Hukum mengikuti hawa nafsu
Mengikuti hawa nafsu berbeda-beda hukumnya, sesuai dengan tingkatan dosanya, ada kalanya dosa kecil, dosa besar, bid’ah, ada pula yang syirik kecil, bahkan ada yang sampai kufur atau syirik akbar.
Berikut penjelasannya:
- Dihukumi dosa kecil: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan dosa kecil dan ia dikatakan ‘aashin (pelaku maksiat), namun tidak dikatakanfasiq (pelaku dosa besar).
- Dihukumi dosa besar: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan dosa besar, seperti zina, meminum khamr (minuman yang memabukkan) dan yang semisalnya tanpa menghalalkannya, dan dia fasiq (pelaku dosa besar).
- Dihukumi bid’ah: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan dosa bid’ah ghairu mukaffirah (tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam), dan ia disebut mubtadi’ (pelaku bid’ah).
- Dihukumi Syirik kecil: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan syirik kecil, seperti bersumpah dengan nama selain Allah atau melakukan riya’ (memamerkan ibadahnya) dan ia dikatakan pelaku kesyirikan dengan jenis syirik kecil.
- Dihukumi kufur atau syirik besar: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan dosa yang kategori syirik besar, seperti berdo’a kepada kuburan, bersikap berlebih-lebihan sampai mengangkat wali ke derajat Tuhan, atau kategori kufur besar, seperti mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghina beliau, menghalalkan zina, atau meninggalkan sholat secara totalitas.
Catatan:
Dan Ulama didalam mengelompokkan sebuah perbuatan itu kedalam kufur/syirik besar atau kecil mengembalikan pada kaidah-kaidah syar’i dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengikuti hawa nafsu bisa menghantarkan kepada dosa-dosa yang beranekaragam, dan tidak bisa disama-ratakan hukumnya. Oleh karena itu, tidaklah boleh kita katakan bahwa setiap orang yang mengikuti hawa nafsu, pastilah kafir, tanpa kecuali.
Yang benar adalah hukum bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya, bisa dikatakan pelakunya sebagai pelaku dosa kecil, dosa besar, bid’ah, syirik kecil, dan syirik besar.
Menjawab Syubhat
Bagaimana memahami dalil yang menyebutkan penuhanan kepada hawa nafsu? Apakah ini tidak menunjukan bahwa mengikuti hawa nafsu merupakan syirik akbar? Di dalam surat Al-Furqan, Allah mencela orang yang ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) dan menyebutnya sebagai orang yang menuhankannya,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43).
Apakah makna “penuhanan (menjadikan sesuatu sebagai Tuhan)” atau “penghambaan (menghamba kepada sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan)” pada ayat di atas?
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata,
“Dan lafadz {من اتخذ إلهه هواه} berlaku atas orang yang menyekutukan Allah baik dengan jenis syirik akbar (besar), maupun syirik ashgar (kecil), maka setiap orang yang bergantung hatinya kepada selain Allah, sehingga pada dirinya terdapat ‘ubudiyyah (penghambaan) kepada selain Allah tersebut, bentuk ‘ubudiyyah ini bisa termasuk kekufuran (syirik) akbar atau ashghar ”.
Oleh karena itu sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa semua kemaksiatan masuk kategori syirik, jika ditinjau dari pengertian syirik secara umum, karena setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala, pastilah mengikuti hawa nafsunya dan menghamba kepadanya, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
‘Binasalah (semoga binasa) hamba dinar, hamba dirham, hamba qathifah (pakaian bermotif serabut ujungnya) dan hamba khamishah (pakaian indah dari bulu domba). Jika diberi maka ia ridha jika tak diberi maka ia tak ridha’ (HR. Al-Bukhari : 2887)”.
Jadi, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “menuhankan” atau “penghambaan ” dalam ayat di atas ada dua kemungkinan,
- Penghambaan kepada selain Allah yang tidak totalitas, sehingga tidak sampai dikatakan menyembah selain Allah dan menuhankannya sebagaimana orang kafir dan musyrik yang non muslim dalam menuhankan selain Allah.
- Penghambaan kepada selain Allah yang totalitas, dan menuhankan serta menyembahnya, sama persis sebagaimana menuhankan Allah dan menyembah-Nya, sehingga pelakunya dikatakan telah memalingkan hak uluhiyyah kepada selain Allah.
Adapun lebih lanjut tentang nukilan fatwa ulama tentang hukum mengikuti hawa nafsu, dan penjelasan dalilnya, silahkan baca artikel Apakah Mengikuti Hawa Nafsu Itu Syirik Akbar? (bag. 2).
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id
Post a Comment