Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)

Apabila seseorang yang berdoa berkata,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Tuhanku, berilah petunjuk aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku serta supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan memperbaiki keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” 
(Q.S. Al-Ahqaaf: 15).

Ketundukan dan perendahan diri kepada Allah ini (menuntutnya) untuk berusaha mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya dan kepada kedua orangtuanya, baik dengan mengakuinya, menyanjung-Nya, memuji-Nya, menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada-Nya, mengetahui (belajar tentang) amal shalih yang diridhoi oleh Allah dan mengamalkannya, serta berusaha mendidik keturunannya dengan pendidikan agama yang akan memperbaiki (mereka).

Demikianlah semua doa itu -di satu sisi- secara jelas menunjukkan kepada bersandar, merendahkan diri, dan berlindungnya seorang hamba kepada Allah dalam mendapatkan harapan (kebaikan) yang beranekaragam, dan -di sisi lain- secara jelas menunjukkan (tuntutan untuk) bersungguh-sungguh dalam melakukan setiap sebab yang dengannya diperoleh sesuatu yang dimaksud (dalam doanya), karena sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan setiap perkara yang diharapkan (oleh seorang hamba) memiliki sebab yang dengannya bisa diperoleh harapan itu, dan Allah Ta’ala memerintahkannya untuk melakukan sebab tersebut dengan diiringi kuatnya (hati) dalam bersandar kepada Allah, sedangkan doa adalah gambaran kuatnya (hati) dalam bersandar kepada Allah, oleh karena itu doa merupakan ruh dan inti dari peribadahan.

Apabila seorang hamba memohon kepada Rabb-nya agar mewafatkannya dalam keadaan muslim dan agar mewafatkannya bersama dengan orang-orang yang baik, berarti itu merupakan doa agar ia bisa meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini menuntutnya untuk melakukan sebab yang dengannya diperoleh wafat di atas agama Islam dan menyelaraskan (dirinya) dengan sebab tersebut. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Q.S. Ali Imran: 102).

Dan hal ini diperoleh dengan melakukan sebab dan bersandarnya hati kepada Yang Menjadikan sebab (Allah Ta’ala). Wallahu a’lam” (Majmu’ul Fawa’id waqtinashil Awabid, karya Abdur Rahman bin Nashir bin Sa’di rahimahullah, hal. 86).

Ironi dalam Doa

Seseorang berdoa, “Ya Allah, masukkan aku kedalam surga-Mu, namun langkah-langkahnya menuju ke neraka.

Tatkala lisan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosaku”, namun perbuatannya membuat Allah murka kepadanya.

Pantaskah lisan mengucapkan, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni”, namun amalannya amalan orang yg jauh dari sebab-sebab maaf dan ampunan Allah??

Doa, Harapan, Niat, dan Tuntutannya

Sobat, menuliskan doa taqabbalallahu minna wa minkum itu mudah. Sedangkan menghadirkan harapan yang sungguh-sungguh kepada Allah & niat yang lurus saat menulisnya itulah yang sulit. Adapun memenuhi kriteria hamba yg diterima amalnya itu lebih sulit lagi.

Berdoa Ihdinash Shirathal Mustaqim dalam shalat itu mudah. Namun menghadirkan kekhusyu’an saat berdoa, harapan yang benar, rasa butuh yang sangat kepada Allah, dan penghayatan makna doa tersebut dalam shalat itulah yang sulit. Sedangkan memenuhi tuntutan konsekuensi doa tersebut berupa ucapan dan perbuatan yang lurus, lahir maupun batin itu lebih sulit lagi.

Begitulah karakteristik doa, urusannya tidak sekedar pelafalan atau penulisan saja, namun ia sangat butuh kehadiran hati, keikhlasan, dan pengamalan konsekuensinya.

Tidak ada komentar