian akan menggalinya esok hari, in sya Allah” lalu Allah kabulkan harapannya sehingga mereka berhasil menggali lubang, padahal kaum ya’juj dan ma’juj semuanya kafir.

Ibnul Jauzi rahimahullah menyampaikan bahwa  :

Kalau seorang nabi yang dekat dengan Allah lalu lupa mengucapkan “In sya Allah” itu saja tidak terpenuhi niat kebaikannya, sedangkan seorang yang kafir dari kaum ya’juj dan ma’juj mengucapkannya, lalu Allah kabulkan hajatnya, bagaimana ini tidak menunjukkan kelemahan manusia dan kemahakuasaan Allah?[1]

Oleh karena itu seorang muslim jika menyampaikan rencana hendak melakukan sesuatu, adabnya ia mengatakan “In sya Allah”, selain itu sebagai adab Islami, juga sekaligus sebagai sebab terpenuhi harapan dan hajatnya.

Itulah Allah, Rabbul ‘aalamiin, Yang Maha Memelihara seluruh makhluk-Nya! Berikut ini beberapa bentuk tarbiyyah Allah yang khusus :

Lupa terhadap amalan shaleh dan memandangnya remeh!

Diantara bentuk tarbiyyah Allah untuk hamba-Nya yang beriman adalah Allah jadikan seseorang memandang remeh dan sedikit amal-amal yang telah diperbuatnya serta menghadirkan dalam hatinya bahwa amal shaleh tidaklah bisa memenuhi hak Rabb-nya yang demikian agungnya atas dirinya.

Demikian pula Allah jadikan hamba tersebut lupa akan amal-amal shaleh yang telah ia lakukan dalam bentuk sibuk pikirannya dengan kebaikan-kebaikan yang sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan serta memikirkan dosa-dosa dirinya, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk memuji, mengagumi dan membanggakan amal shalehnya. Jadilah hamba itu suka bertaubat dan beristighfar serta terus semangat beramal shaleh, karena ia lupa terhadap amal shalehnya dan merasa masih sedikit amal shalehnya!

Ibnul Qoyyim rahimahullah menyebutkan :

وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك 

Dan tanda diterimanya amal shalehmu adalah engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan shaleh tersebut didalam hatimu! [Madarijus Salikin 2/62][2]

 

Pelajaran terjatuh dalam dosa

Salah satu bentuk Tarbiyyah Rabbani yang sangat bermanfaat untuk membebaskan seorang hamba dari penyakit mengagumi diri sendiri dan memandang diri dengan kagum dan membanggakannya adalah membiarkan hamba melakukan dosa, membiarkannya bersama kelemahannya dan menyerahkannya kepada nafsunya yang banyak menyuruh kepada keburukan, sehingga rasa percaya dirinyapun goyah, dan ketika itulah ia kembali menyadari hakekat dirinya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan lalu ia mengungkit-ungkit amalan kebaikannya tersebut di hadapan Rabb-nya, ia menyombongkan diri, memandang dirinya besar, membangga-banggakannya dan meninggikan dirinya serta berkata : “Aku telah melakukan ini dan itu”, sehingga melahirkan sikap ujub, sombong dan memuji diri, tinggi hati yang menghantarkan kepada kebinasaan. [Al-Wabilush Shoyyib, hal. 8]

Beliau juga menjelaskan :

Apabila Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Ia akan mencampakkan hamba itu dalam dosa , yang meremukkan hati nuraninya, mengenalkan kadar dirinya pada dirinya, menjadikan hal itu pelajaran baginya untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesamanya, dan memaksanya untuk menundukan kepala serta menarik keluar dari dirinya penyakit ujub, sombong, dan menyebut-nyebut amal kebaikannya, baik dihadapan Allah maupun dihadapan sesamanya. Dengan demikian dosa teresebut lebih ampuh untuk mengobati penyakit ini daripada berbagai ketaatan yang banyak. Jadi, dosa tersebut tidak ubahnya seperti obat pahit yang dapat mengeluarkan penyakit yang kronis. [Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 170]

Sebuah kemaksiatan yang melahirkan rasa rendah diri dan keluluhan hati lebih mending daripada ketaatan yang melahirkan ujub dan kesombongan.

Sa’id bin Jubair pernah ditanya : Siapakah hamba yang paling taat? iapun menjawab “Seorang yang hatinya terluka lantaran dosa-dosa yang diperbuatnya. Setiap kali ia mengingat dosanya iapun akan memandang hina dirinya  

Dari keterangan tersebut jelaslah bagi kita, satu bentuk tarbiyah Allah terhadap hamba-Nya, yaitu dengan membiarkan dan tidak menjaganya dari terjatuh dalam dosa sehingga dengan demikian ia terpaksa menundukan kepala dan goyahlah ke-aku-an dirinya. Dan ini lebih dicintai oleh Allah daripada berbuat banyak ketaatan tapi ujub. Sebab, senantiasa berada dalam ketaatan dan tidak pernah terjatuh kedalam lumpur dosa, bisa jadi menimbulkan ujub.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

لو أنَّ ابن آدم كلَّما قالَ أصاب، وكلَّما عملَ أحسَن، أوشكَ أن يجنَّ من العُجب

Kalau seandainya manusia setiap kali bicara selalu benar, dan setiap kali beramal selalu bagus, maka dikhawatirkan ia akan gila karena ujub. [Lathaif Ma’arif, hal. 18]

Hikmah kesalahan seorang mukmin adalah penyesalan, hikmah dari dosanya adalah permohonan maafnya, hikmah kebengkokannya dalah kelurusannya setelahnya, serta hikmah keterlambatannya adalah kesegeraannya setelahnya.

Perhatian!

Tarbiyyah Allah atas seorang mukmin yang terjatuh kedalam dosa, bukan dimaksudkan agar seorang hamba menyengaja berbuat dosa, bahkan suka terjatuh kedalam dosa, karena setiap dosa itu wajib dihindari, dan jika dilakukan akan berdampak keburukan dan pelakunya terancam adzab.

Obat pahit ini tidak patut sengaja dicari oleh seorang hamba, meski dengan alasan ingin mendapatkan khasiatnya, sebab Allah Maha Mengetahui siapa yang cocok mendapatkan obat pahit ini!

 

(Bersambung, in sya Allah)

Sumber: WWW.MUSLIM.OR.ID

[1] Kasyful Musykil min hadits Shahihain (1/332) https://bit.ly/3ijeTMu

[2] https://al-badr.net/muqolat/4220

Tidak ada komentar